• logo nu online
Home Nasional Banten Raya Warta Keislaman Tokoh Khutbah Sejarah Opini Pesantren NU Preneur Ramadhan 2023
Sabtu, 27 April 2024

Opini

Sejarah Seni dan Kebudayaan Banten (1)

Sejarah Seni dan Kebudayaan Banten (1)
Hamdan Suhaemi (kiri) dan Gus Syauqi Ma'ruf Amin. (dok pribadi)
Hamdan Suhaemi (kiri) dan Gus Syauqi Ma'ruf Amin. (dok pribadi)

DAERAH Banten sejak dulu dikenal sebagai gudangnya ilmu, baik ilmu yang beraliran putih hingga yang beraliran hitam, dari ilmu pelet hingga ilmu jaya sempurna. Bahkan, Banten di abad 12-15 M menjadi pusatnya kaum Brahmana, kaum ajar, dan para ahli kebatinan Animisme. Gunung Pulo Sari adalah saksi bisu sejarah keluhuran dan ketuaan ilmu-ilmu sakti yang dimiliki oleh orang-orang Banten.  

 


Ketika Islam masuk abad 16 Masehi, Banten semakin terpancar sebagai mercusuar ilmu kedigdayaan dan kesaktian, di samping ilmu dan ajaran Islam. Dulu Banten seperti menjadi kutubnya pengetahuan sufisme di tanah Jawa, dan fakta itu terdapat di Kasunyatan dan Kenari sebagai pusat pengetahuan sufisme Jawa, bersamaan dengan kegiatan sufisme di Giri Kedaton, Bonang Tuban, dan Samudera Pasai  Aceh.

 


Dalam hal ini kita coba urai sisi kebudayaan Banten yang berakar dari kedigdayaan dan kesaktian leluhur Banten, seperti:

 


Debus

Debus merupakan seni yang paling khas di Banten dan sangat terkenal. Orang selalu mengaitkan Banten dengan debus sebab keduanya seakan telah menyatu. Debus suatu corak kesenian yang memperagakan ketangkasan dan kekuatan supranatural, antara lain para peraga debus kebal senjata tajam, menggoreng telor di atas kepala, hingga keluar dari mulutnya ribuan kelelawar, dan lain sebgaianya. Debus timbul sejak abad 17 saat Kesultanan Banten tengah memasuki zaman keemasannya yakni di era Sultan Ageng Tirtayasa. Dan untuk pertama kalinya diciptakan oleh Syekh Al Madad atas instruksi sultan sebagai penambah kecakapan dan ketangkasan prajurit Surosowan.

 


Saman

Tradisi saman ini tak ubahnya dzikir mulud cuman ada bedanya sedikit pada penampilan dan seni pertunjukannya yang khas. Perbedaanya dengan dzikir mulud, saman bisa dipentaskan pada acara di luar bulan mulud seperti pada hajatan perkawianan dan khitanan. Pentas saman dilakukan oleh 10-20 orang yang kesemuannya laki-laki, satu orang menjadi imam dan 3 orang menjadi pelagu (tasywid) dan sisanya adalah pembaca dzikir,  mereka bersahutan dengan gerakan ritmis yang jenaka. Dzikir saman berkembang sejak 1950-an ketika dimunculkan pertama kalinya oleh Ki Saidi  (asal dari Lampung ) di Kampung Ciseyeg Baros, hingga kini saman berkembang di Kecamtan Kopo, Pamrayan, Petir, dan Walantaka. Jika disetarakan dzikir, saman hampir mirip pula dengan yalil yang biasa ada di acara buka pintu di walimatul arusy (pernikahan).

