Tak terasa Ramadhan bergulir cepat menuju pengujungnya. Hari pertama puasa tubuh kita masih harus menyesuaikan ritme serta pola tidak makan tidak minum sebagaimana ketentuan dalam berpuasa. Kini, sepuluh hari pertama dan sepuluh hari kedua telah berlalu, dan sepuluh hari ketiga sebagai penutup Ramadhan.
Baca Juga
Sambungkan Ruh saat Ramadhan
Pada bulan suci Ramadhan, umat Islam disyariatkan berpuasa wajib Ramadhan. Dalam berbagai literatur fiqih, puasa didefinisikan sebagai menahan dari hal-hal yang membatalkan puasa dengan tata cara yang khusus disertai niat (Imam Asy Syirbini, Al-Iqna’, Juz 1: 202). Pengertian tentang puasa dapat pula dilihat dalam Kitab Fathul Wahab Bi Syarhi Minhaj Athulaab susunan Imam Zakariya Al- Anshori (Juz 1: 118). Redaksi yang tidak jauh beda tentang pengertian puasa juga terdapat pada kitab Nihaayatul Azzain (Imam Nawawi Al-Bantani:184).
Dari pengertian puasa di atas, dapat digarisbawahi tentang dilarangnya makan dan minum pada siang hari Ramadhan. Seperti kita tahu bahwa makan dan minum adalah kebutuhan esensi dari manusia. Menurut E.N. Anderson dalam bukunya Everyone Eats-Understanding Food and Cultural terbitan New York University Press, menyadur pernyataan Dan Jantzen, seorang ahli biologi terkemuka, bahwa kebutuhan dasar manusia lebih dari hanya sekadar kebutuhan fisik. Menurutnya kebutuhan pokok manusia adalah, makanan/pangan, tempat tinggal, dan reproduksi (baca: seks). Dari ketiga kebutuhan dasar tersebut, makanan/pangan adalah kebutuhan yang rumit (E.N. Anderson: 46).
Persoalan pangan juga telah diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Badan Program Pangan Dunia, David Beasley bahwa sejurus dengan adanya pandemi Covid-19, dunia sedang menghadapi bencana kemanusiaan global yakni a global famines pandemic, wabah kelaparan dunia. Mengingat, 1 dari 9 orang dari jumlah populasi dunia tidak dapat memenuhi kebutuhan makan. Saat ini terdapat 135 juta penduduk dunia dalam tingkat kelaparan yang sangat buruk, dan 130 juta penduduk lainnya berpotensi mengalami hal serupa. Jadi, diproyeksikan akan ada 265 juta penduduk dunia, yang mendiami negara-negara seperti Yaman, Syiria, Sudan Selatan, Etopia, dan beberapa negara Afrika, akan mengalami kelaparan jika dunia tidak bergerak cepat mengambil tindakan semisal menghentikan perang di wilayah konflik, dan memperlancar distribusi makanan, supply chain, seperti dilansir CNN News (22/4/2020).
Melalui puasa Allah subhanahu wa ta’ala sebenarnya memberikan banyak pelajaran yang bisa dicerna oleh mereka yang menggunakan iman sekaligus logika. Bisa dirasakan manakala kita tidak makan dalam waktu 10 jam; lemah, tidak bersemangat, emosi cenderung tidak stabil dan akan muncul dampak negatif lainnya. Maka dari itu, jika kita dapat merasakan penderitaan mereka yang tidak bisa makan, maka kita sebagai muslim harus memiliki kepedulian dan sifat empati kepada sesama umat manusia di atas bumi Allah ini.
Empati Sosial
Kemampuan untuk memahami perasaan orang lain dan pengalaman hidup merupakan terjemahan dari empathy; “the ability to understand another person’s feeling, experience, etc/by imagining what is would be like to be in their situation (Oxford and Cambridge Advanced Learner’s Dictionary, 2008). Lebih lanjut, sifat empati merupakan kemampuan seseorang untuk menyadari perasaan, kepentingan, kehendak, masalah atau kesusahan yang dirasakan oleh orang lain. Individu yang memiliki sifat empati tersebut senantiasa dapat memahami dan menyelami perasaan orang lain dari perspektif mereka (Corey & Corey- Callahan, 1997/1998)
Empati menjadi barang langka di saat banyak dari masyarakat kita sudah cuek bebek, mementingkan diri sendiri, egois, dan hedo-matrealistis. Sikap mental terpuji ini merupakan awal dari membangun ukhwah antarsesama. Empati akan menimbulkan rasa sayang kepada yang lebih muda dan rasa hormat kepada yang lebih tua. Sejatinya, sikap empati sebagai pelajaran hidup telah dicontohkan oleh Baginda Rasulullah ribuan tahun silam, ketika Sahabat Abu Hurairah pernah mengatakan, “Demi Allah yang tidak ada Tuhan selain Dia, aku pernah menempelkan lambungku di atas tanah karena rasa lapar. Aku juga pernah mengikatkan beberapa batu di perutku karena rasa lapar. Pada suatu hari, aku pernah duduk di jalan yang biasa para sahabat lewati. Kemudian lewatlah Abu Bakar, lalu aku bertanya tentang ayat dari Kitabullah, dan aku tidaklah menanyakannya selain agar Abu Bakar menjamuku, namun ia tidak melakukannya. Setelah itu, lewatlah Umar bin Khattab, kemudian aku bertanya kepadanya tentang ayat dari Kitabullah dan aku tidaklah menanyakannya selain agar Umar menjamuku, namun ia tidak melakukannya. Setelah itu lewatlah Abul Qasim (Rasulullah SAW). Ketika melihatku, beliau tersenyum dan mengetahui apa yang tergambar di wajah dan hatiku. Beliau lalu bersabda, “Wahai Abu Hurairah,”. Aku menjawab, “Aku penuhi panggilanmu, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Ikutlah,”. Lalu aku mengikuti beliau. Aku lalu meminta izin untuk masuk dan beliau mengizinkanku. Ternyata, aku mendapatkan susu di dalam mangkuk,” (Shahih Bukhari, Juz 4: 6452).
