Nasional

Harap Bukan Basa-basi Politik, Berikut Usul Istri Gus Dur setelah Pencabutan Tap MPR Ini

Senin, 30 September 2024 | 08:55 WIB

Harap Bukan Basa-basi Politik, Berikut Usul Istri Gus Dur setelah Pencabutan Tap MPR Ini

Nyai Sinta Nuriyah Wahid (kerudung putih) dan keluarga saat Silaturahim dengan pimpinan MPR RI, Ahad (29/9/2024). (Foto: instagram/@bambang.soesatyo)

Jakarta, NU Online Banten

Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mencabut Ketetapan (Tap) MPR Nomor II Tahun 2001 tentang Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Rabu (25/9/2024). Keputusan ini mendapat respons dari berbagai pihak. Salah satunya keluarga Gus Dur. Istri Gus Dur, Nyai Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid berharap pencabutan Tap MPR bukan sekadar basa-basi politik semata.


Selain itu, Nyai Sinta juga mengusulkan dua langkah konkret setelah pencabutan Tap MPR Nomor II/MPR/2001 ada upaya yang harus dilakukan.  

Pertama, nama Gus Dur segera direhabilitasi dengan mengembalikan nama baik, martabat, dan hak-haknya sebagai mantan presiden. Kedua, segala bentuk publikasi, baik buku pelajaran maupun buku-buku yang menyangkutpautkan penurunan Gus Dur dengan Tap MPR Nomor II/MPR/2001 mesti ditarik untuk direvisi.

 

Menurut Nyai Sinta, rekonsiliasi harus berdasarkan prinsip keadilan agar bisa efektif diterapkan. “Kami berharap rekonsiliasi ini dapat berjalan sebagaimana terjadi di Afrika Selatan semasa Nelson Mandela maupun yang terjadi di Timor Leste pasca-kemerdekaan. Maka kami keluarga Gus Dur menyambut proses rekonsiliasi ini dengan catatan dilakukan tidak dengan setengah hati,” ujar Nyai Sinta dalam keterangan yang diterima NU Online, Ahad (29/9/2024).


Nyai Sinta menegaskan pentingnya pelurusan sejarah bahwa Gus Dur tidak pernah melakukan tuduhan yang dialamatkan padanya. Menurutnya, banyak ahli hukum tata negara menyaksikan bahwa Gus Dur telah mengalami kudeta parlementer. Sebuah kerancuan proses politik, mengingat Indonesia tidak menganut sistem demokrasi parlementer, namun menganut sistem presidensial. Berbagai tuduhan terhadap Gus Dur melalui prosedur yang salah dan saling tabrak tidak pernah terbukti.


“Bagi kami yang paling menyakitkan adalah tuduhan seolah Gus Dur telah melakukan tindakan korupsi. Semua orang yang mengenal Gus Dur, dan saya rasa di ruangan ini banyak sekali orang yang pernah secara langsung berinteraksi dengan Gus Dur, bisa bersaksi tentang kesederhanaan Gus Dur,” kata Nyai Sinta.

 


Ia menambahkan, Gus Dur tidak pernah menumpuk harta benda. Gus Dur dijatuhkan karena dianggap tidak patuh pada MPR ketika hendak mengangkat kapolri, yang seharusnya menjadi kewenangan eksekutif, bukan legislatif. Anomali demokrasi seperti ini perlu dikoreksi.




“Kami pihak keluarga Gus Dur tidak pernah menyimpan dendam terhadap siapa pun yang terlibat dalam pelengseran Gus Dur dari kursi kepresidenan. Namun, keluarga Gus Dur berpendapat, penting bagi negara untuk meluruskan sejarah, agar seluruh bangsa bisa belajar dan tidak mengulangi kesalahan yang sama,” jelasnya.


Nyai Sinta menyebut kudeta terhadap Gus Dur merupakan peristiwa politik pertama ketika presiden yang terpilih secara demokratis dijatuhkan di tengah jalan. Pencabutan Tap MPR tersebut, menurutnya, dapat menjadi pengingat agar peristiwa serupa tidak terulang dan menjadi cermin bagi pendewasaan demokrasi. “Kami berharap bisa menjadi cermin paling jernih bagi pendewasaan demokrasi di Indonesia agar tidak dipermainkan oleh tangan-tangan kotor,” pintanya.


