• logo nu online
Home Nasional Banten Raya Warta Keislaman Tokoh Khutbah Sejarah Opini Pesantren NU Preneur Ramadhan 2023
Jumat, 29 Maret 2024

Syariah

Pilih Khutbah Jumat Panjang atau Pendek ?

Pilih Khutbah Jumat Panjang atau Pendek ?
Ilustrasi (Foto: NU Online)
Ilustrasi (Foto: NU Online)

Jumat merupakan hari spesial bagi umat Islam. Disebut sayyidul ayyam. Momentum untuk mengumpulkan dan menambah pundi-pundi pahala. Umat Islam didorong untuk banyak membaca shalawat, sedekah, membaca Al-Qur’an, dan perbuatan-perbuatan baik lainnya. Di hari tersebut umat Islam yang telah memenuhi syarat dan tidak ada halangan atau udzur syar’i, diwajibkan untuk menunaikan shalat Jumat.

 

Terkait Jumatan ini banyak yang bisa dibahas dan tentunya perlu diketahui. Hanya, dalam tulisan ini lebih spesifik mengeksplore khotbah saja. Dulu, saat masih masih kecil, di kampung saya di Kudus, Jawa Tengah, ada salah seorang khotib (orang yang khutbah), hanya memakai bahasa Arab saja. Praktis tak ada bahasa selain Arab yang digunakan saat di mimbar. Dan, tidak lama. Sekitar 15 menit kurang. Selebihnya, khotib yang lain, ketika itu, rata-rata tidak sampai setengah jam saat khotbah. Al hasil, jalannya khotbah tidak berlangsung lama. Di Jakarta, saya pernah Jumatan yang khotibnya juga hanya memakai bahasa Arab dan khotbahnya tidak lama. Tapi, yang acapkali ditemukan, khotbahnya lama dibanding shalat Jumatnya.

 

Memang ini realitas di lapangan. Sekali lagi, ada yang khotib panjang sekali menyampaikan materi khotbahnya. Lebih panjang khotbahnya daripada salat Jumatnya. Ada yang khotbahnya lebih pendek dibanding shalat Jumatnya. 

 

Mengutip Kitab Fasholatan karya KH Muhammad Asnawi Kudus, menurut sabda Rasulullah shollaallahu ‘alaihi wasallam 

 

إِنَّ طُولَ صَلاَةِ الرَّجُلِ وَقِصَرَ خُطْبَتِهِ مَئِنَّةٌ مِنْ فِقْهِهِ

 

“Sesungguhnya panjangnya shalat dan pendeknya khutbah merupakan ciri dari kefaqihan seseorang.” (lihat Syekh Al’allamah shohibul fadlilah Muhamma Asnawi Alqudsy, Fasolatan [Maktabah Wamatba’ah Menara Kudus], halaman 58). 

 

Oleh karena itu, hendaknya memanjangkan shalat dan memendekkan khotbah Jumat. Potret yang dilakukan Nabi Muhammad shollaallahu ‘alaihi wasallam itu juga dinarasikan dalam Maulidul Barjanji dengan redaksi, 

 

يطيل الصلاة يقصر خطب الجمعية 

 

"Dia (Nabi Muhammad) memanjangkan shalatnya dan meringkas khutbahnya (Jumat)", lihat Majmu’ah Mawalid Syarafil Anam [Menara Kudus], halaman 105.

 

Lebih baiknya juga, seperti dalam Kitab Fasolatan, materi khotbah sesuai dengan kondisi yang ada saat itu. Seperti Rajab, materinya seputar Rajab atau Isra’ Mi’raj. Rabiul Awal materinya seputar Maulid Nabi. Begitu juga bulan-bulan lainnya. 

 

Dalam At-Tawassuth diingatkan, jangan memperpanjang khotbah yang sampai menghilangkan muwalah (beruntun). Apalagi khotbah bukan momentum ceramah seperti di pengajian umum atau majlis ta’lim atau lainnya. Khotbah Jumat punya aturan yang setiap khotib harus mengetahuinya. 

 

Jangan juga waktu khotbah digunakan ajang ceramah yang sampai melupakan yang harus atau wajib dilaksanakan oleh khotib. Saking asyiknya ceramah misalnya, khotib lupa dengan rukun-rukun khotbah. Karena ini menyangkut sah dan tidaknya khotbah. Dan pada gilirannya menyangkut sah tidaknya rangkaian Jumatan yang digelar.

 

Dantara yang wajib diketahui oleh khotib adalah rukun-rukun dua khotbah Jumat. Ada lima, dijelaskan dalam kitab Syarah Fathul Qorib Almujib [Surabaya, Darul Ilmi],halaman 18), yaitu. 

 

  1. Memuji kepada Allah di kedua khotbah. 

  2. Membaca shalawat kepada Nabi Muhammad shollaallahu ‘alaihi wasallam di kedua khotbah.

  3. berwasiat tentang ketakwaan di kedua khotbah. 

  4. Membaca satu ayat Al-Qur’an di salah satu khotbah. 

  5. Berdoa untuk kaum mukmin di khotbah yang kedua.                                                        

 

Dalam Fasal 8 tentang Shalat Jumat Kitab Fathal Mu’in juga dijelaskan syarat-syarat dua khotbah.

 

  1. Terdengar oleh 40 orang. Artinya 39 orang selain khotib yang semuanya sah melaksanakan shalat Jumat. Yang terdengar cukup rukun-rukun khotbah, tidak harus semua yang disampaikan khotib.

  2. Dua khotbah harus menggunakan bahasa Arab.

  3. Bagi khotib yang mampu berdiri, harus berdiri saat berkhotbah.

  4. Suci. Suci dari hadats kecil maupun besar. Juga pakaian dan tempatnya suci dari najis.

  5. menutup aurat.

  6. Duduk di antara dua khotbah dengan thoma’ninah. Bagi khotib yang karena udzur dia berkhotbah dengan duduk, maka wajib memisah dua khotbah dengan diam.

  7. Muwalah di antara dua khotbah. Juga di antara rukun satu dengan berikutnya,  dan antara dua khotbah dengan shalat Jumat. Hendaklah tidak terpisah panjang menurut  ukuran umum.

 

Kebanyakan di Indonesia, khotib biasanya mencampur bahasa Arab dengan bahasa Indonesia atau bahasa daerah setempat. Yang rukun-rukun diucapkan dengan bahasa Arab. Bahkan tak jarang diulangi dengan menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa daerah. Yang, pasti bagi khotib, jangan lupa melaksanakan hal-hal yang harus dilaksanakan. Sepeti rukun-rukun khotbah yang sudah tersebut.  Wallahu ‘alam.

 

M. Izzul Mutho Masyhadi, pernah nyantri di Ma’had Aly Al Munawwir Krapyak, mantan wapemred INDOPOS, dan Pembina LTN NU Tangerang Selatan

 

 

 


Editor:

Syariah Terbaru