Keislaman

Hukum Cukur Alis Perempuan yang Bersuami

Senin, 11 November 2024 | 23:37 WIB

Hukum Cukur Alis Perempuan yang Bersuami

Ilustrasi alis perempuan bersuami. (Foto: Freepik)

BERPENAMPILAN cantik menjadi idaman hampir seluruh wanita. Mereka rela melakukan banyak hal, bahkan dengan biaya yang tidak sedikit untuk mendapatkan penampilan yang diidamkan. Tak terkecuali dengan cara mengerik atau mencukur alis agar tampak lebih sempurna.   
 
Secara singkat, hukum mencukur alis bagi perempuan bersuami setelah mendapat izin suaminya adalah dibolehkan. Hal itu dikarenakan tidak adanya makna keharaman mengerik alis yaitu adanya unsur penipuan (tadlis) terhadap lelaki yang akan meminangnya, serta sudah semestinya istri mempercantik diri untuk suaminya.    
 
 
Hukum mengerik alis secara menyeluruh telah diputuskan dalam Forum Musyawarah Pondok Pesantren (FMPP) ee-Jawa Madura XXI di Pondok Pesantren Lirboyo, Kota Kediri, Jawa Timur, 2-3 Juni 2010. Keputusan tersebut menyampaikan adanya khilaf atau perbedaan pendapat di kalangan ulama:   
 
Pendapat pertama menurut mayoritas ulama (jumhurul ulama), perempuan yang bersuami dibolehkan mengerik alisnya apabila ada izin dari suami atau ada tanda-tanda (qarinah) yang menunjukkan izinnya. Sedangkan perempuan yang tidak bersuami hukum mengerik alis tidak dibolehkan.   
 
 
Namun sebagian ulama ada yang membolehkannya apabila diperlukan untuk pengobatan atau alisnya buruk dan menjadi aib baginya. Akan tetapi dengan syarat tidak ada unsur menipu (tadlis) pada orang lain, semisal saat dilamar ia mengerik alisnya sehingga tampak lebih cantik dari aslinya.   
 
Pendapat kedua, hukum perempuan bersuami mengerik alis adalah makruh apabila alisnya panjang. Namun menurut sebagian Ashab Imam Ahmad hukumnya boleh secara mutlak bahkan Imam Ahmad pernah melakukannya.   


Di antara referensi yang digunakan Bahtsul Masail FMPP adalah pendapat dari Al-Khathib As-Syirbini yang menjelaskan, hukum mengerik alis atas izin suami adalah diperbolehkan. 
 

 
   وَالتَّنْمِيْصُ وَهُوَ الْأَخْذُ مِنْ شَعْرِ الْوَجْهِ وَالْحَاجِبِ لِلْحُسْنِ لِمَا فِي ذَلِكَ مِنَ التَّغْرِيْرِ أَمَّا إِذَا أَذِنَ لَهَا الزَّوْجُ أَوِ السَّيِّدُ فِي ذَلِكَ فَإِنَّهُ يَجُوْزُ لِأَنَّ لَهُ غَرَضًا فِي تَزْيِيْنِهَا لَهُ وَ قَدْ أَذِنَ لَهَا فِيْهِ
 
Artinya: “Tanmish (yang haram) adalah mencabut rambut di wajah dan alis untuk kecantikan, karena tindakan itu merupakan bentuk penipuan. Adapun jika suami atau majikan (budak perempuan dalam konteks zaman perbudakan) telah memberi izin kepadanya, maka hal itu dibolehkan karena suami mempunyai tujuan agar sang istri berhias untuknya dan ia telah mengizinkannya.” (Mughnil Muhtaj, [Beirut, Darul Ma’rifah: 1998], juz I, halaman 294)
 
Referensi berikutnya dari Imam An-Nawawi yang menghukuminya dengan makruh, tidak sampai haram. An-Nawawi juga mengutip pendapat ulama Hanabilah yang membolehkannya: 
 
