Jabar

Bencana Alam, di Sukabumi 10 Orang Meninggal, di Cianjur 888 Jiwa Mengungsi

Kamis, 12 Desember 2024 | 00:11 WIB

Bencana Alam, di Sukabumi 10 Orang Meninggal, di Cianjur 888 Jiwa Mengungsi

Dampak bencana alam di Sukabumi, Jawa Barat. (Foto: NU Online Jabar/Abdul Manap)

Kabupaten Sukabumi, NU Online Banten

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Sukabumi merilis dampak bencana alam di beberapa titik di wilayahnya. Data per Rabu (11/11/2024), tepatnya pukul 07.00 WIB pagi, jumlah wilayah di Kabupaten Sukabumi yang terdampak bencana, mulai banjir, longsor hingga pergeseran tanah, sebanyak 39 kecamatan dan 184 desa.


Berdasarkan informasi yang diterima NU Online Jabar melalui Satuan Khusus Banser Tanggap Bencana (Bagana) Kabupaten Sukabumi, total bencana yang terjadi di Kabupaten Sukabumi antara lain tanah longsor 331, banjir 282, angin kencang 28, dan pergerakan tanah mencapai 666.


Sedangkan dampak korban jiwa dari bencana tersebut meliputi korban terdampak 8.804 KK/20.629 jiwa, korban mengungsi 1.068 KK/3.464 jiwa, dan korban terancam 621 KK/1.658 jiwa.


Adapun bangunan rumah, terdiri atas, rusak berat sebanyak 1.605, rusak sedang sebanyak 1.829, rusak ringan sebanyak 2.058 dan terancam sebanyak 674. Sedangkan sarana lainnya yang terkena dampak bencana yakni 47 jembatan, 17 TPT, 19 saluran air, 27 tempat ibadah, 127 sekolah, dan 131 bangunan lainnya. Adapun fasilitas umum yang terdampak bencana terdiri atas 86 jalan serta 1.010 hektar sawah/lahan. Korban meninggal sejauh ini 10 orang dan hilang sebanyak 2 orang.



Kebutuhan mendesak para korban saat ini di antaranya evakuasi di titik lokasi bencana, makanan siap saji atau sembako, selimut, alas tidur, pakaian ganti dewasa dan anak-anak baik laki-laki dan perempuan, baby kit, makanan bayi, dan hygiene kit. Selain itu, matras/tikar, alat mandi, pembalut wanita, popok bayi, popok lansia, air mineral, susu bayi, pakaian dalam laki-laki dan perempuan, terpal, obat-obatan, serta bantal.


Pemerintah Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, memutuskan untuk memperpanjang status tanggap darurat bencana. Keputusan ini berlaku sejak Rabu (11/12/2024). Perpanjangan status tanggap darurat bencana di Sukabumi itu diputuskan seusai menggelar rapat koordinasi bersama perangkat daerah setempat, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Basarnas, dan BPBD Jawa Barat, Selasa (10/12/2024).



Kepala Pelaksana BPBD Kabupaten Sukabumi Ade Suryaman mengatakan, status tanggap darurat bencana di Sukabumi diperpanjang mulai 11 hingga 17 Desember 2024. Sejumlah faktor menjadi pertimbangan, antara lain cuaca ekstrem yakni tingginya curah hujan yang masih tinggi hingga 14 Desember 2024, sehingga berpotensi terjadinya bencana susulan. Selain itu, masih adanya dua orang yang hilang dan belum ditemukan. “Dua orang yang hilang hingga hari ini masih dalam pencarian. Sementara 10 korban lainnya sudah ditemukan,” jelas Ade.


Sementara itu, jumlah pengungsi akibat bencana hidrometeorologi di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, terus meningkat. Berdasarkan data dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Cianjur, hingga kini tercatat sebanyak 888 jiwa terpaksa mengungsi. Saat ini para pengungsi tersebar di 11 kecamatan. Meliputi Pagelaran, Tanggeung, Pasirkuda, Cibinong, Agrabinta, Leles, Takokak, Kadupandak, Sindangbarang, Sukanagara, dan Pagelaran. Mereka merupakan penyintas dari bencana banjir, tanah amblas, longsor, dan pergeseran tanah yang terjadi sejak Rabu (4/12/2024).


Gerakan Pemuda (GP) Ansor Cianjur mendorong kepada pemerintah daerah untuk lebih serius dalam melakukan studi mengenai mitigasi bencana di wilayah Cianjur mengingat ancaman bencana alam yang semakin meningkat.



"Dengan mitigasi bencana kita bisa melakukan langkah-langkah yang perlu diambil untuk mengurangi atau mencegah dampak buruk dari bencana alam tersebut," kata Ketua GP Ansor Cianjur Ariful Holiq Zaelani kepada NU Online Jabar, Senin (9/12/2024).



Menurutnya bahwa salah satu penyebab utama meningkatnya frekuensi dan intensitas bencana di Cianjur adalah adanya kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh deforestasi, pembukaan lahan secara tidak terkendali, serta kegiatan penambangan yang merusak ekosistem alami. 


"Ketika hutan-hutan yang berfungsi sebagai penahan air dan pengatur aliran sungai hilang, maka potensi terjadinya bencana seperti banjir, pergerakan tanah, dan longsor pun semakin besar," ucap pria yang juga merupakan pengasuh Pondok Pesantren Almusri Banu Mansur Bojong Picung ini.


Pihaknya juga menekankan pentingnya pemerintah daerah untuk melakukan mitigasi bencana secara komprehensif, dimulai dari hulu hingga hilir. Mitigasi yang dimaksud tidak hanya sekadar pembangunan infrastruktur pengendalian bencana, tetapi juga perlu melibatkan perbaikan pengelolaan lingkungan, termasuk rehabilitasi hutan dan penghijauan daerah-daerah yang rawan bencana. (M Rizqy Fauzi, Amus Mustaqim, Wandi Ruswannur)