Tokoh

Mengenang Djamaluddin Malik, Ketika Bermain Tonil dan Keinginan Mengangkat Senjata

Kamis, 30 Mei 2024 | 22:42 WIB

Mengenang Djamaluddin Malik, Ketika Bermain Tonil dan Keinginan Mengangkat Senjata

Djamaluddin Malik. (Foto: Dok NUO)

Tangerang Selatan, NU Online Banten 

Mei sudah di ujung. Artinya, sebentar lagi Juni tiba. Di bulan tersebut salah satu tokoh Nahdlatul Ulama (NU) yang meninggal adalah Djamaluddin Malik. Dia lahir di Padang, 3 Februari 1917 dan wafat pada 8 Juni 1970 di Munchen, Jerman.


"Pak Djamaluddin itu akarnya dia pemain teater tonil," ujar Ngatawi Al-Zastrouw, budayawan NU, saat mengisi kuliah tamu soal Peran Lembaga Kebudayaan Islam dalam Membentuk Wajah Sastra dan Drama Bernapas Islam di Indonesia pada Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta di Teater Prof Muhammad Yunus, Lantai 3 FITK, Tangerang Selatan, Senin (27/5/2024).



Di awal kemerdekaan, ketika ib ukota Indonesia pindah dari Jakarta ke Jogjakarta, Djamaluddin pun ikut serta pindah. Pada masa revolusi, Djamaluddin membentuk Kelompok Sandiwara Bintang Timur. Tak cukup satu. Dia kemudian membeli Kelompok Sandiwara Pancawarna dari Njoo Cheong Seng. Kelompok ini kemudian digunakannya untuk menghibur para pejuang yang sedang menghadapi agresi militer Belanda.



Ngatawi menjelaskan, kedatangan Djamaluddin ke Jogjakarta saat itu sebenarnya ingin ikut serta berjuang mengangkat senjata. Namun, ketika dia mengungkapkan hal tersebut kepada ayahanda KH Abdurrahman Wahid yang akrab disapa Gus Dur, KH Wahid Hasyim, keinginan tersebut ditolak. Menurut putra pendiri NU, Hadratussyekh KH Hasyim Asy'ari, itu, berjuang tidak harus dengan senjata, tetapi juga bidang lain seperti kesenian.

 

 

"Ketika ketemu Mbah Wahid, dia pamit mau berjuang mengangkat senjata. Mbah Wahid bilang, sudah kamu bermain tonil saja. Itu sama mulianya dengan mengangkat senjata,’’ imbuhnya seperti dalam rilis yang dikirim Malik Ibnu Zaman.

 

 

Seperti diketahui, Djamaluddin menempuh pendidikan di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) dan Algemeene Middelbare School (AMS) di Jakarta. Ketika berada di AMS, Djamaluddin bertemu dengan Usmar Ismail, yang kelak akan menjadi rekannya sebagai dwi tunggal dalam perfilman nasional.

 

Djamaluddin Malik memulai karirnya di Koninklijke Pakertvaart Maatschappij (KPM). Terlibat dalam perdagangan kayu dan penyelenggaraan perjalanan haji ke Mekah. Dari bisnis tersebut, dia berhasil mengumpulkan modal untuk membangun industri film modern. Pada 23 April 1951, Djamaluddin mendirikan Persari (Perseroan Artis Indonesia).

 


Sebelum terjun ke dunia perfilman, dia terjun dalam bidang tonil. Tonil pada hakikatnya adalah sebuah pertunjukan drama. Drama, di awal-awal pendirian Indonesia, disebut sandiwara. Dan sandiwara, di era penjajahan Belanda disebut dengan tonil. Tonil berasal dari bahasa Belanda (Toneel) yang berarti drama. Ketika terjadi proses "pengindonesiaan" setelah kemerdekaan, PKG Mangkunegara VII menyebut istilah sandiwara (pengajaran rahasia) sebagai pengganti kata tonil.



Seperti dilansir NU Online, Djamaluddin Malik dikenal sebagai seorang seniman dan pengusaha perfilman ternama. Tak banyak yang mengetahui bahwa ayah pedangdut Camelia Malik ini merupakan tokoh Nahdlatul Ulama yang pernah menjadi Ketua III Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pada 1956-1959 dan 1967-1971. Ketika NU dipimpin oleh Rais ‘Aam KH Abdul Wahab Chasbullah dan Ketua Umum KH Idham Chalid.



Pendiri sekaligus ketua pertama Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) itu menyediakan sebuah gedung di Menteng, Jakarta Pusat, sebagai Kantor Pengutus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), sebagaimana disebutkan dalam buku Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1967 yang ditulis oleh Akademisi Australia Greg Fealy. Maklum, saat itu, dia merupakan produser dan pemilik industri perfilman pertama di Indonesia sehingga kekayaannya cukup melimpah. (*)