Mencintai Indonesia Nirbatas
Disadari atau tidak, masih juga banyak pihak yang selalu mengklaim mencintai Indonesia, tetapi tidak tahu bagaimana cara mencintainya. Ibarat mencintai seorang gadis belia, tetapi tidak tahu bagaimana cara mendapatkan cinta gadis tersebut. Bagi pihak-pihak ini, mencintai Indonesia adalah dengan mengubah falsafah bangsa Indonesia, yaitu Pancasila, menjadi berideologi khilafah, bahkan supaya terdengar keren, ditambahkan kata ‘Islamiyyah.’ Jadi, lengkapnya Khilafah Islamiyyah (Kekhalifahan yang bernuansa Islam atau mengikuti syariat Islam) atau dengan terma lain yang masih mencatut nama Islam, seperti kasus teranyar, munculnya Khilafatul Muslimin, sebuah organisasi keagamaan Indonesia yang mengusung ideologi khilafah.
Sebagai bagian penopang dari pilar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), umat Islam mampu beradaptasi dan menerima Pancasila sebagai dasar NKRI, panduan hidup berbangsa, kepribadian dan jiwa bangsa, perjanjian luhur dan cita-cita serta tujuan berbangsa, dan satu-satunya asas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ini karena, nilai-nilai yang terkandung dalam sila-sila Pancasila sejurus dengan apa yang terkandung dalam ajaran-ajaran Islam. Keduanya berkelindan tidak saling menafikan.
Pancasila adalah konsensus kebangsaan yang mampu menyatupadukan semua komponen pendukung bangsa Indonesia yang terdiri atas suku, agama, ras, dan antargolongan. Para pendiri bangsa Indonesia telah bergulat, berdebat, berdialektika pemikiran serta merumuskan panduan berbangsa dan bernegara, yakni Pancasila.
Namun, dewasa ini hal yang miris sungguh terjadi, hubungan antaranak bangsa jauh panggang dari api, dengan ditandai berbagai letupan dan friksi yang cenderung mengarah disintegrasi. Lem perekat ‘made in Indonesia’ itu pun belum cukup mampu melekatkan semua komponen bangsa Indonesia yang merupakan rumah besar dengan dihuni berbagai suku, agama, ras dan antargolongan. Bayangkan rumah besar itu didiami lebih dari 278 juta manusia yang menyebar dari Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan Jawa serta pulau-pulau kecil sekitar 17.504 pulau. Dari sisi penganut agama, Indonesia menjamin berbagai agama hidup berdampingan, seperti Islam, Protestan, Katolik, Budha, Konghucu dan lainnya. Keberagaman tersebut juga terjadi pada bahasa daerah yang jumlahnya 721, meski tidak semua dituturkan secara masif oleh penduduk yang mendiami kepulauan di Indonesia.
Semakin jelas, bahwa Indonesia adalah rumah besar keberagaman. Indonesia bukanlah Jawa, karena didiami lebih dari 136 juta penduduk. Bukan juga Papua, karena luas wilayahnya terbesar, yaitu 786.000 km2, juga demikian halnya Kalimantan, Sumatera, dan Sulawesi. Indonesia bukanlah ketiganya. Indonesia sejatinya, adalah kelima-limanya. Indonesia juga bukan islam, meskipun agama terpopuler tersebut, dipeluk oleh 85, 2 persen, sehingga Indonesia selalu dilabeli negara dengan Muslim terbesar di dunia, yakni 230 juta. Indonesia bukan juga Protestan, Katolik, Budha, Konghucu atau yang lainnya. Tetapi, keseluruhan agama itulah Indonesia.
Persoalan yang mengemuka dewasa ini, adalah terjadi klaim yang saling menafikan antarpenghuni rumah Indonesia. Ini rumahku bukan rumahmu, ini rumah kami bukan rumah kalian. Saling klaim siapa yang lebih mencintai Indonesia; aku dan kelompokku lebih nasionalis daripada kamu dan kelompokmu, kami dan golongan kami, lebih memelihara rumah besar itu, daripada kalian dan kelompok kalian yang hanya bikin onar.
Saling klaim tentang asas manfaat; aku lebih bermanfaat dan membangun bangsa ini daripada kamu dan klanmu, kami dan organisasi kami lebih memberikan rasa aman di tataran masyarakat akar rumput daripada kalian dan organisasi kalian. Persoalan yang lain, adalah adanya faktor eksternal, seperti konflik kepentingan di mana setiap individu atau kelompok membawa kepentingan sendiri dan melupakan kepentingan bersama, yakni kepentingan nasional berbangsa.
Dalam keberagaman yang luar biasa itu sangat berpotensi untuk terpecah belah. Apalagi jika terjadi berita palsu (hoax) dan provokasi yang sengaja disulutkobarkan oleh kelompok tertentu untuk menyudutkan kelompok lainnya.
Rasa cinta terhadap Indonesia harus terus digelorakan dengan tetap merawat legacy para leluhur bangsa yakni NKRI yang berasaskan Pancasila. Nilai-nilai dalam sila-sila Pancasila juga harus mampu diejawantahkan dalam kehidupan sehari-hari. Nilai Ketuhanan YME, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, mutlak untuk diperdengarkan, diperkenalkan, dijalankan dalam sebuah program kebangsaan berkelanjutan demi tetap melekatkan Pancasila dalam benak generasi muda yang akan datang.
Akhirnya, kehadiran ideologi selain Pancasila akan terus terjadi, karena perkembangan pola pikir dari generasi ke generasi. Oleh karena itu, negara sebagai otoritas yang memiliki kekuasaan penuh, harus merumuskan pola-pola sistematis, masif dan berkelanjutan untuk tetap menjaga NKRI utuh dan menghindari disintegrasi bangsa dengan menghidupkan kembali Pancasila sebagai falsafah bangsa. Dengan begitu, ideologi yang berbau agama, berjargon surgawi, dan menjanjikan kepada para pengikutnya sebuah masa depan semu penuh kilatan fatamorgana, akan tertolak dengan sendirinya. Semoga!
Wallahu ‘Alamu Bisshawab
K Hadi Susiono Panduk, Kolumnis Muslim; Rais Syuriyah Majelis Wakil Cabang NU Bayah; Pengurus Pergunu Kabupaten Lebak; Pengurus MUI Kabupaten Lebak; Lulusan Pondok Pesantren Al-Khoirot, Sabilillah Kudus; dan Universitas Diponegoro Semarang