• logo nu online
Home Nasional Banten Raya Warta Keislaman Tokoh Khutbah Sejarah Opini Pesantren NU Preneur Ramadhan 2023
Sabtu, 4 Mei 2024

Sejarah

Antara RA Kartini dan Kiai Sholeh Darat Semarang

Antara RA Kartini dan Kiai Sholeh Darat Semarang
Raden Ajeng Kartini. (Foto: Collectie Stichting Nationaal Museum van Wereldculturen via Wikimedia)
Raden Ajeng Kartini. (Foto: Collectie Stichting Nationaal Museum van Wereldculturen via Wikimedia)

Banten, NU Online Banten
Nama Raden Ajeng (RA) Kartini begitu harum dan dikenang hingga saat ini. Setiap 21 April seperti hari ini, Ahad (21/4/2024), diperingati sebagai Hari Kartini. Dikutip dari tulisan Muhammad Makhdum, anggota Lajnah Ta’lif wan Nasyr Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Tuban, Ahlul Ma’had Lembaga Tinggi Pesantren Luhur Malang, di NU Online, Kartini bukanlah sosok perempuan biasa. Lahir pada 21 April 1879 dengan nama bangsawan Raden Ajeng Kartini Djojo Adhiningrat.



Keluarga besar Kartini berlatar belakang priyayi-santri. Garis bangsawan diwarisi dari ayahnya, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, seorang bupati Jepara yang nasabnya bersambung pada Sultan Hamengkubuwono VI.  Sementara garis santri ia peroleh dari ibunya, MA Ngasirah.



Kakeknya, Kiai Haji Madirono merupakan ulama di Telukawur, Jepara. Perpaduan silsilah tersebut menjadikannya sebagai penganut Islam yang taat beribadah dan memiliki dedikasi tinggi dalam menjalankan birokrasi pemerintahan. 



Kartini belia memulai pendidikan di ELS (Europese Lagere School). Ikhtiar literasinya dimulai dari mempelajari bahasa Belanda, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan hingga berusia 12 tahun. Sebagai putri bangsawan, kecerdasannya  terlihat sangat menonjol. Akan tetapi, impian Kartini untuk bersekolah harus terkubur oleh tradisi, bahwa anak perempuan tak perlu sekolah tinggi-tinggi. Ia harus tinggal di rumah untuk dipingit, untuk kemudian dijodohkan dengan calon suaminya kelak. 

 


Pada masa itu, tradisi masyarakat Jawa menempatkan perempuan hanya sebagai konco wingking, menjadi pelayan suami, berjibaku dengan urusan rumah tangga, terbatas dalam pergaulan, dan tidak leluasa dalam menuntut ilmu. Meskipun demikian, asa Kartini untuk belajar tidak pernah sekalipun padam. 



Dalam kondisi yang tidak menguntungkan, Kartini mengalami pergulatan gagasan dan perang batin. Keinginannya untuk terus belajar dan menambah wawasan terbentur oleh tradisi, termasuk keinginannya untuk mempelajari dan memperdalam kitab suci Al-Qur’an. 



Kartini merasakan kehampaan dalam beragama, karena hanya belajar mengeja dan membaca. Isi kandungan kitab suci tidak dapat diserap dan dipahami. Ketika meminta guru ngajinya mengartikan Al-Qur’an, Kartini justru dimarahi.  Kartini menumpahkan segala keluh kesahnya melalui surat yang dikirimkannya kepada Stella E.H. Zeehandelaar, sahabatnya dari Belanda, tertanggal 6 November 1899. 



“Mengenai agamaku, Islam, aku harus menceritakan apa? Islam melarang umatnya mendiskusikan ajaran agamanya dengan umat lain. Lagi pula, aku beragama Islam karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, jika aku tidak mengerti dan tidak boleh memahaminya?” 



“Al-Qur’an terlalu suci untuk diterjemahkan dalam bahasa apapun juga. Di sini orang juga tidak tahu bahasa Arab. Di sini orang diajari membaca Al-Qur’an, tetapi tidak mengerti apa yang dibacanya. Saya menganggap itu pekerjaan gila; mengajari orang membaca tanpa mengajarkan makna yang dibacanya”.


Kritik terhadap pengajaran agama yang dilakukan Kartini menjadi indikasi bahwa Kartini sangat peduli terhadap substansi pendidikan dan pengajaran agama. Terlebih saat itu menerjemahkan Al-Qur’an ke dalam bahasa lokal belum pernah dilakukan oleh para ulama di Nusantara. Hal ini dapat terjadi akibat pengaruh kolonialisme yang membatasi ruang gerak para ulama untuk mengembangkan agama pada masa itu. 

