• logo nu online
Home Nasional Banten Raya Warta Keislaman Tokoh Khutbah Sejarah Opini Pesantren NU Preneur Ramadhan 2023
Selasa, 7 Mei 2024

Opini

Menyoal Altruisme Kekinian

Menyoal Altruisme Kekinian
Ilustrasi. (Foto: NU Online)
Ilustrasi. (Foto: NU Online)

Ada seorang perempuan berusia 75 tahun pembuat gula merah. Warga ‎Karanggude, Karanglewas, Banyumas, Jawa Tengah. Tarisem namanya. ‎Tulus ikhlas mewakafkan tanah seluas 20 ubin atau setara 240 meter ‎persegi untuk pembangunan mushala. Tanah ini diwakafkan disaksikan ‎oleh Ketua JPZIS (Jaringan Pengelola Zakat, Infak, Sedekah) Berkah ‎Remen Silaturahim (Beres) Purwokerto Barat Daryanto, ketua RT, tokoh ‎masyarakat dan petugas lapangan JPZIS Beres.‎


Melihat praktik ini setidaknya memicu orang untuk turut berbuat baik ‎dengan mendahulukan kepentingan orang lain ketimbang diri sendiri. ‎Alih-alih harta milik pribadi digunakan untuk kepentingan diri sendiri, ‎nenek ini melakukan untuk kepentingan orang lain. Jika tindakan yang ‎berorientasi diri sendiri biasa disebut egoisme, tindakan yang ‎berorientasi orang lain ini dikenal dengan altruisme.‎


Kita pandangi bagaimana sesungguhnya altruisme dipahami secara ‎umum. Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) berbunyi: ‎al·tru·is·me n 1 paham (sifat) lebih memperhatikan dan ‎mengutamakan kepentingan orang lain (kebalikan dari egoisme); 2 ‎Antr sikap yang ada pada manusia, yang mungkin bersifat naluri ‎berupa dorongan untuk berbuat jasa kepada manusia lain. ‎


Sejak kemunculan altruisme dalam kosakata umat manusia, pengertian ‎terhadap kata ini beragam dan terkadang berlawanan satu dengan yang ‎lain (Ricard, 2015). Jika kita merujuk pengertian altruisme dari pertama.  Altruisme merupakan istilah yang diambil dari bahasa Spanyol, kata ‎autrui mempunyai makna orang lain. Sedangkan dalam bahasa Latin ‎altruisme berasal dari kata alter yang bermakna yang lain atau lain. ‎Sementara altruism dalam bahasa Inggris disebut altruism yang ‎bermakna mementingkan kepentingan orang lain. Lebih jelasnya lagi ‎dalam kamus ilmiah menerangkan bahwa istilah altruisme mempunyai ‎arti suatu pandangan yang menekankan kewajiban manusia memberikan ‎pengabdian, rasa cinta, dan tolong-menolong terhadap sesama.‎


Auguste Comte sebagai bapak positivisme mengenalkannya pada abad ‎ke-19 yang mengatakan bahwa dalam altruisme terkandung ‎‎"penghapusan hasrat mementingkan diri sendiri dan egosentrisme, serta ‎menjalani kehidupan yang ditujukan untuk kesejahteraan orang lain" ‎‎(Ricard, 2015). Dari pengertian paling mula tersebut, tampaknya tidak ‎tersurat apakah altruisme itu tindakan, paham, sifat, atau dorongan. ‎Hasrat dalam pengertian Comte tersebut dekat dengan dorongan; ‎menjalani kehidupan dekat dengan tingkah laku.‎


Para ahli lainnya turut menggambarkan altruism. Pengertian altruisme ‎muncul lebih karena ragam sudut pandang para orang yag ‎memaknainya. Ilmuwan biologi evolusioner misalnya memandang ‎altruisme sebagai tingkah laku terkait daya tahan dan reproduksi. Segala ‎tingkah laku disebut altruisme jika dapat meningkatkan kebugaran pihak ‎‎(orang atau mahluk hidup) lain dan mengurangi kebugaran pelakunya ‎‎(Sober dan Wilson, 1998).‎


