• logo nu online
Home Nasional Banten Raya Warta Keislaman Tokoh Khutbah Sejarah Opini Pesantren NU Preneur Ramadhan 2023
Minggu, 5 Mei 2024

Nasional

Bersatu dalam Perbedaan, Potret Keberagaman di Banten Lama

Bersatu dalam Perbedaan, Potret Keberagaman di Banten Lama
Suasana Vihara Avalokitesvara Jl Tubagus Raya, Kasemen, Kota Serang, Banten, Selasa (19/12/2023) siang. (Foto: NUOB/Dendy Ramdan Ilahi)
Suasana Vihara Avalokitesvara Jl Tubagus Raya, Kasemen, Kota Serang, Banten, Selasa (19/12/2023) siang. (Foto: NUOB/Dendy Ramdan Ilahi)

Kota Serang, NU Online Banten

Siang itu terik panas matahari terasa menyengat saat memasuki daerah di Kasunyatan, Kasemen, Kota Serang. Terlihat bangunan megah khas Tionghoa. Gerbang utama ukuran besar dihiasi berbagai macam lampion dan beberapa lilin jumbo berwarna merah yang menyala. Didominasi warna kuning dan merah, lazimnya tempat ibadah umat Buddha. Vihara Avalokitesvara namanya. Luasnya kurang lebih 2 hektare. Di sekitarnya adalah perkampungan yang mayoritas Muslim. Letaknya tidak jauh dari ikon Banten, Masjid Agung Banten Lama. Persis berada di sebelah baratnya. Bersebelahan dengan Benteng Speelwijk. Tepatnya di Jl Tubagus Raya, Kasemen, Kota Serang, Banten.


Vihara ini masuk dalam situs cagar budaya. Selain masih digunakan sebagai tempat beribadah umat Buddha, juga sekaligus lokasi wisata. Apalagi vihara ini disebut sebagai tertua di Banten. Mereka yang datang, baik untuk ibadah maupun wisata atau lainnya tak hanya dari Banten, tapi Indonesia. Bahkan mancanegara.


Selasa (19/12/2023), pukul 12.00 WIB, NU Online Banten (NUOB) masuk ke tempat parkir. "Mau cari apa ya?,’’ tanya pria berpostur sekitar 170 cm menghampiri. NUOB pun menjelaskan kepada pria yang belakangan diketahui bernama Herman, 36, petugas vihara. Kemudian menunjukkan kantor informasi Vihara Avalokitesvara. Letaknya sekitar 10 meter dari gerbang utama.


Sampai di lokasi, Herman yang mengantar, menjelaskan kepada seorang perempuan itu. ’’Boleh saya lihat surat tugasnya?’’ tanya perempuan berwajah khas Tionghoa itu. Setelah ditunjukkan, dia bergegas menghampiri seorang pria paroh baya yang posisinya setendangan bola. ’’Wawancaranya dengan romo ini ya,’’ ujar perempuan tersebut mengarahkan.


’’Saya sudah tua, pendengaran sudah mulai kurang. Jadi nanti kalau ada yang ditanyakan, tolong suaranya agak keras,’’ pinta romo yang mengenakan baju berwarna kuning dan bergambar naga di punggung itu.


Romo yang bernama Asaji itu menjelaskan asal mula umat Buddha di Banten Lama.’’Sudah lama, sekitar 300 tahun yang lalu. Bahkan dari sejarah yang tidak tercatat, sudah lebih dari itu. Yang tercatat dalam sejarah, umat Buddha di sini datang dengan tuan putri dari Tiongkok yang bernama Putri Ong Tien, sebagai keluarga dari kerajaan Tiongkok. Mereka bermaksud berdagang di Indonesia dengan membawa para pedagang dan pengikutnya yang lain sebanyak 3 ribu orang. Berlabuhlah di Sungai Kemiri. Sungai yang ada di depan pintu gerbang vihara,’’ terangnya sambil tangannya menunjuk ke arah sungai.


