Pendahuluan
KEPEMIMPINAN dalam organisasi kemasyarakatan (ormas) memiliki peran penting dalam menentukan arah dan keberhasilan organisasi tersebut. Dalam konteks ormas berbasis keagamaan, seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, atau organisasi sejenis lainnya, kepemimpinan seringkali dipegang oleh seorang kiai. Kiai, yang dianggap sebagai pemimpin spiritual, memiliki otoritas yang diakui oleh anggotanya. Namun, tantangan yang muncul adalah bagaimana otoritas ini dapat dikelola dengan baik sehingga tidak berubah menjadi otoriter.
Baca Juga
Jabatan Titipan Allah
ADVERTISEMENT BY OPTAD
Otoritas Kepemimpinan Kiai
Baca Juga
Menuju Kefitrian Manusia Baru
Otoritas adalah kekuatan atau hak untuk memimpin dan memerintah. Dalam konteks kepemimpinan kiai, otoritas ini bersumber dari pengetahuan agama, keteladanan, dan penghormatan dari para pengikutnya. Kiai diakui memiliki kemampuan untuk memberikan petunjuk, nasihat, dan arahan dalam berbagai aspek kehidupan, terutama yang berkaitan dengan ajaran agama.
ADVERTISEMENT BY ANYMIND
Kiai yang memiliki otoritas biasanya dihormati dan diikuti oleh anggota ormas karena dianggap memiliki legitimasi yang kuat, baik dari segi keilmuan maupun pengalaman. Otoritas kiai ini juga diperkuat oleh tradisi dan budaya yang ada di masyarakat, yang menempatkan kiai sebagai figur sentral dalam kehidupan keagamaan.
ADVERTISEMENT BY OPTAD
Kepemimpinan Otoriter
ADVERTISEMENT BY ANYMIND
Meski otoritas merupakan elemen penting dalam kepemimpinan kiai, ada risiko bahwa otoritas ini dapat berubah menjadi otoriter. Kepemimpinan otoriter adalah gaya kepemimpinan di mana seorang pemimpin mengambil keputusan sendiri tanpa melibatkan anggota organisasi dalam proses pengambilan keputusan. Dalam konteks ini, kiai yang seharusnya menjadi pemimpin yang bijaksana dan inklusif bisa berubah menjadi sosok yang memaksakan kehendak tanpa memperhatikan aspirasi anggotanya.
Kepemimpinan otoriter dapat menimbulkan masalah serius dalam ormas. Anggota organisasi mungkin merasa terpinggirkan dan tidak dihargai pendapatnya. Ini dapat menyebabkan penurunan kepercayaan, loyalitas, dan bahkan konflik internal. Selain itu, ormas yang dipimpin secara otoriter cenderung kurang inovatif dan adaptif karena segala keputusan tergantung pada satu orang pemimpin saja.
Menghindari Kepemimpinan Otoriter
ADVERTISEMENT BY ANYMIND
Untuk menghindari perubahan dari otoritas menjadi otoriter, penting bagi kiai sebagai pemimpin ormas untuk menerapkan prinsip-prinsip kepemimpinan yang inklusif dan partisipatif. Beberapa langkah yang dapat dilakukan antara lain:
Pertama, meningkatkan kesadaran dan pendidikan kepemimpinan
Pelatihan Kepemimpinan. Pemimpin dan calon pemimpin dalam ormas perlu diberikan pelatihan khusus tentang gaya kepemimpinan yang inklusif dan partisipatif. Hal ini bisa dilakukan melalui workshop, seminar, atau diskusi yang membahas pentingnya kepemimpinan kolektif dan dampak negatif dari kepemimpinan otoriter.
Kemudian mentoring. Mendorong pemimpin senior untuk menjadi mentor bagi pemimpin muda, sehingga mereka dapat belajar dari pengalaman dan menghindari pola-pola otoriter.
