• logo nu online
Home Nasional Banten Raya Warta Keislaman Tokoh Khutbah Sejarah Opini Pesantren NU Preneur Ramadhan 2023
Rabu, 1 Mei 2024

Tokoh

KH Ma’ruf Amin; Pengasuh Pondok Pesantren An-Nawawi Tanara, Serang, Banten (4)

Piawai Gocek Bola, Demen Nonton Film

Piawai Gocek Bola, Demen Nonton Film
KH Ma’ruf Amin. (NUO)
KH Ma’ruf Amin. (NUO)

SETELAH lulus Sekolah Rakyat di awal 1955, Ma’ruf menimba ilmu di Perguruan Islam Al-Khairiyah Citangkil, Cilegon, Banten. Di pesantren ini mulai belajar tata bahasa Arab dari tingkat dasar, seperti mengaji dan menghafal kitab Awamil. Di luar jam pengajian, dia tak melupakan hobinya, main bola.



Enam bulan saja di Citangkil. Pesantren Tebuireng lalu menjadi tujuannya menekuni ilmu agama lebih dalam. Keluarganya cukup berada sehingga dapat mengirimnya jauh, berkereta api ke Jombang, Jawa Timur. Di pesantren ini, dia mengaji kepada para murid Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari, salah seorang pendiri Nahdlatul Ulama. Kiai Hasyim Asy’ari adalah kawan kakeknya, Kiai Ramli, saat belajar di Makkah.



Dia diterima di madrasah ibtidaiyah. Di tingkat ini, dia bersua dengan guru favorit yang mengajar fiqih, namanya Kiai Tahmid. Cara kiai asal Brebes, Jawa Tengah itu dalam berbicara dan berargumen, sangat dikaguminya. Kepada kiai ahli ushul fiqih ini, Ma’ruf antara lain mengaji kitab Al-Iqna’ fi Halli Alfazh Abi Syuja’ atau dikenal sebagai Iqna’. Kitab tebal tersebut karya Syekh Syamsuddin Muhammad bin Ahmad As-Syarbini. Iqna’ merupakan syarah (uraian) atas kitab Al-Ghayah wat Taqrib karya Abu Syuja’.

 


Kitab ini merupakan standar dalam kajian awal fiqih Mazhab Syafi’i. Di Timur Tengah, seperti Mesir, kitab ini dikaji di tingkat menengah, tetapi Ma’ruf sudah menelaahnya saat ia duduk di bangku ibtidaiyah. Kitab ini sangat tebal, cukup merepotkan untuk dibawa santri belia yang berperawakan kecil dan kurus seperti Ma’ruf. Setiap pergi dan pulang mengaji, Ma’ruf memanggul kitab tersebut.



Ma’ruf mulai tenggelam dalam kajian kitab- kitab besar dan tebal yang mengupas berbagai disiplin ilmu keislaman. Enam tahun di Tebuireng, dia memuaskan dahaga ilmunya kepada para murid Kiai Hasyim Asy’ari. Kepada Kiai Idris Kamali, mengaji Tafsir Al-Baghawi, Al-Khazin, Ibnu Katsir, Al-Itqan fi Ulumil Qur’an, dan Shahih Bukhari. Kepada Kiai Syansuri Badawi, mengaji Jam’ul Jawami dan Shahih Muslim.


Selain mengambil sanad keilmuan dari para kiai Tebuireng, Ma’ruf juga mendalami Ilmu Falak (astronomi) kepada Kiai Mahfudz Anwar di Pesantren

Seblak yang tak jauh dari Tebuireng. Dia juga sering sowan untuk tabarrukan kepada Kiai Adlan Aly, tokoh tarekat pengasuh Pesantren Cukir, Jombang.

Di Tebuireng, hobinya main bola makin tersalurkan. Bakatnya di lapangan rumput semakin terasah karena berjumpa dengan sesama santri yang jago main bola. Lawan mainnya yang sepadan adalah Gus Shohib Bisri putra dari Kiai Bisri Syansuri. Jika keduanya bersua di lapangan, maka permainan menjadi seru.



Begitu pula saat pulang di tengah liburan pesantren, Ma’ruf selalu menjumpai kawan-kawan sepermainannya. Mereka bermain bola, bertandang ke kampung atau desa lain yang siap menerima. “Pokoknya kalau Ma’ruf pulang liburan, main bola jadi ramai,” ujar H Djana Supriatna, adik iparnya. “Dia bisa menggerakkan anak-anak kampung untuk ikut bermain bola,” tambahnya.



Di luar main bola, Ma’ruf juga suka menonton film di bioskop. Kalau kiriman uang datang, dia mencari hiburan ke Alun-Alun Jombang, nonton film di Bioskop Ria. Saat pergi memakai sarung, lalu setibanya di kota, ia berganti celana. Tentu saja, kebiasaan nonton ini hanya bisa dilakukannya sebulan sekali, uang kiriman selebihnya harus dikelola untuk hidup sebulan. Selain nonton, saat uang kiriman datang, dia tak lupa makan enak, pergi ke tukang sate kambing langganannya.

 


Kitab kuning, sepak bola, dan film, membuat masa remaja Ma’ruf selalu ceria. Dia mulai terbiasa membagi waktu untuk mengaji, bermain, dan nonton. Dia menjadi santri kelana, pembelajar yang selalu haus pengetahuan baru, tetapi sebagai remaja, ia tak lupa bermain dengan kawan-kawan sebayanya.

Di Tebuireng ini minat Ma’ruf pada politik mulai tumbuh. Dia menyaksikan kemeriahan Pemilu 1955. Mencermati perbedaan pilihan politik di antara keluarga besar Pesantren Tebuireng. Melihat pula cara berkampanye dari berbagai partai politik yang berebut suara pemilih. Juga menyaksikan aktivitas Partai NU dalam pemilu pertama itu. (M Izzul Mutho)

 


Sumber: Buku KH Ma’ruf Amin Santri Kelana Ulama Paripurna, penulis Iip Yahya


Editor:

Tokoh Terbaru