Opini

Bahaya Hasud Berselimut Syari'ah

Jumat, 12 Februari 2021 | 16:56 WIB

Bahaya Hasud Berselimut Syari'ah

Zastrouw Al-Ngatawi Pada Saat Mengisi Haul Gus Dur di PCNU Tangerang Selatan (Foto: istimewa)

Oleh: Ngatawi Al-Zastrouw

 

HASUD atau iri hati/dengki adalah penyakit hati yang berbahaya bagi manusia. Dia tidak hanya membahayakan orang lain, tetapi juga pada diri yang terkena penyakit ini. Bahkan tatanan kehidupan bisa rusak dan hancur karena hasud. Saking bahayanya hasud bagi manusia, beberapa kali Allah mengingatkan manusia agar menjauhinya. Diantaranya QS. An-Nisa’, 23 menyebutkan: “Dan janganlah kamu iri hati (hasud) terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain”. Juga dalam QS. At-Taubah, 125: “Dan adapun orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit (hasud) maka dengan surat itu bertambahlah kekafiran mereka, disamping kekafirannya (sebelumnya)  dan mereka mati dalam keadaan kafir.

 

Pada ayat-ayat itu secara tegas disebutkan hasud sangat terkait dengan kafir. Orang yang sebelumnya sudah kafir akan menjadi bertambah kafir karena hasud. Ini artinya orang yang sebelumnya tidak kafir akan bisa menjadi kafir karena hasud.

 

Dalam konsteks ini bisa dilihat pada sikap iblis, yang semula tidak kafir, tetapi menjadi kafir karena dia hasud pada Nabi Adam. Rasa hasud yang merasuki iblis ini melahirkan sikap sombong yang membuatnya membangkang pada perintah Allah untuk sujud pada Nabi Adam. Iblis yang semula beriman menjadi kafir karena hasud. Apa yang terjadi iblis bisa menjadi pelajaran bagi manusia mengenai bahaya hasud. 

 

Selain ayat-ayat al-Qur’an, peringatan terhadap bahayanya hasud juga terdapat dalam beberapa hadits Nabi. Diantaranya dalam suatu hadits yang diriwayatkan Abu Dawud dan Ibn Majah menyebutkan, Rasullulah bersabda: “hasud itu memakan kebaikan sebagaimana api memakan kayu bakar”. Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh shabat Anas RA menyatakan, sesungguhnya Rasulullah SAW pernah bersabda “sifat hasud itu memakan pahala kebaikan sebagaimana api memakan kayu bakar” (Sunan Ibn Majah, 2; 1408).

 

Kedua hadits ini secara tegas menjelaskan bahwa hasud itu  bukan saja merupakan tindakan tidak baik, tetapi bisa menghilangkan kebaikan yang dimiliki oleh seseorang. Seluruh amal kebaikan yang pernah dilakukan seseorang bisa terbakar habis jika hasud menghinggapi dirinya. Hal ini bisa terjadi karena karena orang yang sudah dihinggapi hasud akan kehilangan mata batin dan mata hati. Dia tidak bisa melihat kebaikan orang lain,  yang dilihat hanya kejelekan dan kelemahannya saja,  kemudian berusaha mencelakakan dan menista orang yang dihasuti. Inilah bahayanya orang yang hasud, dia bisa menjadi sumber malapetaka bagi orang lain dan pemicu kerusakan pada masyarakat.

 

Yang lebih berbahaya adalah orang hasud yang membungkus dan melegitimasi sikap hasudnya dengan lebel dan simbol agama. Rasa dengki adalah penyakit hati yang sangat sulit diteksi orang lain bahkan si pelakunya sendiri. Lebih sulit lagi dideteksi ketika disamarkan dalam bahasa dan simbol agama. Misalnya sekelompok orang merasa hasud atas orang lain yang kebetulan menduduki jabatan tertentu. Rasa hasudnya itu kemudian diekspresikan dalam bentuk penyebaran fitnaah, hoax dan caci maki atas nama agama dan dengan bahasa agama.

