• logo nu online
Home Nasional Banten Raya Warta Keislaman Tokoh Khutbah Sejarah Opini Pesantren NU Preneur Ramadhan 2023
Jumat, 3 Mei 2024

Keislaman

Saat Akad Nikah, Mendahulukan Pihak Lelaki atau Perempuan?

Saat Akad Nikah, Mendahulukan Pihak Lelaki atau Perempuan?
Ilustrasi. (NUOB)
Ilustrasi. (NUOB)

NIKAH merupakan sebuah ibadah yang sangat dianjurkan bagi mereka yang memiliki kemampuan untuk melaksanakannya. Secara kebahasaan, nikah bermakna “berkumpul”. Sedangkan menurut istilah syariat, definisi nikah dapat disimak dalam penjelasan Syekh Zakariya Al-Anshari dalam kitab Fathul Wahab berikut ini:

 


 كتاب النكاح. هُوَ لُغَةً الضَّمُّ وَالْوَطْءُ وَشَرْعًا عَقْدٌ يَتَضَمَّنُ إبَاحَةَ وَطْءٍ بِلَفْظِ إنْكَاحٍ أَوْ نَحْوِهِ

 


 Artinya, “Kitab Nikah. Nikah secara bahasa bermakna ‘berkumpul’ atau ‘bersetubuh’, dan secara syara’ bermakna akad yang menyimpan makna diperbolehkannya bersetubuh dengan menggunakan lafadz nikah atau sejenisnya.” (Lihat Syekh Zakaria Al-Anshari, Fathul Wahab, Beirut, Darul Fikr, 1994, juz II, halaman 38).



Dari sudut pandang hukum, Sa‘id Mushtafa Al-Khin dan Musthafa al-Bugha, Al-Fiqhul Manhaji ‘ala Madzhabil Imamis Syâfi’i menjelaskan:


 

حكم النكاح شرعا للنكاح أحكام متعددة، وليس حكماً واحداً، وذلك تبعاً للحالة التي يكون عليها الشخص

 


Artinya, ’’Hukum nikah secara syara. Nikah memiliki hukum yang berbeda-beda, tidak hanya satu. Hal ini mengikuti kondisi seseorang (secara kasuistik).” (Lihat Sa‘id Musthafa Al-Khin dan Musthafa Al-Bugha, Al-Fiqhul Manhaji ‘ala Madzhabil Imamis Syâfi’i, Surabaya, Al-Fithrah, 2000, juz IV, halaman 17).

 


 

Dari keterangan tersebut, bisa dipahami bahwa hukum nikah akan berbeda disesuaikan dengan kondisi seseorang dan bersifat khusus sehingga hukumnya tidak bisa digeneralisasi. Lebih lanjut, Sa‘id Musthafa Al-Khin dan Musthafa Al-Bugha dalam kitab itu memerinci hukum-hukum tersebut sebagai berikut:

 


1. Sunah

Hukum nikah adalah sunah karena nikah sangat dianjurkan oleh Rasulullah. Hukum asal nikah adalah sunah bagi seseorang yang memang sudah mampu untuk melaksanakannya sebagaimana hadits Nabi riwayat Al-Bukhari nomor 4779 berikut ini:


 

يا معشر الشباب من استطاع منكم الباءة فليتزوج، فإنه أغض للبصر وأحصن

 للفرج، ومن لم يستطع فعليه بالصوم، فإنه له وجاءٌ

 


Artinya, “Wahai para pemuda, jika kalian telah mampu, maka menikahlah. Sungguh menikah itu lebih menenteramkan mata dan kelamin. Bagi yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa bisa menjadi tameng baginya.”

 


2. Sunah Ditinggalkan

Nikah dianjurkan atau disunahkan baiknya tidak dilakukan. Ini berlaku bagi seseorang yang sebenarnya menginginkan nikah, namun tidak memiliki kelebihan harta untuk ongkos menikah dan menafkahi istri. Dalam kondisi ini sebaiknya orang tersebut menyibukkan dirinya untuk mencari nafkah, beribadah dan berpuasa sambil berharap semoga Allah mecukupinya hingga memiliki kemampuan.