Ia mendorong agar momentum pencabutan Tap MPR Nomor II/MPR/2001 dimanfaatkan untuk mendesakkan berlakunya demokrasi yang esensial di negara ini, bukan demokrasi prosedural yang rentan direkayasa. “Tidak ada lagi pihak-pihak yang dapat dengan bebas melakukan rekayasa politik untuk menjatuhkan kekuasaan yang sah atau pun mengakali demokrasi untuk kepentingan-kepentingan diri dan kelompoknya semata. Apa yang terjadi pada Gus Dur, tidak boleh terulang lagi di negeri ini,” tegasnya.



Seperti diketahui, MPR mencabut sejumlah Ketetapan (Tap) MPR ihwal putusan perundang-undangan terhadap tiga mantan presiden RI. Yaitu Soekarno, Soeharto, dan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Aturan yang dicabut adalah Tap MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintah Negara. Berikut rinciannya.


Pertama, Tap MPR Nomor II/MPR/2021 tentang Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia KH Abdurrahman Wahid. MPR mencabut Tap MPR Nomor II/MPR/2021 terkait Presiden Keempat RI Abdurahman Wahid pada Rabu, 25 September 2024. Keputusan ini disampaikan Ketua MPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) dalam sidang akhir masa jabatan MPR periode 2019-2024 di Gedung Nusantara MPR.


"Pimpinan MPR menegaskan Tap II/MPR/2001 tentang Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Abdurrahman Wahid saat ini kedudukan hukumnya tidak berlaku lagi," kata Bamsoet.


Tap MPR Nomor II/MPR/2021 berisi tentang pemberhentian Gus Dur sebagai Presiden Republik Indonesia. Tap MPR ini juga menegaskan bahwa Gus Dus telah melanggar haluan negara. Namun, terkini Tap MPR Nomor II/MPR/2021 tersebut dinyatakan sudah tidak berlaku. "Tap MPR nomor II/MPR/2001 tentang pertanggungjawaban presiden RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur) kedudukannya resmi tak berlaku lagi. Surat dari fraksi PKB perihal kedudukan ketetapan MPR Nomor 2/MPR 2001 tentang pertanggungjawaban presiden KH Abdurrahman Wahid. Berdasarkan kesepakatan rapat gabungan MPR dengan pimpinan fraksi kelompok DPD pada tanggal 23 September yang lalu, pimpinan MPR menegaskan ketetapan MPR Nomor 2/MPR 2001, tentang pertanggungjawaban presiden RI KH Abdurrahman Wahid saat ini kedudukan hukumnya tidak berlaku lagi," kata Bamsoet, dilansir NU Online.


Kedua, Tap MPR Nomor 11 Tahun 1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Bersamaan hari dengan pembatalan Tap Nomor II/MPR/2001, MPR juga mencabut nama Presiden Kedua RI Soeharto dari Pasal 4 dalam Tap MPR Nomor 11 Tahun 1998 tentang Perintah untuk menyelenggarakan yang bersih tanpa korupsi, kolusi, nepotisme (KKN). Keputusan MPR mencabut nama Soeharto disampaikan Bambang Soesatyo dalam Sidang Akhir Masa Jabatan MPR Periode 2019-2024.


"Terkait dengan penyebutan nama mantan Presiden Soeharto dalam Tap MPR Nomor 11/MPR 1998 tersebut secara diri pribadi, Bapak Soeharto dinyatakan telah selesai dilaksanakan karena yang bersangkutan telah meninggal dunia," kata Bamsoet.


Keputusan MPR untuk mencabut nama Soeharto dari Pasal 4 Tap MPR 11/1998 itu merupakan mengamanatkan tindak lanjut dari Surat dari Fraksi Golkar pada 18 September 2024, dan diputuskan dalam rapat gabungan MPR pada 23 September. Pasal 4, yang pemberantasan KKN bagi pejabat negara itu secara eksplisit menuliskan nama Soeharto. Adapun Tap MPR 11/1998 soal Soeharto tersebut diteken pada 13 November di bawah pimpinan Ketua MPR Harmoko. Bunyi Pasal 4 yang secara terang menyebut nama Soeharto tersebut yaitu: "Upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapa pun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga, dan kroninya maupun pihak swasta/konglomerat termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak-hak, asasi manusia."