Melalui pengertian ini, ilmuwan biologi evolusioner bisa menjelaskan ‎segala tingkah laku altruis, tidak hanya pada manusia, tapi juga pada ‎mahluk hidup yang lain. Tingkah laku altruis tidak menguntungkan ‎secara evolutif jika dilihat secara individual, namun menguntungkan ‎dalam kebertahanan kelompok. Mahluk hidup yang tinggal dalam ‎kelompok yang punya tingkah laku altruis lebih bertahan hidup daripada ‎yang tidak.‎


Sementara, ilmuwan psikologi perkembangan menganggap altruisme ‎sebagai tindakan. Altruisme merupakan salah satu tipe tingkah laku ‎prososial, yakni “tindakan yang didorong oleh motif-motif internal ‎seperti perhatian dan simpati terhadap orang lain, atau oleh nilai-nilai ‎dan ganjaran-diri daripada oleh keuntungan pribadi” (Eisenberg dan ‎Mussen, 1989). Nilai-nilai yang membuat orang bertindak altruis di ‎antaranya nilai-nilai kesejahteraan dan keadilan.‎


Alih-alih perhatian pada tindakan atau tingkah laku, ilmuwan psikologi ‎sosial justru memandang altruisme sebagai motif atau dorongan. ‎Ilmuwan biologi evolusioner dan psikologi perkembangan yang ‎memandang altruisme sebagai tingkah laku tidak bisa memberi ‎penjelasan yang memadai apa motif di balik tingkah laku itu, padahal ‎motif merupakan masalah penting dalam membahas altruisme (Baston, ‎Ahmad, Lishner & Tsang, 2009). Mengingat peran penting motivasi, di ‎sini altruisme lebih terbatas pada fenomena yang dialami manusia. ‎Baston pada 2011 menyebut altruisme menurut pandangan ‎psikologi sosial merupakan “keadaan motivasional yang tujuan ‎akhirnya adalah meningkatkan kesejahteraan orang lain.” Altruisme ‎merupakan salah satu jenis motivasi yang membuat orang terdorong ‎untuk melakukan tindakan prososial.‎


Bagi Batson, orang yang dimotivasi oleh altruisme dalam melakukan ‎tindakan prososial mungkin mendapat sejumlah keuntungan seperti ‎mood yang meningkat, citra yang baik, pujian dari orang lain, dan ‎mendapat balasan kebaikan, namun semua itu hanya konsekuensi yang ‎tidak diniatkan dari upayanya mencapai tujuan akhir yakni ‎kesejahteraan orang lain.‎


Kembali ke praktik baik Nenek Tarisem. Tindakan proporsional yang ‎dilakukan dengan harapan agar tanah wakaf memberi manfaat kebaikan ‎berupa mushala untuk beribadah. Sebagaimana niat nenek untuk ‎berwakaf ini selaras dengan makna wakaf itu sendiri yakni wakaf seperti ‎sebuah ‘teks yang hidup’ dan memajukan kehidupan umat. Ya, legalitas ‎berupa sertifikat tanah wakaf ‘teks yang hidup’ dan melalui ibadah shalat ‎dan keagamaan lainnya di mushala itu nantinya memajukan kehidupan ‎umat.‎


Pamugkas, penulis akan mengakhiri bagian artikel ini dengan sebuah ‎dawuh Presiden RI ke-4 Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid) “tidak penting ‎apa pun agama atau sukumu Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang ‎baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya agamamu.”‎


Wallahu a‘lamu bisshawab


Singgih Aji Purnomo, Bidang Kajian dan Riset Lakpesdam PCNU Jakarta ‎Selatan, Redaktur NU Online Banten
 


Opini Terbaru