• logo nu online
Home Nasional Banten Raya Warta Keislaman Tokoh Khutbah Sejarah Opini Pesantren NU Preneur Ramadhan 2023
Senin, 29 April 2024

Opini

Mengukur Kebenaran-Kebatilan yang Bersembunyi dalam Pemikiran

Mengukur Kebenaran-Kebatilan yang Bersembunyi dalam Pemikiran
Ilustrasi (NUO)
Ilustrasi (NUO)

DALAM litelatur klasik, mengaji Al-Qur’an, hadits, ijma, dan qiyas sebagai sumber-sumber hukum Islam tentu lebih dikenal dengan istilah ushul fiqih. Ushul fiqih (Islamic legal theory) muqaran telah dan akan selalu banyak mewarnai khazanah intelektual dalam peradaban Islam. Sejak abad pertama Hijriah, ushul fiqih telah memainkan peran dalam menggali berbagai hukum yang dibutuhkan masyarakat Muslim pertama. Ushul fiqih ada sejak fiqih ada. Keduanya tidak bisa dipisah, sebab dari ushul fiqihlah lahir produk fiqih. Sayangnya, pada permulaan kurun pertama, ushul fiqih belum terkodifikasi sebagaimana disiplin-disiplin ilmu Islam lainnya.



Adalah sebuah pandangan yang diterima secara umum bahwa Kitab ar- Risalah merepresentasikan usaha awal untuk mengompromikan metodologi hukum Islam yang berkembang antara aliran rasionalis di Irak dengan aliran tradisionalis di Hijaz. Melalui karya besarnya ini, Syafii (wafat 204 H) mempunyai jasa sebagai "Guru Arsitek" ilmu ushul fiqih. Tidak heran jika ar-Risalah merupakan model/kiblat bagi ahli-ahli ushul fiqih dan para teoretisi yang datang kemudian untuk berusaha mengikutinya.

 


Dengan ar-Risalahnya, Syafii berupaya merekonsiliasi secara universal doktrin-doktrin kaum rasionalis dan tradisionalis. Sebuah proyek besar yang terus berlanjut sepeninggal Syafii hingga keberhasilannya mulai tampak sangat jelas pada permulaan abad keempat di tangan Ibn Surayj (wafat 306 H) bersama para muridnya, seperti al Qaffal al Shashi (wafat 336 H), Ibn al Qash (wafat 336 H), dan Abu Bakr as-Sayrafi (wafat 330 H).

 


Dari catatan sejarah tersebut, kita bisa melihat betapa besar fungsi dan peran ushul fiqih dalam meminimalisasi ruang khilaf antar-Mujtahid dalam pelbagai problematika fiqih umumnya, dan terkhusus dalam mengompromikan antara aliran rasionalis di Irak dengan aliran tradisionalis di Hijaz.



Nah, berangkat dari potret masa lalu, penulis akan sedikit memaparkan multifungsi ushul fiqih melalui coretan sederhana ini. Tanpa mengetahui fungsi, ujar al Amidy (wafat 631 H), waktu-waktu yang kita habiskan untuk menelan ushul fiqih menjadi sia-sia; bagai berjalan jauh tanpa tujuan. Sebaliknya, dengan mengetahui multifungsi ini, kita tidak akan gagap dalam berdialog dengan teks-teks syariat dan dengan cakap menghidupkan jiwa ushul fiqih dari dunia kertas menuju pentas dunia nyata.



Memang fungsi utama ushul fiqih adalah agar mampu menggali hukum dengan benar dari sumber-sumbernya. Namun, di sini penulis perlu tegaskan bahwa ushul fiqih itu multifungsi. Selain fungsi tersebut, masih banyak fungsi yang mampu dimainkan ushul fiqih dari masa ke masa, hingga detik ini. Berikut adalah beberapa fungsi ushul fiqih –selain untuk istinbath- yang bisa kita petik saat mempelajarinya.

 

Pertama, menuntaskan pertikaian dalam furu'iyyat fiqhiyyah (masalah- masalah parsial fiqih) dan juga banyak pertikaian ideologis. Setelah meyakini bahwa konsep dasar atau landasan utamanya adalah sebuah titik kesepakatan antar dua belah pihak yang berbeda, maka kesepakatan mereka atas konsep/landasan tersebut akan menyelasaikan pertikaian dalam beberapa cabang yang bertumpu pada konsep dasar/landasan ini.

 


Contoh sederhana atas fungsi besar ini adalah lenyapnya kebanyakan aliran Islam yang keluar dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Mu'tazilah, Murji`ah, Jahmiyah, Mujassimah, dan masih banyak lagi aliran ideologis Islam yang dulu begitu menyebar, tapi lambat laun terkikis. Semua itu tidak terlepas dari peran ushul fiqih, sebagai standar metodologi mencari kebenaran.

 

Kedua, mengubah perbedaan akut yang saling bertentangan menjadi perbedaan yang saling mengisi dan bisa dimaklumi antar-pihak yang berselisih. Fungsi ini berperan saat ternyata perbedaan itu, setelah dianalisa, memang bertumpu pada kaidah ushul yang masih diperselisihkan. Karena pijakannya berada pada taraf dhanny dan diperselisihkan, sudah tentu hasilnya pun akan berbeda. Dari sini, masing-masing pihak yang berselisih akan bisa saling memaklumi dan menghormati. Fungsi ini bisa Anda temukan dalam banyak sekali masalah fiqih. Anda bisa juga menelaah kitab Atsar al Ikhtilaf fi al Qawa'id al Ushuliyah fi Ikhtilaf al Fuqaha` karya Musthafa Said al Khin.

 

Ketiga, melacak pemikiran yang berasal hanya dari hawa nafsu dan fanatik buta. Di sini, menurut al Bouthy, sebenarnya masih banyak sekali perselisihan yang menyebabkan permusuhan antarsesama, padahal perselisihan ini tidak memiliki dasar-dasar dari kaidah khilafiah dalam ushul fiqih. Larangan untuk mentakwili ayat as-Shifat dan menganggap sesat pelakunya, semisal. Pemikiran ini bila dilacak sama sekali tidak bertendensi. Bahkan, bertentangan dengan kaidah bahasa Arab, yang telah disepakati seluruh pakarnya; "Idza katsura al majaz, lahiqa al haqiqat." Kaidah ini jelas mempersilakan kita untuk membuka pintu takwil bila memang makna majaz seringkali terpakai.

 

Dengan mengembangkan ushul fiqih, kita akan mampu mengukur kebenaran dan kebatilan yang bersembunyi dalam sebuah pemikiran.

 


H Muhammad Robi Ulfi Zaini Thohir, Ketua PCNU Kabupaten Serang, Pengasuh Ponpes Moderat At-Thohiriyah Pelamunan



Sumber: Muhammad Abu Zuhrah, Asy-Syafi'i: Hayatuhu wa 'Ashruhu – Ara`uhu wa Fiqhuh, (Kairo: Dar Al Fikr Al Arobiy, 1978), 185; Wael B. Hallaq, A History of Islamic Legal Theories (terj.), 44-51; Dr. Muhammad Sa'id Ramadhan al Bouthy, Qadhaya Sakhinah, (Damaskus: Dar Al- Fikr, 2016), 55; 28 Saifuddin Ali al Amidy, Al Ihkam fu Usuhl al Ahkam, (Riyadl: Dar Al Shuma’i, 2003), 9; Dikutip dari al Bouthy, Qadhaya Sakhinah, 65-57.


Opini Terbaru