• logo nu online
Home Nasional Banten Raya Warta Keislaman Tokoh Khutbah Sejarah Opini Pesantren NU Preneur Ramadhan 2023
Sabtu, 4 Mei 2024

Opini

Agama dan Budaya di Kampungku

Agama dan Budaya di Kampungku
Malam midodaren pernikahan yang di antaranya diisi suguhan wayang kulit. (Foto: Muhammad Hanifuddin for NUOB)
Malam midodaren pernikahan yang di antaranya diisi suguhan wayang kulit. (Foto: Muhammad Hanifuddin for NUOB)

SETELAH Isya', warga telah  hadir. Memenuhi kursi tamu. Acaranya, malam "midodaren" pernikahan. Rumah tuan rumah tidak mampu menampung. Membeludak. Hingga halaman dan jalan. Ratusan tamu berdatangan. Tidak sedikit, berasal dari kampung-kampung sekitar. Tepatnya di kampungku, Dusun Mayang, Jono, Tanon, Sragen. Kampung di ujung timur Jawa Tengah.  Dulu, dikenal dengan daerah "abangan". Berbatasan dengan Ngawi, Jawa Timur. 



Sekitar 20.30 WIB, pembawa acara membuka. Berdiri di bawah janur kuning. Menghadap ke pelaminan. Terdapat dua kembar mayang. Di sampingnya berjajar dua tandan pisang. Dilanjutkan pembacaan dzikir tahlil. Dipimpin oleh kiai kampung. Kiai muda alumni Pesantren Kwagean, Kediri. Dilanjutkan sambutan dari tuan rumah. Diwakili oleh Pak Bayan, perangkat desa setempat. Seorang santri. Sejak muda sudah naik haji. Dengan bahasa Jawa Krama Inggil, mempersilakan tamu menikmati sajian.



Rangkaian seremonial hanya 30 menit. Tidak lama. Pukul 21.00 WIB pertunjukan wayang kulit dimulai. Dalangnya Ki Sabar Sadono. Dalang gaek. Sudah memiliki 7 cucu. Tapi suaranya masih menggelegar. Semalam suntuk. Lakonnya Wahyu Katentreman. Sesekali mengutip ayat Al-Qur'an.



Filosofi lakon ini adalah ajaran cara manusia menggapai kebahagiaan hidup. Tidak diukur oleh materi, jabatan, atau pun popularitas. Hidup tentram berada pada hati yang bersyukur. Hati lapang. Menyegoro. Mudah memaafkan. Tidak hasad dan dengki.

 


Sepanjang cerita, ajaran-ajaran agama disampaikan. Baik dalam dialog atau pun janturan. Semisal pentingnya kejujuran, keadilan, tenggang rasa, hormat kepada yang tua, sayang kepada yang muda, suka berbagi, menebar kebaikan, dan masih banyak lagi. Termasuk otokritik. Mengingatkan bahaya merasa diri paling suci, takabur, bangga popularitas, gila harta, dan lain sebagainya.

 


Nilai-nilai agama ini menyatu dalam budaya. Tentu tidak sulit mencari dalilnya. Baik dalam Al-Qur'an ataupun hadits. Jika bijak dan cerdas, pertemuan agama dan budaya dapat saling memperkaya. Saling menumbuhkan. Bukan sebaliknya. Saling mematikan. Di titik inilah, kiai kampung dan tokoh masyarakat setempat berperan. Menjadi pialang kebudayaan dan peradaban.

 

Lantas, tertarikah Anda?

 

Kiai Muhammad Hanifuddin, Ketua Lembaga Bahtsul Masail PCNU Tangsel dan Dosen Ma'had Darus-Sunnah Jakarta


Opini Terbaru