Opini

Oleh-Oleh Ramadhan‎

Rabu, 12 April 2023 | 23:33 WIB

Oleh-Oleh Ramadhan‎

Menolong. (Foto: Freepik)

Tak terasa Ramadhan bergulir cepat menuju pengujungnya. Hari pertama ‎puasa tubuh kita masih harus menyesuaikan ritme serta pola tidak makan ‎tidak minum sebagaimana ketentuan dalam berpuasa. Kini, sepuluh hari ‎pertama dan sepuluh hari kedua telah berlalu, dan sepuluh hari ketiga sebagai ‎penutup Ramadhan. ‎

‎ 
Pada bulan suci Ramadhan, umat Islam disyariatkan berpuasa wajib ‎Ramadhan. Dalam berbagai literatur fiqih, puasa didefinisikan sebagai ‎menahan dari hal-hal yang membatalkan puasa dengan tata cara yang khusus ‎disertai niat (Imam Asy Syirbini, Al-Iqna’, Juz 1: 202). Pengertian tentang ‎puasa dapat pula dilihat dalam Kitab Fathul Wahab Bi Syarhi Minhaj ‎Athulaab susunan Imam Zakariya Al- Anshori (Juz 1: 118). Redaksi yang ‎tidak jauh beda tentang pengertian puasa juga terdapat pada kitab Nihaayatul ‎Azzain (Imam Nawawi Al-Bantani:184).‎

‎ 
Dari pengertian puasa di atas, dapat digarisbawahi tentang dilarangnya makan ‎dan minum pada siang hari Ramadhan. Seperti kita tahu bahwa makan dan ‎minum adalah kebutuhan esensi dari manusia. Menurut E.N. Anderson dalam ‎bukunya Everyone Eats-Understanding Food and Cultural terbitan New York ‎University Press, menyadur pernyataan Dan Jantzen, seorang ahli biologi ‎terkemuka, bahwa kebutuhan dasar manusia lebih dari hanya sekadar ‎kebutuhan fisik. Menurutnya kebutuhan pokok manusia adalah, ‎makanan/pangan, tempat tinggal, dan reproduksi (baca: seks). Dari ketiga ‎kebutuhan dasar tersebut, makanan/pangan adalah kebutuhan yang rumit ‎‎(E.N. Anderson: 46). ‎

‎ 
Persoalan pangan juga telah diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Badan ‎Program Pangan Dunia, David Beasley bahwa sejurus dengan adanya pandemi ‎Covid-19, dunia sedang menghadapi bencana kemanusiaan global yakni a ‎global famines pandemic, wabah kelaparan dunia. Mengingat, 1 dari 9 orang ‎dari jumlah populasi dunia tidak dapat memenuhi kebutuhan makan. Saat ini ‎terdapat 135 juta penduduk dunia dalam tingkat kelaparan yang sangat buruk, ‎dan 130 juta penduduk lainnya berpotensi mengalami hal serupa. Jadi, ‎diproyeksikan akan ada 265 juta penduduk dunia, yang mendiami negara-‎negara seperti Yaman, Syiria, Sudan Selatan, Etopia, dan beberapa negara ‎Afrika, akan mengalami kelaparan jika dunia tidak bergerak cepat mengambil ‎tindakan semisal menghentikan perang di wilayah konflik, dan memperlancar ‎distribusi makanan, supply chain, seperti dilansir CNN News (22/4/2020).  ‎

‎ 
Melalui puasa Allah subhanahu wa ta’ala sebenarnya memberikan banyak ‎pelajaran yang bisa dicerna oleh mereka yang menggunakan iman sekaligus ‎logika. Bisa dirasakan manakala kita tidak  makan dalam waktu 10 jam; ‎lemah, tidak bersemangat, emosi cenderung tidak stabil dan akan muncul ‎dampak negatif lainnya. Maka dari itu, jika kita dapat merasakan penderitaan ‎mereka yang tidak bisa makan, maka kita sebagai muslim harus memiliki ‎kepedulian dan sifat empati kepada sesama umat manusia di atas bumi Allah ‎ini.‎
‎ 

Empati Sosial
Kemampuan untuk memahami perasaan orang lain dan pengalaman hidup ‎merupakan terjemahan dari empathy; “the ability to understand another ‎person’s feeling, experience, etc/by imagining what is would be like to be in their ‎situation (Oxford and Cambridge Advanced Learner’s Dictionary, 2008). Lebih ‎lanjut, sifat empati merupakan kemampuan seseorang untuk menyadari ‎perasaan, kepentingan, kehendak, masalah atau kesusahan yang dirasakan ‎oleh orang lain. Individu yang memiliki sifat empati tersebut senantiasa dapat ‎memahami dan menyelami perasaan orang lain dari perspektif mereka (Corey ‎& Corey- Callahan, 1997/1998)‎

