• logo nu online
Home Nasional Banten Raya Warta Keislaman Tokoh Khutbah Sejarah Opini Pesantren NU Preneur Ramadhan 2023
Kamis, 16 Mei 2024

Opini

NU dan Dakwah Para Wali

NU dan Dakwah Para Wali
Foto: Laduni.ID
Foto: Laduni.ID

Oleh: Kurniawan Nata

Para ulama nusantara penerus wali songo berusaha melestarikan ajaran dan strategi dakwah para pendahulunya itu secara arif. Pesantren, merupakan lembaga pendidikan warisan wali songo. Pesantren mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan, baik agama, kebudayaan, seni, ekonomi, politik, dan sebagainya. 

 

Para wali sadar betul bahwa kenusantaraan yang multietnis, multibudaya,dan multibahasa ini adalah anugerah Allah yang tiada tara. Belum lagi kondisi alamnya yang ramah, iklimnya yang tropis, tidak ekstrem, tidak terlalu panas dan tidak pula terlalu dingin. Ditambah dengan keanekaragaman hayati yang sangat kaya sumber mineral. Ini yang mereka pahami, sehingga mereka mensyukurinya dengan tidak merusak budaya yang ada atas nama Islam dan sebagainya.

 

Tentu saja anugerah agung ini patut disyukuri dengan dilestarikan dan dikembangkan; bukan diingkari dengan dibabat dan dihancurkan atas nama kemurnian agama atau atas nama kemodernan. Islam hadir justru merawat, memperkaya, dan memperkuat budaya Nusantara sehingga bisa berdiri sejajar di samping peradaban dunia yang lain

 

Kalangan pesantren sejak awal berusaha meneruskan dan mengembangkan warisan tradisi para wali ini. Karena itu, apa yang dulu dirintis para wali, terus dilestarikan dan dikembangkan dengan segala cara dan penuh risiko, terutama ketika memasuki abad modern di era global yang akan menghancurkan batas batas identitas etnik, budaya, bahasa, agama, dan teritorial ini. 

 

Hadirnya Islam modernis yang mempunyai misi khusus memurnikan Islam, dengan sendirinya menjadikan ajaran dan makam para wali sebagai sasaran utama penghujatan. Sebagai penerus ajaran Wali Songo, NU tampil untuk mempertahankan tradisi ini dengan risiko besar, baik secara teologis maupun ideologis. Secara teologis, pilihan jalan tengah NU ini dianggap terlalu toleran pada budaya lokal, baik terhadap sistem kepercayaan, seni budaya, dan tradisinya.

 

Dengan sikap yang demikian, NU dituduh sebagai pemuja roh nenek moyang, pembuat bid'ah, dan mengakui adanya tuhan selain Allah. Memang, masyarakat Nahdhiyin dan pesantren, menjaga keutuhan ajaran dan kehormatan Wali Songo dan lainnya dengan membangun makam mereka dan menjaganya, 

 

Tujuannya untuk mengingat jasa-jasa mereka. Karena itu, oleh kelompok Islam modernis yang puritan, NU dituduh mengidap penyakit TBC (takhayul, bid'ah, dan churafat). Celakanya, tuduhan itu dipertajam oleh para ilmuwan sosial berpikiran positivis yang mengategorikan Islam Nusantara sebagai Islam sinkretis, asimilatif, semi animis, dan tradisionalis.

 

Karena sikap NU berangkat dari landasan teologisnya sendiri, maka tradisi tersebut terus dijalankan dengan segala risiko caci maki dan hujatan. Terbukti, belakangan sudah tampak bahwa pilihan dan sikap NU itu ternyata benar, terutama ketika muncul gerakan post modernisme yang menghargai budaya lokal.

 

Para ilmuwan pun mengintroduksi apa yang disebut local knowledge (pengetahuan lokal) yang bersumber dari local wisdom (budaya lokal). Sejak saat itu, tidak ada lagi serangan pada NU dalam mempertahankan tradisi lokal ini. Para ilmuwan sosial pun fasih bicara tentang multikulturalisme sebagai landasan budaya dan kehidupan.

 

Bahkan, mereka mengusulkan hal ini agar diajarkan di sekolah. Perkembangan kebudayaan mengarah pada orientasi yang dikembangkan ulama NU yang diwarisi dari generasi Wali Songo. 