 

Dalam sejarah Islam, sikap seperti ini pernah dilakukan oleh orang-orang Khawarij yang melakukan kritik dan protes keras kepada sayyidina Ali. Melakukan melakukan semua itu karena rasa hasud dan dendam kepada Sayyidina Ali. Untuk menarik simpati dan dukungan publik mereka menutup rasa hasud dan dendam itu dengan dalil agama, mengatas namakan perjuangan Islam, propaganda penegakan syariah dan sejenisnya dengan menyitir ayat-ayat Allah. Mereka menuduh Sayyidina Ali telah keluar dari Islam karena tidak menerapkan hukum Allah tapi menerapkan hukum buatan manusia. Mereka menggunakan QS Al-Maidah; 44 yang berbunyi : “Barang siapa tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir” sebagai legitimasi untuk melawan Sayyidina Ali yang dituduh telah menjadi kafir.

 

Menanggapi tudingan tersebut secara tegas khaifah Ali bi Abi Thalib menyatakan; hadza kalimatun haq yuraadu bil bathil” (ini dalil yang benar tetapi diperkunakan untuk tujuan yang bathil). Di mata Khalifah Ali, apa yang dilakukan oleh kaum pemberontak tersebut merupakan bentuk penggunaan ayat-ayat Allah sebagai legitimasi untuk menumpahkan sifat hasud dan dendam.

 

Mengingat tipisnya batas antara hasud dan ikhlas, maka para kyai dan ulama tempo dulu tidak berani sembarangan mengatas namakan Islam dalam setiap perjuangannya. Meskipun perjuangan tersebut jelas-jelas untuk menegakkan ajaran Islam. Dengan kata lain para kyai dan ulama tempo dulu, khususnya ulama tasawwuf, tidak berani mengkalim amalan dan perjuangan yang mereka lakukan adalah demi Islam. Mereka juga tidak berani sembarangan mengutip ayat untuk melegitimasi tindakan mereka. Hal ini mereka lakukan karena khawatir jangan-jangan yang mereka lakukan itu sekedar emosi dan hasud. Dan akan sangat membahayakan kalau ekspresi hasud dilegitimasi dengan ayat-ayat Allah dan dilakukan atas nama agama.

 

Marakanya klaim-klaim agama saat ini, seperti slogan membela Islam, demi syareat Islam, untuk Islam Kaffah, penegakan khilafah Islam dan sebagainya sebenarnya merupakan fenomena yang mengkhawatirkan. Jika klaim-klaim seperti itu dilakukan oleh orang alim, wara’, ikhlas dan bersih hati maka kalaim seperti itu tidak akan jadi masalah. Klaim seperti itu akan sangat berbahaya jika dilakukan oleh orang-orang yang tak berilmu, berjiwa kotor dan penuh ambisi dunia, karena bisa menjadi alat melampiaskan hasud pada orang lain.

 

Dalam sejarahnya, orang-orang berhati bersih tidak menggunakan cara-cara yang kasar, penuh permusuhan, mengobarkan kebencian dan menebar fitnah untuk melakukan kritik pada penguasa atau orang lain yang berbuat munkar. Kritik dan perlawanan dilakukan secara elegan penuh akhlak dan menghindari kerusakan. Sebaliknya orang-orang yang penuh ambisi, berjiwa kotor dan hasud akan melakukan berbagai tindakan munkar dan merusak dengan dalih memperjuangan agama.

 

Mengingat besarnya bahaya hasud yang dibungkus degan lebel agama, maka ada baiknya kita selalu bersikap kritis dan hati-hati terhadap orang-orang yang meneriakkan kritik dan perlawanan dengan mengatas namakan agama dan menggunakan ayat, namun dengan cara-cara kotor, fitnah, caci maki dan kebencian yang bisa menimbulkan kerusakan.

 

Jangan-jangan mereka yang sedikit-sedikit menggunakan simbol Islam, sedikit-sedikit teriak atas nama Islam itu sebenarnya bukan sedang memperjuangkan Islam tetapi orang yang sedang mencari dukungan untuk melampiaskan  hasud/iri hati dan dendam pada orang lain. Karena orang yang benar-benar memperjuangkan Islam biasanya memiliki akhlak mulia dan menghindari cara-cara culas dan licik yang bisa menimbulkan kerusakan tatanan sosial.

 

Jika sifat hasud saja sudah berbahaya, maka akan lebih berbahaya sifat hasud yang dibungkus syariah, yaitu mengekspresikan hasud atas nama syariah. Hasud yang mengatasnamakan syariah tidak hanya membahayakan pelakunya, tetapi membahayakan kehidupan dan bahkan merusak Islam.

 

Ngatawi Al-Zastrouw, Penulis adalah Mantan Asisten Pribadi Gus Dur dan Seorang Intelektual NU