 


Angklung Buhun

Keseniana ngklung buhun pertama kalinya muncul seiring dengan kemunculan perangkat alat angklung buhun sekitar 1745 di Sungai Ciwaka anak sungai Ciujung, Banten selatan. Perangkat angklung tersebut terapung-apung di atas rakit yang terbuat dari pohon pisang. Rupanya disengaja dihanyutkan oleh orang yang tidak diketahui. Angklung buhun dimainkan oleh 11 orang, satu di antaranya menjadi pimpinan, 10 orang masing-masing memegang dan memainkan dogdog timbal, dogdog kempul, kacer, gong, kecrek, dan kenong. Busana yang dipakai adalah ikat kepala romal khas Banten selatan. Baju kampret dan celana pangsi. Mereka mendendangkan lagu jiro, lagu parikesit, lagu perang. Dalam angklung buhun lebih dominan instrumentalnya dibanding vokalnya dan pentasnya hinga memakan waktu 1-2 jam.  

 


Ubrug

Kesenian ubrug tak ubahnya pentas Jaipong khas Sunda, bedanya terdapat pada tambahan pelawak yang memakai hiasan di muka yang memeragakan lakon dan mengitari penari ronggeng.Sesuai ritme lahu-lagu dengan alunan gamelan yang ditabuh, lakon pelawak yang meneglilingi penari ronggeng terkadang memerankan serius terkadang jenaka dan berjingkrak-jingkrak di panggung. Tak lepas dari pentas seni tersebut ada saweran buat penari perempuan (ronggeng) yang tengah menari, layaknya orang ngibing dan menyelipkan uang ke dada penari.

 


Terbang Gede

Seni terbang gede merupakan kesenian yang bernafaskan Islam karena sekitar abad ke-16, kesenian ini untuk kali pertama ada sebagai media dakwah dalam penyebaran Islam di Banten. Bisa jadi terbang gede ini diciptakan oleh Maulana Hasanudin, sultan pertama Banten, lantunan lagu yang mengiringi nada terbang gede adalah shalawat dan dicampuri dengan syair atau lirik bahasa jawa Serang. Para pemain seni terbang gede ini terdiri atas 5 orang yang menabuh terbang gede, 15 orang yang melantunkan lagu.

 


Gacle

Kesenian gacle ini untuk kali pertama timbul di Kampung Panggung, Desa Kendayakan, Kragilan, Kabupaten Serang. Gacle biasa dimainkan pada malam bulan purnama atau saat panen tiba. Alat pendukung pentas gacle ini adalah instrumen musik seperti kendang, terompet, 3 buah gong, ketuk, dan kecrek. Jumlah pemain 14 orang terdiri atas 8  orang yang memainkan gamelan, 5 orang yang menari, dan 1 perempuan yang jadi gacle. Lagu pengiringnya adalah soslosih suling dami, ning karep ana sasanga.

 


Kuda Kepang

Kesenian kuda kepang ini muncul pertama kalinya di Pulo Kencana, Pontang, Kabupaten Serang sekitar 1918. Kuda kepang hampir mirip dengan kuda lumping yang ada di Jawa. Permainan kuda kepang dimainkan oleh 30 orang, mereka memaikan instrumen pengiring kuda kepang yang dibuat oleh kayu atau bambu mirip kuda. Ada yang meniup terompet, memukul kendang dan gong, dan pemegang kecrek, ada pula yang menjadi penggesek rebab batok. Yang 5 orang memainkan kuda kepang, 5 orang yang memainkan pencak silat, 1 pemain alu, 2 orang yang jadi pelawak, 5 orang yang memainkan toya, 1 orang pemain cabang, dan sisanya 2 orang pemakai topeng. Lagu pengiringnya dalah kidung Pancasila, buah kawung serta paleredan.

 


Wewean

Kesenian wewean ini hampir mirip dengan ondel-ondelnya Betawi. Cuman wewe ini bermula untuk mencari anak yang diculik oleh wewe satu dari makhluk halus. Kesenian wewe muncul pertama kalinya di Kiara, Ciruas, Kabupaten Serang. Wewean ini dimainkan oleh 10 orang yang mengiringi wewe (sejenis ondel-ondel ), 3 orang berperan sebagai pelawak, 1 orang yang membawa wewe, dan 6 orang sebagai pesilat. Ukuran wewe sekitar 2 meter.

 

 Hamdan Suhaemi, Ketua MDS Rijalul Ansor Banten dan Wakil Ketua PW GP Ansor Banten


Opini Terbaru