Ditambahkan, zaman dulu kapal hanya mengandalkan arah angin. Dan singkat cerita, Putri Ong Tien menetap sementara di Banten, yang saat itu dipimpin oleh Syarif Hidayatullah, Sunan Gunung Jati. Bertemu lah keduanya. Bermula dari sini, awal pencatatan peradaban umat Buddha dimulai. ’’Dari pertemuan tersebut Putri Ong Tien dan Syarif Hidayatullah menikah dan sang putri dibawa ke Cirebon. Karena sang putri berpindah ke Cirebon, pengikutnya yang berjumlah 3 ribu orang membuat perkumpulan Tionghoa, bermukim di tempat yang bernama Kampung Baru, di dekat Pelabuhan Karangantu (Serang),’’ terangnya.


Pria kelahiran 1947 itu melanjutkan, dari 3 ribu orang Tionghoa yang membuat perkumpulan itu akhirnya terbagi menjadi dua kelompok besar. Sebagian masuk menjadi Muslim dan sebagian lagi tetap bertahan di agama Buddha. Kelompok Tionghoa yang memeluk agama Islam membuat peradaban baru dengan mendirikan masjid pecinan tinggi sebagai simbolnya. Sedangkan sebagiannya lagi yang masih memeluk Buddha membuat vihara sebagai simbolnya.


Masjid dan vihara, imbuhnya, dulu tempatnya tidak berjauhan. Vihara awalnya ada di Desa Dermayon dibangun pada 1652. Pada abad ke-17, Banten dilanda epidemi seperti wabah virus. Kelompok Tionghoa dari vihara mengadakan ritual tolak bala dengan mengarak patung Dewi Kwan Im keliling desa di sekitar Banten Lama. Wabah tersebut hilang. ’’Sunan Gunung Jati memberikan sebidang tanah untuk dibangun tempat peribadatan umat Buddha yang sekarang bernama Vihara Avalokitesvara pada 1774,’’ jelasnya.


Avalokitesvara sendiri berarti, ava itu mendengar, lokites artinya melihat, dan vara adalah penderitaan. ’’Yang juga menjadi nama dari tingkat keilmuan Dewi Kwan Im itu sendiri, maka ajaran yang disebarkan adalah tentang belas kasih kepada semua makhluk bumi,’’ tegasnya


Itulah sejarah singkat dari keberadaan umat Buddha dan Vihara Avalokitesvara di Banten Lama. Dari sejarah itu, keberagaman yang ada di sekitar Banten Lama sudah terjalin harmonis dan humanis sejak masa lampau.


’’Untuk kita sendiri yang beragama Buddha, di agama Buddha tidak pernah mengajarkan membenci antara satu dengan yang lainnya. Jangankan sesama manusia, kepada semua makhluk yang ada di muka bumi ini semua harus diperlakukan sama, diperlakukan sebagaimana mestinya,’’ ungkapnya.


Meski di sini, lanjutnya, umat Buddha bisa disebut sebagai minoritas, rasa solidaritas kemanusiaan sangat kuat dan dijunjung tinggi.’’Pegawai di vihara ini dari 35 pegawai yang bertugas, 85 persennya beragama Islam dan hampir semuanya asli warga sekitar sini,’’ tambahnya.


Dia juga menyebut, banyak kegiatan rutinan yang sudah berjalan sejak dulu, khususnya kegiatan yang bersifat kemasyarakatan, tidak memandang agama. ’’Kita setiap sebulan sekali rutin mengadakan bakti sosial kepada masyarakat setempat yang membutuhkan, khususnya para yatim piatu dan lansia. Mengadakan pengobatan murah yang bekerja sama dengan puskesmas dan klinik di sini. Biaya Rp 10 ribu per orang dengan fasilitas lengkap dan obat-obatan yang cukup diminum untuk tujuh hari. Para pedagang emperan di sekitaran vihara itu semuanya beragama Islam, tidak dipungut biaya kebersihan sama sekali,’’ terangnya.


Pihak vihara, lanjutnya, juga selalu mendukung penuh kegiatan-kegiatan kemasyarakatan dan keagamaan di Banten Lama. ’’Ketika ada Muludan, Isra’ Mi’raj, dan lain lain, dari vihara selalu mendukung dan ikut merayakan dengan menyumbangkan kebutuhan-kebutuhan untuk kegiatan. Begitu juga ketika perayaan hari besar nasional seperti HUT (Hari Ulang Tahun) Kemerdekaan Republik Indonesia,’’ ujarnya.