 

Adalah Kiai Sholeh Darat as-Samarani (Semarang) yang memberikan pencerahan pada Kartini. Sejak kepulangannya dari tanah suci, Kiai Sholeh Darat telah dikenal akan kealiman dan kezuhudannya, tidak hanya di Semarang, tetapi juga di seluruh Nusantara. Maklum, Kiai Sholeh adalah guru dari banyak ulama besar Nusantara, termasuk KH Ahmad Dahlan dan Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari, yang masing-masing mendirikan Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama.



Dari sinilah nama besar dan jejak keilmuan Kiai Sholeh Darat pada akhirnya tercium oleh Kartini. Kartini langsung menaruh simpati pada Kiai Sholeh Darat saat kali pertama mengikuti pengajian Tafsir al-Fatihah dalam bahasa Jawa dan ditulis dengan aksara Arab pegon (bahasa Jawa yang ditulis dengan huruf Arab).



Banyak versi sejarah dan perdebatan terkait pertemuan Kartini dengan Kiai Sholeh Darat. Yang jelas, Kiai Sholeh Darat adalah inisiator penulisan Arab-Melayu. Merumuskannya bersama dua ulama besar lain, Syekh Nawawi al-Bantani (Banten) dan Kiai Kholil al-Maduri (Mbah Kholil Bangkalan). 



Konon, penulisan huruf Arab pegon dirumuskan di Makkah semasa masih sama-sama mengajar dan menulis kitab bagi para santri dari penjuru dunia yang sedang belajar pada mereka.



Ahmad Baso dalam buku Islam Nusantara (2015) menjelaskan bahwa fenomena ini menjadi bukti bahwa Islam dapat menyerap budaya dan kearifan lokal tanpa kehilangan substansi Islam itu sendiri, sekaligus sebagai ijtihad jenius para ulama Nusantara dalam menyiasati larangan menerjemahkan Al-Qur’an oleh Belanda ke dalam bahasa lokal. Tujuannya jelas, pemerintah kolonial Belanda tidak ingin rakyat jajahannya melek huruf, menjadi pandai, dan akan menyulitkan di kemudian hari.   



Seiring perjalanan waktu, berdasarkan usulan dan pengalaman pahit Kartini dalam mempelajari Islam, Kiai Sholeh Darat akhirnya menginisiasi penulisan tafsir al-Fatihah itu menjadi kitab tafsir dan terjemahan Al-Qur'an dalam bahasa Jawa yang berjudul Faidur Rahman.


Dari sinilah Kartini dapat menuntaskan dahaga sipritualnya. Setelah masa itu, Kartini kembali menuturkan dalam suratnya: “Selama ini Al-Fatihah gelap bagi saya. Saya tak mengerti sedikit pun maknanya. Tetapi sejak hari ini ia menjadi terang-benderang sampai kepada makna tersiratnya, sebab Romo Kiai telah menerangkannya dalam bahasa Jawa yang saya pahami”.



Inilah kitab tafsir pertama di Nusantara yang ditulis dalam bahasa Jawa dengan aksara Arab. Tulisan Arab pegon ini terus terpelihara dalam tradisi intelektual pesantren hingga sekarang, sebagai ikhtiar untuk menjaga kearifan dan budaya lokal agar tidak tergerus oleh arus globalisasi.



Teladan dari Sejarah Kartini  Masih menjadi perdebatan mengapa harus memperingati Hari Kartini, bukan hari Cut Nyak Dien, Dewi Sartika, Martha Christina Tiahahu, atau pahlawan perempuan lainnya. Menjadi pahlawan tidak harus selalu bermuara pada revolusi atau perlawanan fisik yang berdarah-darah.



Menggerakkan literasi seperti yang dilakukan Kartini juga bukan perkara mudah di saat rakyat pribumi masih terbelenggu dengan kebodohan dan kemiskinan.  Dari perjumpaan Kartini dengan Kiai Sholeh Darat Semarang, tradisi literasi dari kalangan perempuan nusantara dapat dilacak jejaknya.



