• logo nu online
Home Nasional Banten Raya Warta Keislaman Tokoh Khutbah Sejarah Opini Pesantren NU Preneur Ramadhan 2023
Jumat, 3 Mei 2024

Ubudiyyah

Manusia Menjadi Ujian Bagi Sesamanya

Manusia Menjadi Ujian Bagi Sesamanya
M. Wiyono (Foto:Koleksi Pribadi)
M. Wiyono (Foto:Koleksi Pribadi)

Manusia dengan segala aktivitas yang mengitarin memiliki seribu dimensi. Satu sisi sebagai khalifah mandataris tuhan di muka bumi untuk melakukan perbaik (ishlah), namun dalam kondisi tertentu justru menjadi perusak (ifsad). Manusia dinobatkan sebagai makhluk mulia yang sempur baik dari segi model penciptaan dan perangkat akal yang terinstal di dalam dirinya (QS.al-Tīn: 4), bahkan menjadi makhluk rendah, lebih rendah daripada hewan (QS. Al-A’āf: 179) Lalu bagaimana manusia dihadapkan dengan manusia yang lain. 

 

Sudah menjadi kodrat manusia diciptakan sebagai makhluk sosial, tidak bisa hidup sendirian. Hidup manusia saling membutuhkan antara satu dengan yang lain. Namun tidak jarang interaksinya bertolak belakang seratus delapan puluh derajat dengan tujuan hidup sosial. Alih-alih saling meneguhkan dan menguatkan, justru bermusuhan dan saling merobohkan. Salah satu Pendek kata, hubungan sosial antara sesama akan melahirkan sebuah ujian (fitnah). Sebagaimana dalam penggalan QS. Al-Furqan: 20 

 

وَمَا أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ مِنَ الْمُرْسَلِينَ إِلَّا إِنَّهُمْ لَيَأْكُلُونَ الطَّعَامَ وَيَمْشُونَ فِي الْأَسْوَاقِ وَجَعَلْنَا بَعْضَكُمْ لِبَعْضٍ فِتْنَةً أَتَصْبِرُونَ وَكَانَ رَبُّكَ بَصِيرًا 

 

Dan Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelummu, melainkan mereka sungguh memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar. Dan Kami jadikan sebahagian kamu cobaan bagi sebahagian yang lain. Maukah kamu bersabar? dan adalah Tuhanmu Maha Melihat.  (QS. Al-Furqan: 20)

 

Ayat di atas mengelaborasi sisi kemanusiaan seorang rasul, ara utusan juga makan layaknya manusia biasa, bersosialisasi dengan orang lain seperti ke pasar atau tempat umum lainnya, yang menarik adalah frase “...dan kami jadikan sebahagian kamu cobaan bagi sebagian yang lain.” Frase tersebut memang menunjuk kepada orang-orang yang tidak mempercayai kerasulan utusan Allah dengan memberikan perlawanan atau meminta bukti kebenaran yang dibawanya. Kalau rasul pasti dalam bimbingan Allah secara langsug, pasti dengan mudah menyelesaikannya. Ayat tersebut tentu ditujukan juga kepada ummatnya, di mana satu dengan yang lain juga menjadi cobaan (fitnah). Menurut Ibnu Katsir ayat tersebut di tafsirkan Allah menguji diantara kalian supaya terseleksi siapa di atara mereka yang paling taat.  

 

Di dalam al-Wasith fi Tafsir al-Qur’an al-Majīd Syeikh Wahbah Zuhaily menafsirkan bagian frase tersebut bahwa sebagian manusia terhadap yang lain menjadi ujian adalah sunnatullah. Karena sunnatullah maka akan berlaku dimana saja, melalui ujian tersebut kualitas keimanan terbedakan. Allah menguji antar sesama melalui anugerahnya yang berbeda-beda, Rasul dengan risalah, raja dengan kekuasaan, orang kaya dengan harta dan orang miskin dengan kekurangannya, beragam perbedaan tersebut diuji bagaimana antar mereka tidak saling iri, tetapi saling mengisi. 

 

Ujian bagi orang muslim adalah sebuah keniscayaan dalam rentang perjalanan hidupnya. Bahkan seandainya tidak ada manusia lain satupun di planet bumi ini, maka manusia masih memperoleh ujian dari harta atau diuji oleh dirinya sendiri seperti kesehatan maupun hal lain yang dimilikinya. 

 

لَتُبْلَوُنَّ فِي أَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ وَلَتَسْمَعُنَّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَمِنَ الَّذِينَ أَشْرَكُوا أَذًى كَثِيرًا وَإِنْ تَصْبِرُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ 

 

Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu. Dan (juga) kamu benar-benar akan mendengar dari orang-orang yang diberi al-Kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak yang menyakitkan hati. Jika kamu bersabar dan bertakwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan (QS. Ali ‘Imran : 186)

 

 

Hakekat ujian adalah baik, buruknya adalah orang yang tidak mampu mengerjakan ujian dengan baik. Ujian bukan untuk mencelakakan atau merusak, justru ujian dimaksudkan menakar kualitas sesuatu yang diuji tersebut. Sebuah emas diberi zat tertentu untuk menguji kadar karatnya, seorang siswa diberi persoalan untuk diselelsaikan agar diketahui kualitas pengetahuannya dan seterusnya. Pendek kata ujian bukan sesuatu yang diciptakan untuk memberatkan atau merepotkan, tapi ujian diciptakan untuk dijawab dan diselesaikan supaya kualitasnya teruji. Dalam sebauh hadis, bila Allah menghendaki sebuah kebaikan maka Allah akan mengujinya 

 

عنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُصِبْ مِنْهُ (رواه البخاري) 

 

Barang siapa yang dikehendaki oleh Allah sebuah kebaikan, maka dia akan mendapat ujian darinya (HR. Bukhari). 

 

Hadis di atas bersifat umum, dibatasi dengan hadis lain yang mensyaratkan adanya kesabaran dalam menghadapi ujian tersebut untuk menmperoleh kebaikn sebagaimana yang dikehendaki Allah swt. Sepanjang hidup akan selalu ada saja orang-orang di sekeliling kita yang berbeda pendapat, ada orang sakit di sekitar orang sehat, ada orang miskin di samping orang kaya, ada orang bodoh di sekeliling orang pandai dan seterusnya, semua itu sudah sunnatullah harus disikapi dengan penuh kesabaran dan kesadaran, saling menutupi dan berinteraksi sesuai dengan potensi dan anugerah yang diberikan Allah kepadanya. 

 

 

M. Wiyono, Penulis adalah A’wan Suriyah PCNU Tangerang Selatan dan Pengasuh Pesantren Soebono Mantofani Ciputat. 


Editor:

Ubudiyyah Terbaru