Demikian juga, ketika ada perayaan-perayaan besar di vihara, pihaknya selalu mengundang masyarakat sekitar agar turut hadir dan membantu kegiatan. Semuanya saling bekerja sama hidup rukun tanpa embel-embel agama atau yang lainnya. ’’Pernah suatu ketika ada 161 santri beserta 6 kiai datang ke vihara berkunjung sekaligus study tour serta mengadakan dialog beragama di sini,’’ kata Asaji sambil menunjuk tempat para santri dan kiai berdialog ketika itu.


Ketua Pengurus Cabang (PC) Majelis Agama Buddha Terawada Indonesia (Magabudi) itu menegaskan, di daerah tersebut semua hidup rukun damai dan tentram. Semua saling tolong menolong, membantu satu sama lain atas nama kemanusiaan.


’’Dari dulu sampai hari ini semuanya masih berjalan secara beriringan. Sesuai dengan ajaran dasar agama Buddha, yakni saling asah, asuh, dan asih. Dan dalam doanya agama Buddha itu semoga semua makhluk berbahagia. Apa yang harus dibenci dari sesama makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa,’’ tutur pria yang sudah 25 tahun menjadi humas Vihara Avalokitesvara itu sembari bertanya yang tak butuh jawaban.


Koh Asaji—sapaan akrab romo itu-- juga menyampaikan di ujung pertemuan, selama mengurus vihara, tingkat toleransi sangat tinggi. Dia merasakan bahwa inilah praktik Bhinneka Tunggal Ika. ’’Ketika di vihara ada kegiatan besar dan kemudian adzan sedang berkumandang, maka kita berhenti sejenak untuk menghormati adzan. Begitu pula sebaliknya, ketika di vihara sedang ada perayaan besar, maka volume adzan ketika memasuki waktunya itu dikecilkan oleh pihak masjid,’’ tutupnya.


Terpisah, NUOB mendatangi pesantren yang letaknya tidak begitu jauh dari Vihara Avalokitesvara. Tepatnya, Pondok Pesantren Roudhatul Qur'an Al-Mubarok di Warung Jaud, Kasemen, Kota Serang, Banten. Diasuh oleh Kiai Abdullah yang juga ketua Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama (MWCNU) Kecamatan Kasemen.


Mengenakan kaus polos berwarna putih, sarung  warna biru dengan motif kotak-kotak dipadu peci putih, Kiai Abdullah keluar dari pintu rumahnya yang berada di dalam lingkungan pondok. "Dari zaman dulu, Kecamatan Kasemen bisa dibilang sebagai ibukotanya. Berbagai ras dan agama semua ada di sini, dari Tionghoa, Hindu, Buddha, Jawa Serang. Bahkan di sini ada masyarakat Bugis,’’ terangnya, Rabu (20/12/2023).


Jadi, lanjutnya, kalau berbicara moderasi, di Kasemen bisa melihat antaretnis bahkan antaragama saling hidup rukun dan damai dalam bingkai kebhinekaan. ’’Di sini tidak pernah ada ribut-ribut terkait agama atau etnis, semuanya saling hidup berdampingan. Yang ada semua saling mendukung satu sama lain. Tidak pernah ada sejarahnya di Banten Lama ada perang antaragama atau etnis setempat,’’ ungkapnya.


Dia juga mengatakan, empat bulan ke belakang ada dialog lintas agama yang bertempat di vihara yang dihadiri beberapa tokoh agama masing-masing. "Saya hadir di dalamnya. Pembahasannya menarik. Semuanya bersepakat untuk saling menjaga dan merawat persatuan melalui perbedaan. Selain itu saya juga sering ngobrol berdua dengan Koh Asaji, humas Vihara, membahas tentang keagamaan, kenegaraan, persatuan, kedaerahan, dan lain lain,’’ pungkasnya. (Dendy Ramdan Ilahi)


Nasional Terbaru