Karya "Habis Gelap Terbitlah Terang" (Door Duisternis tot Licht) yang ditulis Kartini, diyakini akibat pengaruh guru yang sangat ia hormati selama mengaji Al-Qur’an. Besar kemungkinan, kemampuan Kartini mengolah kata dan bahasa didapatkan dari pengajian Kitab Faidur Rahman bersama Kiai Sholeh Darat. Sebab kata-kata itu serupa dengan penggalan kalimat dari Al-Qur’an, QS Ibrahim ayat 1, minadz dzulumaati ilan nuur, habis gelap terbitlah cahaya. 



Di era milenial ini, memperingati hari Kartini hanya dengan mengenakan kebaya di sekolah-sekolah dan instansi pemerintah, atau mengadakan acara seremonial dengan menampilkan sisi feminisme perempuan saja jelas kurang relevan terhadap jejak kesejarahan Kartini. Hari Kartini semestinya diperingati sebagai kebangkitan literasi, tidak hanya bagi perempuan, tetapi juga seluruh lapisan bangsa Indonesia. Bukankah wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW menunjukkan betapa pentingnya tradisi literasi?

 


Sementara itu, Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kota Semarang, Jawa Tengah mengusulkan agar nama KH Sholeh Darat dijadikan nama jalan menggantikan nama Jalan Kyai Saleh yang membentang dari perempatan Randusari, Jl Pandanaran-Pertigaan Jalan Veteran Semarang. Ketua PCNU Kota Semarang KH Anashom mengatakan, secara resmi usulan itu akan disampaikan kepada Wali Kota Semarang, karena secara lisan wali kota Semarang sudah menyetujui dan mendorong PCNU Kota Semarang segera mengajukan usulan secara resmi.



"Ini untuk mendukung persyaratan dan upaya pengajuan maha guru ulama Nusantara KH Sholeh Darat untuk mendapatkan gelar pahlawan nasional," kata Kiai Anashom dalam seminar bertajuk Genealogi Nasionalisme Indonesia Dalam Kitab-Kitab KH Sholeh Darat di Aula Rektorat Lantai 6 Kampus I Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) Kota Semarang, Jumat (19/4/2024) dilansir NU Online Jateng.

 


Seminar tersebut merupakan salah satu rangkaian agenda kegiatan haul ke-124 almaghfurlah KH Sholeh Darat yang diselenggarakan PCNU Kota Semarang, Unwahas, dan Komunitas Pecinta KH Sholeh Darat (Kopisoda).



"Alasan penggunaan nama KH Sholeh Darat itu sebagai penegasan bahwa nama jalan ini adalah nama tokoh dan ulama Semarang yang dimakamkan di kawasan makam Bukit Bergota. Kompleks makam ini berada di tepi jalan yang selama ini dikenal dengan Kiai Saleh," ucapnya.



Di Semarang lanjutnya, ada dua tokoh yang namanya sama, namun penulisan namanya berbeda, yakni Raden Saleh dan KH Sholeh Darat. Tokoh yang akan diusulkan sebagai pahlawan nasional oleh NU Kota Semarang adalah KH Sholeh Darat.



"Karena itu tepat sekali kalau jalan yang melintasi Kompleks Makam Bergota itu namanya dipertegas menjadi Jalan KH Sholeh Darat. Nama ini sudah dipakai untuk nama gedung di UIN Walisongo Semarang, Unwahas dan pesantren yang didirikan PCNU Kota Semarang, beberapa waktu lalu," terangnya.



Sekretaris Daerah Kota Semarang Iswara Amirudin merespons positif usulan NU Kota Semarang atas gagasan yang mengusulkan agar KH Sholeh Darat mendapat gelar pahlawan nasional, karena jasa-jasa KH Sholeh Darat terhadap bangsa ini sangat besar.



"Silakan disiapkan dokumen-dokumen pendukungnya, Pemkot Semarang siap membantu termasuk usul perubahan nama Jalan Kyai Saleh menjadi Jalan KH Sholeh Darat, jangan lama-lama segera usulan itu secara resmi diajukan," ungkapnya.



Pakar sejarah Universitas Negeri Semarang (Unnes) Prof Waseno menyampaikan, melihat ketokohan dan peran yang dilakukan KH Sholeh Darat, tokoh ini layak dianugerahi gelar pahlawan nasional. "Karena itu kepada inisiator atau pihak yang mengusulkan agar menyiapkan persyaratan-persyaratan selengkap mungkin sesuai dengan yang diinginkan regulasi yang ada," pungkasnya. (M Makhdum, Samsul Huda)


Sejarah Terbaru