• logo nu online
Home Nasional Banten Raya Warta Keislaman Tokoh Khutbah Sejarah Opini Pesantren NU Preneur Ramadhan 2023
Rabu, 15 Mei 2024

Opini

Mengaji Agama Tidak Kalah Penting dengan Jihad fi Sabilillah

Mengaji Agama Tidak Kalah Penting dengan Jihad fi Sabilillah
Ilustrasi. (NUO)
Ilustrasi. (NUO)

SETELAH kemenangan ghazw terakhir Tabuk (Rajab, 9 H) menghadapi pimpinan Romawi Timur Sang Heraklius, Nabi Muhammad SAW hendak mengutus pasukan perang ke suatu daerah (sariyyah). Perlu diketahui menurut istilah sejarah kenabian, ghazw bisa diartikan dengan peperangan yang diikuti oleh Nabi Muhammad Saw, sedangkan peperangan yang tidak diikuti beliau pada masanya biasa disebut dengan sariyyah.

 


Dengan penuh semangat berapi-api, para sahabat pun menyambutnya dan sudi berperang semua. Tiada lagi yang tertinggal di Madinah layaknya para Munafiq, badui Arab, dan tiga sahabat yang terekam dalam butir-butir ayat surat At- Taubah. Melihat dahsyatnya antusias, akhirnya Allah menurunkan ayat tafaqquh fiddin yang artinya sebagai berikut.


 

“Dan tidak sepatutnya bagi Mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pemahaman (pengetahuan) mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (QS At-Taubah: 122)

 



Ayat ini hendak menegaskan para sahabat, dan juga kita bahwa mengaji agama (tafaqquh fiddin) itu tidak kalah penting dengan jihad fi sabilillah. Tanpa pondasi “pengajian” agama, sebuah peradaban takkan bisa lama berkuasa, sehebat apa pun kekuatan militernya. Jihad militer dan ijtihad pengetahuan harus ditegakkan bersamaan secara berimbang. Karenanya - menurut mufassir kenamaan Tunis, Ibn ‘Ashur (w. 1393 H)-, kekaisaran terbesar kedua dalam sejarah dunia, kekaisaran Mongolia (1206-1368 M) masih sangat rapuh sebelum mereka berbaur dengan para ilmuwan wilayah-wilayah yang ditaklukkan dan memasrahkan urusan pemerintahan kepada mereka.

 


Intinya di sini tentu bukan sejarah Mongol, tetapi pemaknaan fiqih di era kenabian. Makna fiqih masih padat dan sangat meluas. Tidak hanya halal- haram, tapi seluruh seluk beluk keagamaan masuk dalam kata fiqih. Bahkan, Al-Qur’an menggunakan kata fiqih untuk hal yang sukar diketahui; “Akan tetapi kalian tak mampu memahami (la tafqahuna) tasbih mereka”. Jadi, makna fiqih itu lebih spesifik daripada ilmu.

 


Dalam bahasa, orang bisa dikatakan faqih ketika ia memiliki bakat-tabiat (sajiyyah) memahami hal-hal rumit dengan sangat teliti. Bukan sekadar pemahaman yang biasa-biasa saja. Oleh karena pemaknaan lingual ini, ilmu fiqih sulit diraih kecuali dengan tafaqquh, bersusah payah mengerahkan segala daya upayanya untuk meraih pemahaman yang jeli. Maknanya, memahami agama dengan benar-tepat tidak bisa diraih dengan begitu mudah, harus teliti dengan pola pikir nan jernih. Untuk men-support ini, Rasulullah SAW pernah memotivasi para sahabatnya. “Barang siapa yang Allah kehendaki baik untuknya, niscaya ia akan memahamkannya (yufaqqihhu) tentang agama.” (HR Bukhari-Muslim)

 


Jika seseorang ingin Allah mengirim kebaikan untuknya, maka, yuk mengaji agama. Sebaliknya, ketika ia sudah enggan memahami agama, bersiap-siaplah menikmati keburukan yang Allah timpakan terhadapnya. Akibat dampak fiqih inilah, para ulama menetapkan fiqih sebagai ilmu yang paling spesial. Seiring dinamisasi ilmu-ilmu agama di era kodifikasi pengetahuan, mereka mengartikan hakikat fiqih dengan lebih fokus: “sebuah ilmu perihal hukum-hukum syariat yang praktis (dalam keseharian), digali dari sumber-sumber dalil terperinci dengan cara ijtihad.” Dan kini fiqih diperluas lagi cangkupannya dengan term: hukum Islam, terjemah dari Islamic Law.

 


H Muhammad Robi Ulfi Zaini Thohir, Ketua PCNU Kabupaten Serang, Pengasuh Ponpes Moderat At-Thohiriyah Pelamunan

 


Sumber:

Sulaiman Al-Jamal, Hasyiah Al-Jamal ‘alal Jalalain, (Bairut: Dar Al-Fikr, t.t), 329/2; Baca prolog Syekh Yusuf Al-Qardlawi dalam karyanya, Mujibatut Taghayyuril Fatwa, (Doha: Al-Ittihad li Alami Ulama`il Muslimin, 2007), 7;  Muhammad Al-Thohir ibnu ‘Asyur, Tafsir At-Tahrir wat Tanwir, (Tunis: Dar Sahnun, 1997), 59/11; Shahih Imam Bukhari no. 71 dan Shahih Imam Muslim no. 1037.


Opini Terbaru