Hal ini senada dengan firman Allah SWT Surat An-Nur ayat 33:


وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحاً حَتَّى يُغْنِيَهُمْ اللَّهُ مِن فَضْلِه
 


Artinya, “Dan orang-orang yang tidak mampu menikah, hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sampai Allah memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya.”

 


Dalam konteks ini, jika orang tersebut tetap memaksakan diri menikah, maka ia dianggap melakukan tindakan yang dihukumi khilaful aula, yakni kondisi hukum ketika seseorang meninggalkan apa yang lebih baik untuk dirinya.

 


3. Makruh

Nikah adalah makruh. Ini berlaku bagi seseorang yang memang tidak menginginkan nikah, entah karena perwatakannya demikian, ataupun karena penyakit. Ia pun tidak memiliki kemampuan untuk menafkahi istri dan keluarganya. Jika dipaksakan menikah, dikhawatirkan bahwa hak dan kewajiban dalam pernikahan tidak dapat tertunaikan.

 


4. Lebih Utama Jika Tidak Menikah

Hal ini berlaku bagi seseorang yang sebenarnya memiliki kemampuan untuk menafkahi istri dan keluarganya, namun sedang dalam kondisi tidak membutuhkan nikah dengan alasan sibuk menuntut ilmu atau sebagainya.

 


5. Lebih Utama jika Menikah

Hal ini berlaku bagi seseorang yang memiliki kemampuan untuk menafkahi istri dan keluarganya, serta sedang tidak disibukkan menuntut ilmu atau beribadah. Maka orang tersebut sebaiknya melaksanakan nikah.

 


Pembaca NUOB yang dimuliakan Allah, jika ada pertanyaan, manakah yang benar dalam akad nikah, apakah akad yang berbunyi,’’Aku mengawinkan kamu dengan anak perempuanku’’, dengan mendahulukan pihak lelaki ataukah akad yang berbunyi,’’Aku mengawinkan anak perempuanku kepadamu’’, dengan mendahulukan pihak perempuan?

 


Muktamar Nahdlatul Ulama ke-7 di Bandung, Jawa Barat, yang dilaksanakan 13 Rabius Tsani 1351/9 Agustus 1932, seperti dikutip dari Juz Awal Ahkamul Fuqaha fi Muqarrarat Mu’tamirat Nahdlatil Ulama, Kumpulan Masalah Diniyah dalam Muktamar Nahdlatul Ulama PBNU, Penerbit CV Toha Putra Semarang, menjawab sebagai berikut:

 


Dalam akad nikah itu, tidak disyaratkan harus mendahulukan salah satu pihak. Jadi mendahulukan pihak lelaki atau pihak perempuan itu sama saja (sah).

Keterangan dan rujukan: sebagaimana dimaklumi dalam kitab-kitab fiqih dan andaikata salah satu akad tersebut tidak benar, maka dalam Kitab Syarhur Raudlah diterangkan, ‘’kesalahan dalam susunan kata-kata, tidak merusakkan.’’ Pengertian itu seyogyanya disamakan dengan kesalahan dalam i’rab (bacaan huruf terakhir) jadi tidak menjadikan sebab.

 


لا يشترط فى عقد النكاح تقديم احد الزوجين على الاخر فلا يضر تقديم الزوج على الزوجة اوتأخيره عنها. فكل من العقدين صحيح كما لايخفي فى كتب الفقه ولو حكما بالخطأ فقد قال فى شرح الروضة ما نصه : لان الخطأ في الصيغة اذا لم يخل بالمعنى ينبغي ان يكون كالخطأ فى الاعراب اه اى فلا يضر.
 


Wallahu ‘alam bis shawab


Keislaman Terbaru