Ketiga, Tap MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintah Negara dari Presiden Sukarno.   Presiden Pertama RI Soekarno dikenal sebagai seorang proklamator kemerdekaan Indonesia. Di sisi lain, namanya juga tercoreng akibat terbitnya Tap MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967. Beleid itu secara tersirat menuding Bung Karno- sapaan Soekarno, terlibat agenda pemberontakan Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia atau G30S/PKI.


Surat pencabutan dari pimpinan MPR RI itu telah diserahkan Ketua MPR RI Bambang Soesatyo kepada keluarga Bung Karno. Di antaranya Presiden Kelima RI Megawati Soekarnoputri, Guntur Soekarnoputra, Sukmawati Soekarnoputri, dan Guruh Soekarnoputra.


"Saudara-saudara yang hadir pada pagi hari ini akan menjadi saksi sejarah secara langsung untuk mengikuti acara penyerahan surat pimpinan MPR RI kepada menteri hukum dan HAM Republik Indonesia serta kepada keluarga besar Bung Karno," kata Bamsoet.


Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia atau Menkumham Supratman Andi Agtas mengatakan, tuduhan keterlibatan Bung Karno dengan gerakan pemberontakan PKI pada pengujung September 1965 itu tidak terbukti setelah Tap MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 tidak berlaku lagi. 


Selain menghapus tuduhan terhadap Bung Karno, pencabutan Tap MPRS Nomor 33 juga untuk penghargaan dan pemulihan martabat Sang Proklamator. ’’Tuduhan-tuduhan dalam Tap MPRS tersebut yang ditunjukkan kepada sang proklamator kita, yakni Bung Karno, presiden pertama Republik Indonesia telah gugur dan dinyatakan tidak terbukti,” kata Supratman yang juga hadir dalam agenda penyerahan itu.


Adapun isi Tap MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967, yaitu:


Menetapkan: Ketetapan Tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno



BAB I

Pasal 1

Presiden Soekarno telah tidak dapat memenuhi pertanggungjawaban konstitusional, sebagaimana layaknya kewajiban seorang Mandataris terhadap Majelis Permusyawaratan Rakyat (Sementara), sebagai yang memberikan mandat, yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945.


Pasal 2

Presiden Soekarno telah tidak dapat menjalankan haluan dan putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Sementara), sebagaimana layaknya kewajiban seorang Mandataris terhadap Majelis Permusyawaratan Rakyat (Sementara) sebagai yang memberikan mandat, yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945.



Pasal 3 Melarang Presiden Soekarno melakukan kegiatan politik sampai dengan pemilihan umum dan sejak berlakunya ketetapan ini menarik kembali mandat Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dari Presiden Soekarno serta segala Kekuasaan Pemerintahan Negara yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945.


Pasal 4

Menetapkan berlakunya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Sementara) No. XV/MPRS/1966, dan mengangkat Jenderal Soeharto, Pengemban Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 sebagai Pejabat Presiden berdasarkan Pasal 8 Undang-Undang Dasar 1945 hingga dipilihnya Presiden oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat hasil Pemilihan Umum.



Pasal 5

Pejabat Presiden tunduk dan bertanggung-jawab.


 

Di bagian lain, MPR mendorong mantan presiden RI seperti Soekarno, Soeharto hingga Gus Dur untuk diberikan penghargaan yang layak sesuai dengan undang-undang sebagai pahlawan nasional. Hal ini disampaikan oleh Ketua MPR RI ke-16 Bambang Soesatyo (Bamsoet).


"Pimpinan MPR RI mendorong agar jasa dan pengabdian dari mantan Presiden Soekarno, mantan Presiden Soeharto, dan mantan Presiden Abdurrahman Wahid, dapat diberikan penghargaan yang layak sesuai dengan peraturan perundang-undangan sebagai pahlawan nasional, termasuk gelar Pahlawan Nasional," ujarnya. (Suci Amaliyah)