Kedua, membangun sistem pengawasan dan akuntabilitas
Mekanisme pengawasan internal. Membentuk dewan atau komite pengawas yang independen untuk memantau keputusan dan tindakan pemimpin. Dewan ini harus memiliki kewenangan untuk meninjau kebijakan dan memberikan masukan atau peringatan jika pemimpin cenderung bertindak otoriter.
Transparansi. Semua keputusan penting dalam ormas harus dibuat secara terbuka dan disosialisasikan kepada seluruh anggota. Transparansi ini mencakup laporan keuangan, kebijakan strategis, dan proses pengambilan keputusan.
Ketiga, mengembangkan budaya musyawarah dan partisipasi
Musyawarah sebagai budaya. Menanamkan budaya musyawarah dalam pengambilan keputusan. Setiap anggota ormas harus merasa memiliki hak untuk berpendapat dan terlibat dalam proses pengambilan keputusan.
Forum diskusi rutin. Mengadakan pertemuan atau forum diskusi rutin di mana anggota bisa mengungkapkan pendapat, kritik, dan saran. Ini akan mendorong keterlibatan aktif dan mencegah dominasi oleh satu orang pemimpin.
Keempat, memperkuat keterlibatan anggota
Keterlibatan dalam program dan kegiatan. Melibatkan anggota dalam perencanaan dan pelaksanaan program-program ormas. Ketika anggota merasa terlibat dan didengar, mereka akan lebih loyal dan cenderung mendukung keputusan yang diambil secara kolektif.
Pemilihan pemimpin yang demokratis. Memastikan proses pemilihan pemimpin dilakukan secara demokratis, dengan mempertimbangkan aspirasi seluruh anggota. Pemimpin yang terpilih secara demokratis biasanya akan lebih berhati-hati dalam menjalankan kepemimpinannya agar tidak terkesan otoriter.
Keempat, penyelesaian konflik secara bijaksana
Mediation. Jika terjadi konflik atau ketegangan akibat kepemimpinan yang dianggap otoriter, penting untuk menyelesaikannya melalui mediasi. Mediasi yang melibatkan pihak ketiga yang netral dapat membantu mencari solusi yang adil.
Refleksi dan koreksi diri. Pemimpin harus selalu melakukan refleksi diri terhadap gaya kepemimpinannya. Jika ada kritik atau masukan dari anggota, penting untuk mendengarnya dengan terbuka dan melakukan koreksi jika diperlukan.
Keenam, menjaga keberlanjutan kepemimpinan
Regenerasi kepemimpinan. Mendorong regenerasi kepemimpinan secara teratur untuk mencegah monopoli kekuasaan oleh satu individu atau kelompok. Ini juga membantu menjaga dinamika dan inovasi dalam ormas.
Pendidikan anggota tentang kepemimpinan. Memberikan pendidikan kepada anggota tentang pentingnya memilih pemimpin yang tidak hanya berwibawa, tetapi juga inklusif dan berorientasi pada kepentingan bersama.
Mengintegrasikan prinsip sami'na wa atha'na (kami mendengar dan kami taat) dalam lingkungan organisasi dengan kepemimpinan yang tidak otoriter memerlukan pemahaman yang mendalam dan keseimbangan antara ketaatan dan musyawarah.
Berikut penjelasan lebih lanjut mengenai bagaimana kedua konsep ini dapat dipadukan tanpa bertentangan:
Pertama, memahami konteks sami'na wa atha'na
Ketaatan dalam agama. Sami'na wa atha'na biasanya merujuk pada ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, yang dalam konteks agama adalah bentuk kepatuhan yang mutlak. Namun, dalam konteks organisasi, prinsip ini dapat diterapkan pada ketaatan kepada pemimpin asalkan pemimpin tersebut bertindak dalam koridor ajaran agama dan untuk kemaslahatan bersama.
