Humanitarian Islam, Gus Dur, dan Nahdlatul Ulama: Visi Pluralisme Welas Asih
Rabu, 16 Oktober 2024 | 01:51 WIB
Singgih Aji Purnomo
Kolomnis
NAHDLATUL Ulama (NU), organisasi Islam terbesar di dunia, menonjol karena pendekatannya yang progresif dan pluralistik terhadap Islam. Inti dari evolusi ideologis NU adalah "Humanitarian Islam atau Islam Kemanusiaan," sebuah kerangka pemikiran yang berakar pada gagasan dan kepemimpinan KH Abdurrahman Wahid, yang dikenal sebagai Gus Dur. Gus Dur, yang menjabat sebagai presiden keempat Indonesia, berperan penting dalam mempromosikan visi Islam yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, pluralisme, dan toleransi.
Humanitarian Islam: Kerangka Kerja untuk Perdamaian dan Toleransi
Humanitarian Islam atau Islam Kemanusiaan muncul sebagai respons terhadap tantangan yang dihadapi oleh negara-negara mayoritas Muslim di era modern, terutama isu-isu yang berkaitan dengan ekstremisme, intoleransi, dan ketidakstabilan politik. Ini adalah interpretasi Islam yang inklusif dan pluralistik yang menekankan kasih sayang, keadilan sosial, dan martabat semua manusia, terlepas dari agama, etnis, atau latar belakang mereka.
Salah satu komponen kunci dari Islam Kemanusiaan adalah penolakannya terhadap ideologi ekstremis. Konsep ini berakar pada ajaran tradisional Islam, khususnya ajaran Ahlus Sunnah wal Jama'ah, mayoritas Sunni. Islam kemanusiaan mempromosikan jalan tengah (wasatiyyah) yang menghindari ekstrem radikalisme dan sekularisme. Ini merangkul keragaman dan menolak interpretasi kaku tentang hukum Islam yang dapat menyebabkan intoleransi atau kekerasan.
Humanitarian Islam juga berakar kuat dalam tradisi tasawwuf (tasawuf), dimensi spiritual Islam yang menekankan pemurnian batin, cinta, dan kasih sayang. Tasawwuf mendorong umat Islam untuk fokus pada hubungan mereka dengan Tuhan sambil menunjukkan kebaikan dan belas kasihan kepada orang lain. Pandangan spiritual ini sejalan dengan tujuan Islam Kemanusiaan yang lebih luas dalam menciptakan masyarakat yang damai dan harmonis.
Gus Dur: Arsitek Islam Pluralistik
Gus Dur memainkan peran sentral dalam membentuk Islam Kemanusiaan dan mengadvokasi pluralisme agama di Indonesia. Sebagai seorang sarjana, aktivis, dan politisi, pengaruh Gus Dur terhadap Islam Indonesia sangat mendalam. Gus Dur bukan hanya produk dari sistem pesantren tradisionalis NU, tetapi juga seorang intelektual modern yang terlibat dengan wacana filosofis dan teologis global.
Lahir dari keluarga NU terkemuka, Gus Dur tenggelam dalam keilmuan Islam tradisional sejak usia muda. Namun, pendidikannya di Timur Tengah dan paparan filsafat Barat dan wacana hak asasi manusia memperluas pandangan dunianya. Gus Dur memahami bahwa Islam harus didamaikan dengan prinsip-prinsip demokrasi, hak asasi manusia, dan pluralisme agar tetap relevan di dunia modern.
Sebagai pemimpin NU dan kemudian sebagai presiden Indonesia, Gus Dur adalah advokat yang tak kenal lelah untuk toleransi beragama dan hak-hak minoritas. Gus Dur memperjuangkan hak-hak non-Muslim di Indonesia, terutama komunitas etnis Tionghoa dan minoritas agama seperti Kristen dan Hindu. Pemerintahannya ditandai dengan upaya untuk mempromosikan dialog antaragama dan memerangi kekerasan sektarian. Visi Islam Gus Dur yang majemuk membuatnya dihormati baik di Indonesia maupun internasional.
