• logo nu online
Home Nasional Banten Raya Warta Keislaman Tokoh Khutbah Sejarah Opini Pesantren NU Preneur Ramadhan 2023
Sabtu, 20 April 2024

Ubudiyyah

Mengapa Rasulullah Diutus ?

Mengapa Rasulullah Diutus ?
Ilustrasi (Foto : NU Online)
Ilustrasi (Foto : NU Online)

Dalam perjalanan kehidupan sehari-hari pasti kita akan menemui berbagai macam manusia dengan segala sifat dan perilakunya. Sifat yang bermacam-macam itu kemudian terbagi lagi menjadi sifat yang baik dan buruk, kita mengenal sifat-sifat baik seperti jujur, sopan, dan lainya.

 

Adapun perbuatan buruk yang kita ketahui adalah kebalikan dari sifat baik tersebut, seperti suka berbohong, kasar, dan sebagainya. Pastilah kita akan lebih senang dengan orang yang memiliki sifat-sifat baik tersebut.

 

Sejalan dengan penjelasan sifat-sifat baik di atas, ternyata tugas utama Nabi Muhammad saw pun sejatinya bukan diperintah untuk membuat semua orang yang ada di dunia menjadi pemeluk agama Islam atau bahkan menguasai dunia, melainkan tugas utamanya adalah menjadi rahmat bagi alam semesta dan sebagai penyempurna akhlak.

 

Hal ini didasari dari firman Allah swt dalam surat Al-Anbiya ayat 107 yang berbunyi:

 

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ

 

Artinya: Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.

 

Imam At-Thabari dalam tafsirnya menakwilkan bahwa ayat tersebut berkenaan dengan diutusnya Nabi Muhammad saw kepada ciptaan Allah untuk menjadi rahmat. Dan sesungguhnya Al-Qur’an ini diturunkan pada Nabi Muhammad saw untuk disampaikan isinya, berupa kefardhuan maupun hukum-hukum Allah swt pada siapa saja yang menyembahNya.

 

Kemudian yang menarik dalam penjelasan Imam At-Thabari dalam tafsirnya adalah disebutkannya perbedaan pendapat di antara ahli takwil, bahwa apakah makna ayat ini, yakni pada kalimat “لِلْعَالَمِينَ” ditujukan kepada orang yang beriman dan yang tidak beriman? Ataukah rahmat disini hanya untuk orang yang beriman saja?

 

Yang disebutkan pertama kali adalah pendapat ahli takwil yang menyebutkan bahwasanya makna kalimat “seluruh alam” ini adalah rahmat bagi orang yang beriman dan tidak beriman, hal ini merupakan pendapat dari Ibnu Abbas ra. Beliau berkata mengenai takwil ayat tersebut bahwa barangsiapa yang beriman kepada Allah swt dan beriman kepada hari akhir maka ditetapkan baginya rahmat di dunia dan akhirat, adapun bagi orang yang tidak beriman maka baginya pemaafan dari apa yang terjadi pada umat-umat dari kelenyapan dan fitnah.

 

Kemudian bagi pendapat kedua yang menyatakan bahwa makna kalimat “seluruh alam” ini hanya bagi orang yang beriman, hal ini merupakan pendapat dari Ibnu Zaydun yang mengatakan bahwa kalimat “عَالَمِينَ” itu hanya bagi orang yang beriman pada Allah swt, membenarkan-Nya, dan mentaati-Nya.

 

Diantara adanya dua pendapat tersebut, Imam At-Thabari memberikan penjelasan dalam kitabnya bahwa pendapat yang paling mendekati terhadap kebenaran adalah pendapat yang dikatakan oleh Ibnu Abbas ra. bahwasanya Allah swt mengutus Nabi Muhammad saw sebagai rahmat bagi seluruh alam, baik orang yang beriman maupun yang tidak beriman.

 

Maka rahmat bagi orang yang beriman adalah berupa petunjuk dari Allah swt, dan Allah swt akan memasukkan orang tersebut dengan sebab iman dan amalnya ke dalam surga. Adapun bagi orang yang tidak beriman maka baginya Allah swt akan menghindarkan dari dipercepatnya bala bagi mereka seperti bala yang turun terhadap umat sebelumnya karena mendustai Rasulnya. (Imam At-Thabari, Jami’ul bayan fi Ta’wilil Qur’an, Beirut: Muassasah Ar-Risalah, 2000, jilid 18, halaman 552).

 

Seperti yang sudah tertulis di atas bahwa salah satu tugas utama Nabi Muhammad saw adalah sebagai penyempurna akhlak, maka ini sejalan dengan sabda Nabi Muhammad saw yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam musnadnya pada bab musnad Abi Hurairah yang berbunyi:

 

إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلَاقِ

 

Artinya: “Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan keshalihan akhlak.”

 

Imam Ibnu Abdil Barr dalam kitabnya At-Tamhid menjelaskan bahwa maksud “صَالِحَ الْأَخْلَاقِ “ dalam makna Hadis ini adalah seluruh kebaikan yang ada, seperti  kehormatan diri, adil, dll. Dan beliau menjelaskan juga bahwa kebaikan disini dapat dikumpulkan dalam ayat 90 surat An-Nahl yang berbunyi:

 

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

 

Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. (Imam Ibnu Abdil Barr, At-Tamhid fil Muwatto’ minal ma’ani wal asanid, Maroko: Kementrian Wakaf dan Urusan Islam, 1967, jilid 24, halaman 333).

 

Tentu saja dalam kenyataannya, melaksanakan perkara-perkara yang baik tidaklah semudah yang dibayangkan. Terkadang dalam melaksanakannya kita mendapati adanya rasa kebosanan dan semacamnya. Maka, perkara yang baik pun juga perlu pembiasaan dimulai dari hal-hal kecil agar kebaikan tersebut menjadi terpatri dalam diri kita dan menjadi akhlak yang membaguskan kita.

 

Semoga kita semua diberikan oleh Allah swt kekuatan dan kemauan untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Aamiin yaa rabbal 'aalamiin

 

Wallahu a’lam bish-shawwab.

 

Muhammad Faidhur Rahman, Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Dirasat Islamiyah (FDI) UIN Jakarta dan Aktifis PMII FDI
 


Editor:

Ubudiyyah Terbaru