Batasan Ketaatan. Ketaatan kepada pemimpin dalam organisasi tidak bersifat mutlak seperti dalam agama. Jika pemimpin bertindak di luar prinsip keadilan, transparansi, dan musyawarah, anggota memiliki hak untuk memberikan masukan atau bahkan mengkritik secara konstruktif.
Kedua, kepemimpinan yang adil dan bijaksana
Kepemimpinan proporsional. Pemimpin yang memahami sami'na wa atha'na akan menuntun dengan cara yang mengedepankan kebaikan bersama, adil, dan bijaksana. Ketaatan yang diberikan oleh anggota kepada pemimpin yang adil adalah bentuk penerapan dari prinsip ini.
Menerima masukan. Pemimpin harus terbuka terhadap masukan dan kritik dari anggota. Ini tidak bertentangan dengan prinsip sami'na wa atha'na, melainkan memperkuatnya karena pemimpin bertindak sesuai dengan ajaran agama yang menuntun kepada musyawarah dan keadilan.
Ketiga, musyawarah sebagai bagian dari ketaatan
Musyawarah sebagai pilar ketaatan. Dalam Islam, musyawarah (syura) adalah prinsip penting dalam pengambilan keputusan. Ini berarti bahwa ketaatan tidak menghilangkan peran musyawarah. Anggota organisasi tetap dapat memberikan pendapat dan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, yang pada akhirnya menghasilkan keputusan yang lebih baik dan diterima oleh semua pihak.
Ketaatan setelah musyawarah. Setelah proses musyawarah dilakukan dan keputusan diambil, sami'na wa atha'na menjadi relevan karena anggota diharapkan untuk mendukung keputusan tersebut, dengan pemahaman bahwa keputusan tersebut sudah melalui proses yang adil dan inklusif.
Keempat, keseimbangan antara ketaatan dan pengawasan
Pengawasan yang sehat. Dalam lingkungan organisasi, penting untuk menjaga keseimbangan antara ketaatan dan pengawasan terhadap pemimpin. Ketaatan tidak berarti membiarkan pemimpin bertindak otoriter. Sebaliknya, anggota dapat memberikan pengawasan dengan niat untuk menjaga agar pemimpin tetap bertindak sesuai dengan nilai-nilai yang dijunjung oleh organisasi.
Pemberian masukan dengan hikmah. Ketika ada ketidaksesuaian, anggota dapat memberikan masukan dengan cara yang bijaksana dan sesuai dengan etika. Ini juga merupakan bagian dari sami'na wa atha'na karena anggota bertindak untuk kebaikan bersama.
Kelima, menjaga harmoni dan persatuan
Persatuan sebagai tujuan utama. Prinsip sami'na wa atha'na harus diarahkan untuk menjaga persatuan dan harmoni dalam organisasi. Ini berarti bahwa meskipun ada perbedaan pendapat, tujuan utama tetap menjaga keutuhan dan kelancaran operasional organisasi.
Membatasi otoriterisme. Dengan menjaga prinsip musyawarah dan ketaatan yang seimbang, risiko munculnya otoriterisme dalam organisasi dapat diminimalisir, dan pada saat yang sama, ketaatan yang diberikan tetap memiliki landasan yang kuat dalam agama dan keadilan.
Kesimpulan
Prinsip sami'na wa atha'na tidak bertentangan dengan upaya menjaga kepemimpinan yang inklusif dan non-otoriter dalam organisasi. Justru, ketika dipahami dan diterapkan dengan benar, prinsip ini mendukung terciptanya kepemimpinan yang adil, partisipatif, dan didasari oleh musyawarah.
Dengan demikian, anggota dapat tetap taat kepada pemimpin, namun juga berperan aktif dalam memastikan bahwa kepemimpinan tersebut dijalankan dengan cara yang sejalan dengan ajaran agama dan nilai-nilai organisasi.
H Enci Zarkasih, Ketua Pengurus Cabang NU Kabupaten Pandeglang
ADVERTISEMENT BY ANYMIND