Opini

Membayangi Kematian

Jumat, 18 Juli 2025 | 14:38 WIB

Membayangi Kematian

Ilustrasi. Hidup dan mati adalah milik Allah. (Foto: NUOB/Mutho)

MEMBAYANGI kematian merefleksikan bahwa seorang hamba sebagai subjek dan kematian sebagai objek. Sebagai subjek, manusia akan senantiasa terlibat aktif dalam pelbagai aktivitas berisi kebajikan yang akan dapat diunduh kelak di alam kelanggengan, karena ia sadar betul bahwa hidup dan mati adalah milik Allah.
 


Manusia tidak ingat sejak kapan ia pertama kali hidup. Begitu pula, kapan ia akan meninggal, sebab keduanya adalah rahasia Ilahi. Hal ini, bermakna agar manusia selalu memosisikan akhirat sebagai top priority, daripada dunia.


Ketika seseorang sudah membayangi kematian, maka ia akan menjalani laku rutinitas daily basis-nya dengan penuh ghirah; menyala dalam bara semangat, tanpa putus asa dan terus menerus mem-booster diri dengan perbuatan yang bermanfaat serta tidak ada waktu terbuang dengan sia-sia.



Pendek kata, jika kelahiran manusia adalah awal dari goresan tinta untuk kemudian menjadi keseluruhan cerita novel kehidupan, maka kematian adalah babak akhir dari balada alur cerita manusia di dunia. Sebagai pemilik tombol kematian, Allah swt telah mewanti-wanti bahwa setiap yang bernyawa pasti akan merasakan kematian (QS al-Ankabut: 57), termasuk manusia agar ia tidak melupakan tujuan fundamental atas misi kehidupan yang diembannya. Manusia mesti memahami bahwa Allah menciptakannya adalah untuk beribadah (menyembah) kepada-Nya (QS Adzariyat: 56) dan tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun (QS an-Nisa: 36).

ADVERTISEMENT BY OPTAD



Nabi Muhammad saw juga memperingatkan umatnya agar tidak mengidap penyakit wahn—hubbud dunya wa karahatul maut (cinta dunia dan benci kematian), seperti redaksi hadits yang dirilis sahabat Tsauban dan diabadikan oleh Imam Abu Dawud (Sunan Abu Dawud, 2019, nomor hadits 4297), karena keduanya merupakan awal kefatalan abadi. Kehidupan di dunia dengan lila-likunya, adalah medium elan vital, meminjam istilah Filsuf Prancis Henri Bergson, sehingga manusia ulul albab harus secara kontinu bervisi keakhiratan selama hidup di alam dunia.



Salah satu visi keakhiratan adalah kebajikan yang dilakukan oleh seseorang tatkala masih hidup di dunia dan terus berguna bagi sesama. Ketika manusia telah meninggal, maka semua amalnya terputus kecuali tiga hal, yaitu sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mau mendoakan orang tuanya (Shahih Imam Muslim, 2019, nomor hadits 1631).

ADVERTISEMENT BY ANYMIND


Kebajikan ukhrawi bagi pejabat pemegang otoritas publik adalah ketika mereka mampu menjalankan program kerakyatan seperti; mencerdaskan kehidupan bangsa, membuka lapangan pekerjaan, penyediaan ketercukupan pangan, sandang dan papan. Bagi para penegak hukum Allah, amal jariah mereka dapat berupa memutus mata rantai kemaksiatan dan potensi kerusakan di muka bumi. Lain halnya, bagi para cerdik pandai, mereka dapat menulis artikel atau jurnal yang dipublikasikan sehingga dapat dinikmati kemanfaatannya oleh khalayak.



Natijah-nya, bahwa sesungguhnya Allah menyamarkan umur manusia agar ia terus dapat berbuat kebajikan karena kematian merupakan misteri yang pasti dialami oleh setiap manusia. Oleh sebab itu, adalah keniscayaan bagi kita yang memiliki logika kewarasan berpikir untuk menjaga konsistensi atas kebaikan dengan all out menambah investasi akhirat semaksimal mungkin, karena begitu nyawa berpisah dengan raga, maka kesempatan berbuat kebajikan telah terkunci rapat selamanya.

ADVERTISEMENT BY OPTAD

Wallahu a’lamu bisshawab.
 


Kiai Hadi Susiono Panduk, Kolumnis Muslim, Kelahiran Undaan Kidul, Kudus, Jawa Tengah. Alumnus Pondok Pesantren Sabilillah, al-Khoirot dan MA Nahdlatul Muslimin, Kudus, dan Universitas Diponegoro Semarang. Wakil Rais Syuriyah PCNU Kabupaten Lebak, Pengurus MUI Kabupaten Lebak, Dewan Pakar ICMI Orwil Banten, dan Majelis Pakar P2i Provinsi Banten.

ADVERTISEMENT BY ANYMIND

ADVERTISEMENT BY ANYMIND