Hadits tersebut berisikian penuturan sederhana bahwa Sahabat Abu Hurairah memberikan gambaran tentang perasaan hayaa’ (malu) meminta kepada manusia. Betapapun beliau sangat lapar, tetapi tidak serta merta meminta untuk dijamu atau diberi makanan. Beliau justru mengalihkan keadaan dengan mengajukan pertanyaan kepada dua khalifah tentang suatu ayat, dan dua sahabat itupun rupanya belum peka terhadap rasa lapar luar biasa yang dirasakannya.
Allah Maha Mengetahui apapun yang dirasakan para hamba-Nya. Melalui Rasulullah yang juga tahu bahwa Abu Hurairah kelaparan, beliau dengan santun memberi semangkuk susu tanpa harus bertanya apakah ia lapar atau tidak karena beliau sudah membaca roman wajah sahabatnya tersebut. Sebuah pelajaran etika kelas langit, code of ethics yang perlu kita bumikan dengan kekadaran kita sebagai manusia biasa. Jika kita tidak bisa meniru secara sempurna karakter Rasulullah dan para sahabatnya, maka jangan ditinggalkan untuk ditiru semuanya, sesuai dengan kaidah Usul Fiqih “maa laa yudraku kulluhu laa yutraku kulluhu” (Mabaadi Awwaliyah: 44)
Andai saja banyak dari kita membaca dan merenungi kandungan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori tersebut, niscaya sikap empati akan tertanam, built in, pada diri dan akan menjadi alarm ketika kita lupa dan tak sadarkan diri dengan lingkungan sekitar.
Pasca pandemi Covid-19 dan ancaman Famines Pandemic merupakan trigger yang membuat masyarakat dunia bersatu dalam ikatan kemanusiaan global. Bagi masyarakat muslim, kedua ancaman tersebut menjadikan pepeling terlebih ketika menjalani ibadah pada bulan suci Ramadhan yang sarat dengan ajaran humanistik dan kasih sayang.
Pada akhirnya, firman Allah memang harus diterjemahkan di bumi dalam bentuk kebijakan yang memberi rahmat bagi alam semesta. Melalui puasa Ramadhan, rasa lapar dan haus dalam berpuasa akan menjelma menjadi rasa empati bagi sesama secara luas dan masif dalam bentuk empati komunal dalam ikatan persaudaraan (ukhuwah), baik ukhuwah Islamiyah, ukhuwah wathaniyah ataupun ukhwah basyariyah. Jika bapak filsuf modern, Rene Decartes, berjargon cogito ergo sum atau I think therefore I am (Aku berfikir, maka aku ada). Bisakah kita mengikrarkan ‘aku berempati kepada sesama maka aku ada?’ Kesalehan pribadi dan kepedulian pada sesama adalah oleh-oleh abadi dari Ramadhan yang sebentar lagi kita tinggalkan.
Semoga!
Wallahu a’lamu bisshawab
K. Hadi Susiono Panduk, Kolumnis Muslim; Rais Syuriyah MWC NU Bayah, Pengurus Pergunu Kabupaten Lebak; Pengurus MUI Kabupaten Lebak; Alumnus Pondok Pesantren Al-Khoirot & Sabilillah dan Madrasah Aliyah Nahdlatul Muslimin Kudus; serta Universitas Diponegoro Semarang
Terpopuler
1
PCNU Kabupaten Tangerang Bertekad Gelar PD-PKPNU Setiap Bulan
2
Awal Jumadal Akhirah 1446 H Jatuh Selasa Wage, 3 Desember 2024
3
Mendoakan Non-Muslim yang Sudah Meninggal Dunia, Bolehkah?
4
PC IPNU Cilegon Ikut Kawal Kesejahteraan Sosial dan Pendidikan
5
Ini Nakhoda PP ISNU 2024-2029
6
Bekali Puluhan Remaja agar Lebih Matang dan Berdaya Saing
Terkini
Lihat Semua