‎ 
Empati menjadi barang langka di saat banyak dari masyarakat kita sudah cuek ‎bebek, mementingkan diri sendiri, egois, dan hedo-matrealistis. Sikap mental ‎terpuji ini merupakan awal dari membangun ukhwah antarsesama. Empati ‎akan menimbulkan rasa sayang kepada yang lebih muda dan rasa hormat ‎kepada yang lebih tua. Sejatinya, sikap empati sebagai pelajaran hidup telah ‎dicontohkan oleh Baginda Rasulullah ribuan tahun silam, ketika Sahabat Abu ‎Hurairah pernah mengatakan, “Demi Allah yang tidak ada Tuhan selain Dia, ‎aku pernah menempelkan lambungku di atas tanah karena rasa lapar. Aku ‎juga pernah mengikatkan beberapa batu di perutku karena rasa lapar. Pada ‎suatu hari, aku pernah duduk di jalan yang biasa para sahabat lewati. ‎Kemudian lewatlah Abu Bakar, lalu aku bertanya tentang ayat dari Kitabullah, ‎dan aku tidaklah menanyakannya selain agar Abu Bakar menjamuku, namun ‎ia tidak melakukannya. Setelah itu, lewatlah Umar bin Khattab, kemudian aku ‎bertanya kepadanya tentang ayat dari Kitabullah dan aku tidaklah ‎menanyakannya selain agar Umar menjamuku, namun ia tidak melakukannya. ‎Setelah itu lewatlah Abul Qasim (Rasulullah SAW). Ketika melihatku, beliau ‎tersenyum dan mengetahui apa yang tergambar di wajah dan hatiku. Beliau ‎lalu bersabda, “Wahai Abu Hurairah,”. Aku menjawab, “Aku penuhi ‎panggilanmu, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Ikutlah,”. Lalu aku ‎mengikuti beliau. Aku lalu meminta izin untuk masuk dan beliau ‎mengizinkanku. Ternyata, aku mendapatkan susu di dalam mangkuk,” (Shahih ‎Bukhari, Juz 4: 6452).‎

‎ 
Hadits tersebut berisikian penuturan sederhana bahwa Sahabat Abu Hurairah ‎memberikan gambaran tentang perasaan hayaa’ (malu) meminta kepada ‎manusia. Betapapun beliau sangat lapar, tetapi tidak serta merta meminta ‎untuk dijamu atau diberi makanan. Beliau justru mengalihkan keadaan dengan ‎mengajukan pertanyaan kepada dua khalifah tentang suatu ayat, dan dua ‎sahabat itupun rupanya belum peka terhadap rasa lapar luar biasa yang ‎dirasakannya. ‎

‎ 
Allah Maha Mengetahui apapun yang dirasakan para hamba-Nya. Melalui ‎Rasulullah yang juga tahu bahwa Abu Hurairah kelaparan, beliau dengan ‎santun memberi semangkuk susu tanpa harus bertanya apakah ia lapar atau ‎tidak karena beliau sudah membaca roman wajah sahabatnya tersebut. Sebuah ‎pelajaran etika kelas langit, code of ethics yang perlu kita bumikan dengan ‎kekadaran kita sebagai manusia biasa. Jika kita tidak bisa meniru secara ‎sempurna karakter Rasulullah dan para sahabatnya, maka jangan ditinggalkan ‎untuk ditiru semuanya, sesuai dengan kaidah Usul Fiqih “maa laa yudraku ‎kulluhu laa yutraku kulluhu” (Mabaadi Awwaliyah: 44)‎

‎ 
Andai saja banyak dari kita membaca dan merenungi kandungan hadits yang ‎diriwayatkan oleh Imam Bukhori tersebut, niscaya sikap empati akan ‎tertanam, built in, pada diri dan akan menjadi alarm ketika kita lupa dan tak ‎sadarkan diri dengan lingkungan sekitar.‎

‎ 
Pasca pandemi Covid-19 dan ancaman Famines Pandemic merupakan trigger ‎yang membuat masyarakat dunia bersatu dalam ikatan kemanusiaan global. ‎Bagi masyarakat muslim, kedua ancaman tersebut menjadikan pepeling ‎terlebih ketika menjalani ibadah pada bulan suci Ramadhan yang sarat dengan ‎ajaran humanistik dan kasih sayang.‎

‎ 
Pada akhirnya, firman Allah memang harus diterjemahkan di bumi dalam ‎bentuk kebijakan yang memberi rahmat bagi alam semesta. Melalui puasa ‎Ramadhan, rasa lapar dan haus dalam berpuasa akan menjelma menjadi rasa ‎empati bagi sesama secara luas dan masif dalam bentuk empati komunal ‎dalam ikatan persaudaraan (ukhuwah), baik ukhuwah Islamiyah, ukhuwah ‎wathaniyah ataupun ukhwah basyariyah. Jika bapak filsuf modern, Rene ‎Decartes, berjargon cogito ergo sum atau I think therefore I am (Aku berfikir, ‎maka aku ada). Bisakah kita mengikrarkan ‘aku berempati kepada sesama ‎maka aku ada?’ Kesalehan pribadi dan kepedulian pada sesama adalah oleh-‎oleh abadi dari Ramadhan yang sebentar lagi kita tinggalkan.‎

‎ 
Semoga!‎

‎ 
Wallahu a’lamu bisshawab

‎ 
K. Hadi Susiono Panduk, Kolumnis Muslim; Rais Syuriyah MWC NU Bayah, ‎Pengurus Pergunu Kabupaten Lebak; Pengurus MUI Kabupaten Lebak; ‎Alumnus Pondok Pesantren Al-Khoirot & Sabilillah dan Madrasah Aliyah ‎Nahdlatul Muslimin Kudus; serta Universitas Diponegoro Semarang