Keislaman

Tidurnya Orang Berpuasa Adalah Ibadah?

Sabtu, 15 Maret 2025 | 06:33 WIB

Tidurnya Orang Berpuasa Adalah Ibadah?

Ilustrasi orang tidur. (Foto: Freepik)

PUASA adalah ibadah yang produktif. Bukan sebaliknya. Dalam artian, dengan berpuasa di Bulan Ramadhan, kita terpacu untuk melakukan ragam kegiatan yang bernilai posistif. Baik positif untuk diri sendiri maupun orang di sekitar. Puasa bukan alasan untuk bermalas-malasan. Bahkan berniat tidur-tiduran sapanjang hari. Dengan alasan, tidurnya orang yang berpuasa sudah dinilai ibadah. Tentu, kenyakinan ini harus kita pertimbangkan ulang.
 
 
Di tengah masyarakat, tidak sedikit ada yang meyebutkan bahwasanya tidurnya orang yang berpuasa itu adalah ibadah. Bahkan ada seorang ustadz yang pernah ditanyai mengenai hal tersebut dalam sebuah acara mengenai keutamaan di Bulan Ramadhan. Kemudian ustadz tersebut berkata bahwasanya banyak sekali keutamaan-keutamaan yang didapatkan di saat Bulan Ramadhan. Salah satu keutamaannya adalah Nabi Muhammaah saw pernah berkata dalam sebuah hadits, bahwa tidurnya orang yang berpuasa itu adalah ibadah.
 
 
Mengenai tidurnya orang yang berpuasa itu adalah ibadah, di dalam buku Hadis-Hadis yang Bermasalah, KH Ali Mustafa Yaqub yang ketika itu merupakan Imam Besar Masjid Istiqlal menjelaskan secara detail mengenai kualitas hadits tersebut. Hadits tersebut berbunyi:
 
 
نومُ الصائم عبادة وصمته تسبيح و عمله مضاعف و دعاؤه مستجاب و ذنبه مغفور.
 
 
Artinya: ’’Tidurnya orang yang berpuasa itu ibadah, diamnya adalah tasbih, amalnya dilipatgandakan (pahalanya), doanya dikabulkan, dan dosanya diampuni.”
 
 
Menurut Imam al-Suyuthi, kualitas hadits ini adalah dha'if (lemah). Bagi orang yang kurang mengetahui ilmu hadits, pernyataan Imam al-Suyuti ini dapat menimbulkan salah paham, sebab hadis dha'if  itu secara umum masih dapat dipertimbangkan untuk diamalkan. Sedangkan hadits palsu (maudhu'), semi palsu (matruk) dan atau munkar tidak dapat dijadikan dalil untuk beramal sama sekali, bahkan sekadar untuk mendorong amal-amal kebajikan (fadhail al-a 'mal).
 
 
Kesalahpahaman itu akan segera hilang manakala diketahui, terkadang hadits palsu juga dapat disebut hadis dha'if. Imam al-Suyuti akhirnya menuai kritik juga dari para ulama atas pernyataannya itu, karena dianggap tasahul (mempermudah) dalam menetapkan kualitas hadits. Salah satunya adalah dari Imam Muhammad Abd al-Ra'uf al-Minawi dalam kitabnya Faidh al-Qadir yang merupakan kitab syarah (penjelasan) atas Kitab al-Jami al-Shaghir karya Imam al-Suyuthi.
 
 
Al-Minawi menyatakan bahwa pernyataan al-Suyuthi itu memberikan kesan bahwa Imam ai-Baihaqi menilai hadits tersebut dha'if, padahal masalahnya tidak demikian. Imam al-Baihaqi telah memberikan komentar atas hadits di atas, tetapi komentar Imam al-Baihaqi itu tidak dinukil oleh Imam al-Suyuti. Imam al-Baihaqi ketika menyebutkan hadits tersebut, memberikan komentar atas beberapa perawi yang terdapat dalam sanadnya.
 
 
Menurut Imam al-Baihaqi, di dalam sanad hadits itu terdapat nama nama seperti Ma'ruf bin Hisan, seorang rawi yang dha'if, dan Sulaiman bin Amr ai-Nakha'i, seorang rawi yang lebih dha'if. Bahkan menurut kritikus hadits al-Iraqi, Sulaiman adalah seorang pendusta. Demikian penjelasan Imam al-Baihaqi seperti dituturkan oleh al-Minawi.
 
 
Dalam pernyataan di atas telah jelas bahwasanya hadits tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah yang tenar di masyarakat bukanlah benar adanya, melainkan telah ada seseorang yang membuat hadits atas nama Rasulullah. Padahal Rasulullah sendiri tidak pernah menyatakan hal tersebut, dan hadits tersebut dinilai sebagai hadits maudhu’ atau hadits palsu. Karena di dalam sanadnya terdapat perawi yang dinilai sebagai pendusta.
 
 
Karena itu, meskipun puasa memiliki banyak keutamaan, bukan berarti lantas kita gegabah menyatakan bahwa tidur saja saat berpuasa adalah ibadah bersumber dari hadits. Lebih-lebih jika dengan alasan ini lantas kita malas-malasan. Tidak semangat beraktivitas dalam kebaikan.
 
 
Natiqotun Nafi’ah, Mahasantri Darus-Sunnah Jakarta, Semester 2