Tangerang Selatan, NU Online Banten
Lembaga Bahtsul Masail (LBM) Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Tangerang Selatan (Tangsel) kembali menggelar bahtsul masail antar-pesantren. Berkolaborasi dengan Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) PCNU Tangsel dan Lembaga Kajian Rasionalika Pesantren Darus-Sunnah sekaligus dalam rangka Haul Ke-9 KH Ali Mustafa Yaqub, pendiri Pesantren Darus-Sunnah, menggelar Bahtsul Masail Putri 20 Pesantren Jakarta, Banten, dan Jawa Barat.
’’Dilaksanakan Ahad, 27 April 2025 pukul 07.30-12.00 WIB di Aula Kiai Idris Kamali Pesantren Darus-Sunnah, Ciputat, Tangsel,’’ ujar Ketua LBM PCNU Tangsel Muhammad Hanifuddin dalam rilis yang diterima NUOB, Ahad (27/4/2025).
Permasalahan yang dibahas ada dua. Pertama terkait ibadah dinamis bagi mempelai perempuan. Di deskripsi masalah disebutkan, dalam beberapa tradisi pernikahan, khususnya di masyarakat tertentu, prosesi pernikahan berlangsung sejak pagi hingga malam dengan rangkaian acara yang padat.
Di tengah kesibukan ini, pengantin sering dihadapkan pada dilema saat memasuki waktu shalat. Di satu sisi, mempelai ingin menjalankan kewajiban ibadah sebagai seorang Muslim. Namun di sisi lain, terikat dengan jadwal acara, tekanan sosial, serta adat yang mengutamakan kelancaran prosesi tanpa gangguan.
Selain itu, kendala teknis seperti pakaian yang rumit, keterbatasan ruang untuk shalat, dan waktu yang sempit semakin memperumit situasi. Pengantin kerap mengalami konflik batin antara mendahulukan kewajiban agama atau tetap mengikuti jalannya acara yang melibatkan banyak pihak. Dilema ini semakin kompleks ketika ada anggapan bahwa meninggalkan prosesi sejenak untuk shalat bisa dianggap kurang sopan atau mengganggu acara.
Menyadari bahwa shalat adalah kewajiban yang harus diupayakan sebisa mungkin, sebagian orang menyiasati permasalahan ini dengan menjamak shalat mereka agar tetap dapat menjalankan ibadah tanpa mengorbankan kelancaran acara.
Pertanyaan yang diajukan adalah bagaimana hukum jamak shalat berdasarkan deskripsi tersebut. Selain itu, pertanyaan lain, jika tidak sah, bagaimana solusi yang tepat untuk fenomena tersebut.
Permasalah kedua adalah dilema khitan perempuan. Deskripsi masalah yang disajikan adalah bahwa khitan perempuan masih menjadi tradisi yang diwariskan turun-temurun di sebagian masyarakat. Praktik ini sering kali dilakukan dengan alasan keagamaan, budaya, atau kesehatan, meskipun pandangan tentangnya sangat beragam. Bagi sebagian orang, khitan perempuan dianggap sebagai bagian dari penyempurnaan fitrah, sementara bagi yang lain, praktik ini menimbulkan dilema etis dan medis.
Salah satu problematika utama adalah kurangnya standar yang jelas dalam pelaksanaannya. Tidak seperti khitan pada laki-laki yang memiliki prosedur medis yang lebih terstruktur, metode khitan perempuan sangat bervariasi. Hal ini menimbulkan tekanan sosial yang dihadapi oleh keluarga. Di satu sisi, mereka ingin mengikuti tradisi agar tidak dianggap menyimpang dari adat istiadat yang berlaku. Namun, di sisi lain, mereka juga dihadapkan pada kekhawatiran akan risiko medis. Pertanyaan yang dibahas, bagaimana hukum khitan perempuan seperti deskripsi tersebut.