   
 وَأَمَّا الْأَخْذُ مِنَ الْحَاجِبَيْنِ إِذَا طَالَا فَلَمْ أَرَ فِيْهِ شَيْئًا لِأَصْحَابِنَا وَيَنْبَغِي أَنْ يُكْرَهَ لِأَنَّهُ تَغْيِيْرٌ لِخَلْقِ اللهِ لَمْ يَثْبُتْ فِيْهِ شَيْءٌ فَكُرِهَ وَذَكَرَ بَعْضُ أَصْحَابِ أَحْمَدَ أَنَّهُ لَا بَأْسَ بِهِ قَالَ وَكَانَ أَحْمَدُ يَفْعَلُهُ
 
Artinya: “Adapun mengerik atau mencabut alis jika panjang, saya belum melihat pendapat apa pun menurut para Ashab Syafi'i, dan semestinya dimakruhkan karena itu merupakan bentuk mengubah ciptaan Allah yang tidak ada dalilnya, maka dimakruhkan. Beberapa sahabat Imam Ahmad menyebutkan bahwa hal itu tidak ada salahnya. Beliau berkata; ‘Imam Ahmad pun melakukannya’.” (Al-Majmu’ Syarhul Muhaddzab, [Jeddah, Darul Irsyad: t.th], juz I, halaman 343)
 
Keputusan bahtsul masail FMPP juga mengutip penjelasan Ensiklopedi Fiqih Kuwait sebagai berikut:
 
   وَذَهَبَ الْجُمْهُوْرُ إِلَى أَنَّهُ لَايَجُوْزُ التَّنَمُّصُ لِغَيْرِ الْمُتَزَوِّجَةِ وَأَجَازَ بَعْضُهُمْ لِغَيْرِ الْمُتَزَوِّجَةِ فِعْلَ ذَلِكَ إِذَا احْتِيْجَ إِلَيْهِ لِعِلَاجٍ أَوْ عَيْبٍ بِشَرْطِ أَنْ لَايَكُوْنَ فِيْهِ تَدْلِيْسٌ عَلَى الآخَرِيْنَ … أَمَّا الْمَرْأَةُ الْمُتَزَوِّجَةُ فَيَرَى جُمْهُوْرُ الْفُقَهَاءِ أَنَّهُ يَجُوْزُ لَهَا التَّنَمُّصُ إِذَا كَانَ بِإِذْنِ الزَّوْجِ أَوْ دَلَّتْ قَرِيْنَةٌ عَلَى ذَلِكَ لِأَنَّهُ مِنَ الزِّيْنَةِ وَالزِّيْنَةُ مَطْلُوْبَةٌ لِلتَّحْصِيْنِ وَالْمَرْأَةُ مَأْمُوْرَةٌ بِهَا شَرْعًا لِزَوْجِهَا
 
Artinya: “Mayoritas ulama berpendapat bahwa tidak boleh bagi perempuan yang belum menikah untuk mengerik alis, dan sebagian dari mereka membolehkan perempuan yang belum menikah untuk mengerik alis jika diperlukan untuk mengobati atau menghilangkan cacat, dengan syarat tidak ada penipuan kepada orang lain.   
 
Adapun perempuan yang sudah menikah, sebagian besar ahli fiqih berpendapat bahwa hukum mengerik alis adalah dibolehkan jika atas izin suami, atau ada tanda-tanda (qarinah) yang mengisyaratkan demikian, karena hal itu termasuk menghias diri, dan itu dianjurkan untuk perempuan yang sudah bersuami. Selain itu seorang perempuan secara hukum agama diperintah melakukan hal tersebut untuk suaminya.” (Al-Mausu’atul Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, [Kuwait, Darus Salasil: 1988], juz XIV, halaman 81)
 
Berdasarkan Keputusan Bahtsul Masail FMPP XXI, hukum mencukur alis bagi perempuan bersuami setelah mendapat izin suaminya adalah dibolehkan. Wallahu a’lam. (NUO)   
 

 
Muhammad Zainul Millah, Pengasuh Pondok Pesantren Fathul Ulum Wonodadi Blitar, Jawa Timur