Pluralisme Gus Dur tidak hanya teoritis, itu berakar kuat dalam tradisi Islam. Gus Dur sering mengutip ayat Al-Qur'an "Untukmu agamamu, dan bagi-Ku agamaku" (Qs. Al-Kafirun ayat 6) sebagai dasar kebebasan beragama. Gus Dur percaya bahwa Islam sejati menghormati kebebasan individu untuk mengikuti jalan agama mereka sendiri tanpa paksaan atau diskriminasi. Pandangannya juga dibentuk oleh konteks budaya Jawa, yang secara historis menganut sinkretisme dan toleransi agama.
Nahdlatul Ulama: Warisan Islam yang Penuh Kasih
Didirikan pada 1926, Nahdlatul Ulama telah menjadi kekuatan penting dalam membentuk Islam Indonesia. Para pendirinya, termasuk Hadratussyekh KH Hasyim Asy'ari, berusaha melestarikan keilmuan Islam tradisional sambil terlibat dengan modernitas. NU mewakili Islam Sunni tradisionalis di Indonesia, menekankan kepatuhan pada empat aliran yurisprudensi Sunni utama, terutama Mazhab Syafi'i, serta ajaran tasawuf.
Pendekatan NU terhadap yurisprudensi dan teologi Islam selalu ditandai dengan moderasi dan fleksibilitas. Ini mendorong interpretasi kontekstual hukum Islam (fiqih), dengan mempertimbangkan realitas budaya, sosial, dan politik saat itu. Hal ini memungkinkan NU untuk menyesuaikan ajaran agamanya untuk mendukung demokrasi, kesetaraan gender, dan keadilan sosial.
Di bawah kepemimpinan Gus Dur, NU memperluas fokusnya untuk mencakup tidak hanya pendidikan agama tetapi juga aktivisme sosial dan politik. Organisasi ini menjadi pemain kunci dalam mempromosikan demokrasi dan hak asasi manusia di Indonesia. Penolakan NU terhadap radikalisme dan pelukannya terhadap pluralisme telah menjadikannya benteng melawan ekstremisme di Indonesia, di mana kelompok-kelompok Islam garis keras telah berusaha untuk memaksakan interpretasi Islam yang kaku.
Saat ini, NU terus memainkan peran penting dalam mempromosikan Humanitarian Islam. Para pemimpinnya, seperti KH Yahya Cholil Staquf, telah membawa pesan Humanitarian Islam ke forum internasional, mengadvokasi interpretasi Islam yang damai dan penuh kasih dalam menghadapi meningkatnya ekstremisme global. NU juga telah terlibat dalam upaya melawan radikalisme melalui program pendidikan dan sosial, bekerja untuk menciptakan masyarakat yang lebih toleran dan inklusif.
Humanitarian Islam atau Islam Kemanusiaan, seperti yang diartikulasikan oleh Gus Dur dan Nahdlatul Ulama, mewakili visi Islam yang progresif dan pluralistik yang berakar kuat dalam tradisi tasawuf dan nilai-nilai kasih sayang, toleransi, dan keadilan sosial. Visi ini sangat kontras dengan interpretasi Islam yang kaku dan tidak toleran yang dipromosikan oleh kelompok-kelompok ekstremis. Warisan Gus Dur dalam mempromosikan kebebasan beragama, hak asasi manusia, dan demokrasi terus menginspirasi umat Islam di Indonesia dan di seluruh dunia.
Nahdlatul Ulama, dengan komitmennya terhadap moderasi dan pluralisme, tetap menjadi kekuatan penting dalam lanskap Islam global. Upayanya untuk mempromosikan Islam Kemanusiaan menawarkan narasi kontra yang kuat terhadap ekstremisme, menunjukkan bahwa Islam, ketika ditafsirkan melalui lensa kasih sayang dan keadilan, dapat menjadi kekuatan untuk perdamaian dan harmoni di dunia yang beragam dan saling berhubungan.
Â
Singgih Aji Purnomo, Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Al Amanah Al-Gontory, Jurnalis NU Online Banten
Terpopuler
1
Paradoks Jabatan Fungsional Dosen di Indonesia
2
Setelah Ojol Demo, Komisi V DPR Agendakan Rapat Bersama
3
Penguasa, Termasuk Pengurus NU Tidak Boleh Semena-mena
4
Ucapan Positif, Obat Ampuh Melawan Insecure
5
Sejumlah Hal Disampaikan Pengemudi Ojol saat RDPU dengan DPR
6
Khutbah Jumat: Ikhlas dalam Beribadah
Terkini
Lihat Semua