Keislaman

Benarkah Perbedaan Merupakan Rahmat?

Jumat, 14 Maret 2025 | 10:00 WIB

Benarkah Perbedaan Merupakan Rahmat?

Ilustrasi. Perbedaan pendapat di antara manusia memang suatu hal yang tidak dapat dipungkiri. (Foto: Freepik)

PERBEDAAN dapat menjadi berkah sekaligus juga bisa mendatangkan konflik dan gesekan. Tinggal bagaimana kita menyikapi dan mengelola keragaman tersebut. Allah swt menciptakan manusia lengkap dengan hawa nafsu dan akal. Sekian banyak manusia yang diciptakan Allah memiliki akal. Karenanya, dalam memikirkan suatu perkara, masing-masing memiliki pemikiran yang berbeda-beda. Salah satu bukti yang telah maklum diketahui banyak umat Islam adalah adanya ragam mazhab dalam beragama. 
 
Respons umat Islam dalam menghadapi perbedaan pendapat juga berbeda-beda. Ada yang memakluminya dan fokus pada apa yang menjadi pegangannya. Ada juga yang memaksakan keyakinannya. 
 
Untuk meredam orang-orang awam dalam menghadapi banyaknya perbedaan pendapat ulama, biasanya dikeluarkan dalil “hadits Nabi” yang artinya perbedaan pendapat umatku adalah rahmat. 
 
Hadits memang menjadi senjata pamungkas dalam berbagai masalah agama. Namun, hadits-hadits yang populer tak jarang merupakan hadits lemah (dha’if) bahkan palsu (maudhu’). 
 
Sama halnya dengan hadits tentang perbedaan pendapat ini. Setelah diteliti, hadits tentang perbedaan pendapat tersebut dinyatakan dha’if. KH Ali Mustafa Yaqub, seorang pakar hadits Indonesia, meneliti hadits tersebut dalam bukunya Hadis-Hadis Bermasalah dan mendapatkan hasil bahwa hadits tersebut dinyatakan dha’if. Sedangkan hadits dha’if tidak diperkenankan untuk dijadikan sebuah landasan kecuali dalam hal fadhilah. Berikut adalah hasil penilitiannya.
 
Redaksi Hadits

 
اختلاف أمتي رحمة
 
Artinya: “Perbedaan (pendapat) umatku adalah Rahmat.”
 
Menurut al-Sakhawi (w. 902 H), hadits-hadits seperti ini sebenarnya merupakan penggalan dari hadits yang lebih panjang dan mengalami sedikit perubahan redaksi. Berikut adalah redaksi hadits yang lebih lengkap.

 
 
مَهْما أُوتِيتُمْ مِن كتابِ اللَّهِ فالعملُ بهِ ولا عُذْرَ لأحَدٍ في تَرْكِهِ فإنْ لمْ يكُنْ في كتابِ اللَّهِ فسُنَّةٌ مِنِّي ماضيةٌ، فإنْ لمْ يكُنْ سُنَّةً مِنِّي فما قالَ أَصْحابي إنَّ أَصْحابي بمنزلةِ النُّجومِ في السَّماءِ فأيُّما أخَذْتُمْ بِهِ اهتدَيْتُمْ، واختلافُ أَصْحابي لكُمْ رحمةٌ
 
Artinya: “Apa pun yang diberikan kepada kalian dari Kitab Allah, maka amalkanlah, dan tidak ada alasan bagi seseorang untuk meninggalkannya. Jika tidak terdapat dalam Kitab Allah, maka terdapat sunah dariku yang harus diikuti. Jika tidak ada sunah dariku, maka ikutilah apa yang dikatakan oleh para sahabatku. Sesungguhnya para sahabatku itu seperti bintang-bintang di langit, siapa saja di antara mereka yang kalian ikuti, niscaya kalian akan mendapatkan petunjuk. Perbedaan pendapat di antara para sahabatku adalah rahmat bagi kalian.”
 
Ditinjau dari Segi Rawi dan Matan
Hadits dengan versi penggalan tersebut diriwayatkan Imam al-Baihaqi dalam dua kitabnya, yakni al-Risalah al-Asy’ariyah dan Nashr al-Maqdisi, tanpa sanad. Kemudian hadits dengan versi yang lebih panjang diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi dalam al-Madkhal, Imam al-Khattabi dalam al-Kifayah fi ‘ilm al-Riwayah. 
 
Versi yang lebih panjang diriwayatkan oleh ulama-ulama tersebut dengan sanad Sulaiman Ibn Abu Karimah dari Juwaibir, dari al-Dhahhak, dari Ibn Abbas. Kemudian khusus dalam kitab karya Imam al-Khattabi, sanadnya adalah al-Qadli Abu Bakr al-Hairi, Muhammad bin Ya'qub al-Ashamm, Bakr bin Sahl al-Dimyati, Amr bin Hasyim al-Bairuti, Sulaiman bin Abu Karimah, Juwaibir, al-Dhahhak, Ibn Abbas.
 
Dari penelitian melalui segi rawi dan matannya, hadits versi penggalan ini ditetapkan sebagai bukan hadits. Karena sebuah hadits haruslah memiliki dua unsur, yaitu sanad dan matan. Kemudian untuk versi hadits yang lebih panjang, ditetapkan sebagai hadis dha’if sekali. Di dalam sanad yang disebutkan terdapat Sulaiman Ibn Abu Karimah yang dha’if, Juwaibir yang matruk, dan al-Dhahhak yang tidak pernah bertemu dengan Ibn Abbas, sehingga sanadnya munqathi’.
 
Komentar Ulama
Meskipun kualitas hadits ini dinyatakan sebagai dha’if, namun substansinya tetap ramai diperbincangkan para ulama. Misalnya Imam al-Suyuthi yang menyatakan bahwa “hadits” ini merupakan mukjizat Nabi Muhammad saw, karena telah memberitahukan apa yang akan terjadi, dan bahwa beliau meridlai adanya mazhab-mazhab. Tentu saja dengan catatan apabila hadits tersebut shahih.
 
Sebagian ulama ada juga yang tegas menolaknya. Misalnya Ibn Hazm dengan tegas menyatakan dalam kitabnya, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, bahwa ungkapan tersebut bukanlah hadits. Dari hasil penelitian KH Ali Mustafa Yaqub ini dapat kita ketahui bahwa hadits tentang perbedaan pendapat adalah rahmat terbukti merupakan hadits dha’if
 
Dari sini kita dapat belajar bahwa setiap hadits yang kita terima haruslah dipastikan dulu status kebenaran dan kualitasnya. Meskipun demikian, kualitas dha’if-nya hadits tersebut tak lantas menjadikan kita menentang setiap perbedaan pendapat yang ada. Karena perbedaan pendapat di antara manusia memang suatu hal yang tidak dapat dipungkiri. 
 
Dalam konteks tertentu perbedaan tidaklah perlu dipermasalahkan. Sebab, dianugerahkannya akal kepada seluruh manusia menjadikan kita  semua memiliki pemikiran yang beragam tentang segala sesuatu. 
 
Mamlu’atul Hikmah, Mahasantri Darus-Sunnah Jakarta Semester 2