• logo nu online
Home Nasional Banten Raya Warta Keislaman Tokoh Khutbah Sejarah Opini Pesantren NU Preneur Ramadhan 2023
Sabtu, 27 April 2024

Opini

Puasa Hate Speech

Puasa Hate Speech
Kebencian. (Foto: NU Online)
Kebencian. (Foto: NU Online)

Puasa Ramadhan ibarat rem cakram yang pakem bagi seorang Mukmin untuk dapat mengekang ‎ucapan dan tingkah polah agar tetap pada jalur keimanan kepada Allah. Banyak dari kita masih ‎terjebak bahkan terjerembab dalam pusaran ujaran kebencian yang tersebar pada platform media ‎sosial bahkan di ruang-ruang realitas publik. Momentum Ramadhan seyogyanya dapat ‎merekonstruksi segala ucapan provokatif dan agitatif selama sebelas bulan, menjelma menjadi ‎ucapan yang konstruktif dan penuh dengan kedamaian karena sesungguhnya orang-orang yang ‎beriman adalah bersaudara, tidak saling mengumbar aib, mencaci maki, menghasut, mengintip ‎kesalahan, dan mengganggap diri paling benar (QS Al-Hujurat:10).‎

‎ 
Ramadhan mengajarkan kita agar berpuasa dari hate speech. Ujaran kebencian yang di dalamnya ‎berisikan ucapan kotor, dusta, namimah, dan memfitnah jelas dilarang oleh Islam. Sebuah hadits ‎dari Adam bin Abi Iyas meneguhkan larangan tersebut, ketika Nabi Muhammad bersabda, ‎‎“Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan malah melalukannya, maka Allah ‎tidak butuh dengan lapar dan hausnya" (HR Bukhari, hadits:1903)‎

‎ 
Sabda Nabi Muhammad tersebut seolah membungkam perilaku umat sepeninggalannya yang ‎masih juga ngeyel dalam menjalankan ritus suci yakni puasa Ramadhan dengan tetap berpuasa, ‎namun tidak juga meninggalkan qaul- az-zuur dan sejenisnya, bahkan Allah tidak butuh puasa ‎jenis seperti ini, padahal puasa seperti dalam sebuah hadits yang diriwayakan oleh Abu Hurairah, ‎Nabi Muhammad bersabda, Allah berfirman,”Semua amal anak Adam untuknya kecuali puasa. ‎Puasa itu untuk-Ku dan Aku akan membalasnya.” (HR Bukhari, hadits:1904).‎

‎ 
Firman Allah tersebut menunjukkan glorifikasi puasa Ramadhan di mana Allah memberikan ‎privilege kepada setiap Mukmin yang menjalankan puasa dengan meninggalkan perkataan dusta ‎dan perbuatan madzmumah lainnya. Maka, seorang Mukmin yang berpuasa hendaknya dengan ‎niat tulus tidak riya dan hanya mengharap keridhaan Allah. Dengan begitu, Allah akan menilai ‎sendiri levelitas seorang Mukmin yang berpuasa apakah hendak dilipatgandakan dari sepuluh ‎sampai tujuh ratus kali sampai Allah sendiri yang akan memberi pahala tanpa batas (HR Muslim, ‎hadits:1151). Pendek kata, begitu agung Allah menempatkan levelitas seorang Mukmin yang ‎berpuasa Ramadhan.‎

‎ 
Jika kita dapat menyambut dengan keutuhan jiwa dan raga akan perintah Allah dan Rasul-Nya ‎serta big sale ganjaran terkait puasa di bulan Ramadhan, maka sungguh merugi manakala puasa ‎kita tidak terhiasi dengan amalan-amalan mahmudah melainkan madzmumah. Satu amalan tercela ‎yang mudah dilakukan adalah hate speech. Maka dari itu, puasa Ramadhan bukan hanya sekadar ‎menahan lapar dan dahaga, tetapi juga menahan diri dari nafsu dan syahwat yang gentayangan ‎dalam wujud ujaran kebencian kepada sesama umat Muslim. Sehingga muhasabah diri harus terus ‎dilakukan hingga akhirnya puasa kita mampu melebur dosa-dosa. Dengan begitu, kita akan ‎terhindar dari sabda Nabi Muhammad seperti redaksi hadits yang disitir oleh Amr bin Rafi’, ‎‎“berapa banyak orang yang berpuasa, tetapi ia tidak mendapatkan apa-apa kecuali lapar dan ‎dahaga.” (HR Ibn Majah, hadits:1690).‎

‎ 
Naudzu billah min dzalik

‎ 
Wallahu ‘alamu bisshawab
‎ 

K. Hadi Susiono Panduk, Kolumnis Muslim; Rais Syuriyah MWC NU Bayah; Pengurus Pergunu ‎Kabupaten Lebak; Pengurus MUI Kabupaten Lebak; Alumnus Pondok Pesantren Al-Khoirot & ‎Sabilillah dan Madrasah Aliyah Nahdlatul Muslimin Kudus; Universitas Diponegoro (UNDIP) ‎Semarang


Opini Terbaru