 

Para wali membawa ajaran Ahlus-sunnah wal jama'ah, sehingga cocok dengan kondisi bangsa Indosnesia yang majemuk. Apalagi, sejak awal, ahlus sunnah wal jama'ah adalah mazhab yang mengajarkan kesejukan mengembangkan pemahaman yang sepakat untuk mendamaikan dunia keilmuan dengan dunia politik serta spiritualitas guna membangun peradaban Islam. Selain itu, NU juga memiliki sikap tawassuth (moderat), tawazun (seimbang), dan tasamuh (toleran). 

 

Ketiganya merupakan prinsip jalan tengah yang disebut oleh al-Qur'an sebagai ummatan wasathan (masyarakat yang moderat). Dan, bentuk umat seperti itu oleh al-Qur'an disebut sebagai khairu ummah (sebaik-baik masyarakat).

 

Atas dasar itulah, sikap NU itu dipilih. Pilihan ini bukan atas dasar suka-tidak suka, melainkan dilandaskan atas pertimbangan dan hujjah (argumen) teologis, yakni berdasarkan seruan Islam itu sendiri, juga berdasarkan alasan ideologis, bahkan atas dasar pertimbangan epistemologis. Ini merupakan sebuah strategi kebudayaan Islam dalam memperkuat posisi kebangsaan.

 

Pancasila dengan segala derivasinya dalam politik, ekonomi, dan kebudayaan adalah jalan tengah. Meski Islam merupakan agama yang datang dari luar Indonesia, sebagaimana yang telah dibahas di atas, membuktikan kehadirannya berada pada titik ketenangan, kedamaian dan berhasil membaur dengan tradisi masyarakat Nusantara. Selain karena Islam memang merupakan agama damai, para penyebar Islam masa-masa awal mampu menjalankan dakwahnya dengan piawai.

 

Bagi NU, tradisi dakwah yang dilakukan Walisogo, tidak hanya menjadi khasanah peninggalan sejarah. Hingga saat ini, NU memposisikan dakwah bagai amaliah dan sebuah kekhasan yang harus dilestarikan. Maka tak heran, NU pun kemudian dianggap sebagai organisasi keagamaan yang tradisional. Dalam perkembangannya menjadi bagian dari islam dan dakwah di tengah-tengah masyarakat Islam Nusantara menjadikan lembaga NU terkhusus LESBUMI menjembatani Islam Nusantara dalam Saptawikrama.

 

Dan inilah 7 Strategi Kebudayaan Islam Nusantara LESBUMI PBNU sebagai berikut ini :

 

SAPTAWIKRAMA (AL-QAWA'ID AS-SAB'AH)

 

Tujuh Strategi Kebudayaan Islam Nusantara 

 

1. Menghimpun dan mengosolidasi gerakan yang berbasis adat istiadat, tradisi dan budaya Nusantara. 

 

2. Mengembangkan model pendidikan sufistik (tarbiyah wa ta'lim) yang berkaitan erat dengan realitas di tiap satuan pendidikan, terutama yang dikelola lembaga pendidikan formal (ma'arif) dan Rabithah Ma'ahid Islamiyah (RMI). 

 

3. Membangun wacana independen dalam memaknai kearifan lokal dan budaya Islam Nusantara secara ontologis dan epistemologis keilmuan.

 

4. Menggalang kekuatan bersama sebagai anak bangsa yang bercirikan Bhinneka Tunggal Ika untuk merajut kembali peradaban Maritim Nusantara. 

 

5. Menghidupkan kembali seni budaya yang beragam dalam ranah Bhnineka Tunggal Ika berdasarkan nilai kerukunan, kedamaian, toleransi, empati, gotong royong, dan keunggulan dalam seni, budaya dan ilmu pengetahuan. 

 

6. Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk mengembangkan gerakan Islam Nusantara. 

 

7. Mengutamakan prinsip juang berdikari sebagai identitas bangsa untuk menghadapi tantangan global.

 

Saat ini akibat dari konsekuensi globalisasi dan era digital, laku menjalankan ekspresi agama dan budaya mendapat gesekan yang menguras energi. Banyak aspek Islam Nusantara dianggap bertentangan dengan doktrin Islam yang asli.

 

Kelompok transnasional secara khusus tidak menyetujui praktik-praktik tradisional, sehingga Saptawikrama menjadi salah satu dari bagian NU dan LESBUMI di dalam memberikan penjelasan terkait Islam dan strateginya di dalam menghadapi zaman, terkhusus berupaya menjaga budaya dan bangsa yang kita cintai serta dengan kaidah-kaidah yang terdapat pada Ahlus-sunnah wal jama'ah.

 

Penulis adalah Ketua Lesbumi Kota Tangerang


Opini Terbaru