• logo nu online
Home Nasional Banten Raya Warta Keislaman Tokoh Khutbah Sejarah Opini Pesantren NU Preneur Ramadhan 2023
Selasa, 30 April 2024

Nasional

Merawat Kemajemukan Kota Benteng

Merawat Kemajemukan Kota Benteng
Lim Han Tiong atau Hendra Lim saat memberi pengajaran kepada anak-anak Muda Tionghoa. (Arfan/NU Online Banten).
Lim Han Tiong atau Hendra Lim saat memberi pengajaran kepada anak-anak Muda Tionghoa. (Arfan/NU Online Banten).

Kota Tangerang, NU Online Banten
Sebagai daerah penyangga Jakarta, Tangerang menjadi titik pertemuan setiap budaya dari segala macam penjuru pulau Jawa. Sehingga ada banyak khazanah tradisi, budaya, dan tempat bersejarah yang ada kota ini. Salah satunya adalah kelompok masyarakat Tionghoa Benteng. Tak seperti di daerah lain. Masyarakat Tionghoa di Tangerang sering disebut sebagai Tionghoa Benteng atau Cina Benteng (Ciben).


Lim Han Tiong, salah seorang Tim Ahli Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Dinas Budaya dan Pariwisata (Disbudpar) Kota Tangerang mengatakan, pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia, sebagian tokoh bangsawan Tionghoa di Tangerang melakukan pernikahan dengan masyarakat pribumi. Sehingga melahirkan keturunan Tionghoa asli Tangerang. Oleh sebab itu, sering dikenal sebagai Ciben, karena untuk menghindari konflik horizontal kala itu. 


"Sebagian besar kita ketahui, ada kelompok besar Tionghoa totok dan Tionghoa peranakan. Ya kalo Cina Benteng, pastinya Tionghoa peranakan yang sering banyak disebut Ciben. Di dalamnya ada perkawinan campur dan persilangan budaya lokal," ungkap pria yang akrab disapa Romo Hendra Lim, tokoh Klenteng Boen Tek Bio, Senin (18/12/2023).


Toleransi Secara Organik
Romo Hendra Lim menambahkan, terjadinya akulturasi budaya Tionghoa di Tangerang bukan hanya karena perkawinan silang semata. Namun, juga ada banyak tradisi dan budaya yang akhirnya melebur di daerah Tangerang sendiri. Salah satunya tradisi perkawinan Cio Tao. Pada momen ini, tradisi Tionghoa Benteng berbaur dengan tradisi lokal.  


"Uniknya, pada momen Cio Tao, di dalamnya ada sajian makanan lokal, seperti nasi kuning, berbagai kue, buah, lilin, dan dupa, tidak lupa manisan, teh atau arak dan kopi pun disajikan. Bagi yang Muslim disediakan makanan halal, bagi yang nonmuslim disediakan juga makanan nonhalalnya. Dan itu disediakan dan diproses secara terpisah untuk menghormati semua kalangan," terang Hendra Lim.


Dari nenek moyang leluhur, lanjutnya, sudah mengajarkan toleransi pada sesama di acara resepsi Cio Tao itu.‘‘Mereka secara organik melebur menghargai tradisi lokal di Tangerang," imbuhnya.


Pada prosesi Cio Tao, orang Tionghoa Benteng biasanya akan menggelar resepsi perkawinan selama tiga hari. Hari pertama disebut dengan malam bumbu, hari kedua malam rasul, ketiga malam pesta. Di hari pertama pada malam bumbu, sanak keluarga berkumpul melakukan tradisi saling membantu. Dan yang penting untuk diketahui, orang Tionghoa Benteng itu kali pertama memasak masakan halal untuk saudaranya kalangan Muslim. Memperhatikan,  mengutamakan, dan menjaga kesucian makanan untuk orang-orang Muslim yang datang ke pernikahan. 


Adapun malam rasul, Hendra mengaku, sampai saat ini, orang Tionghoa sendiri itu saja memiliki kebingungan, kenapa hari kedua disebut dengan malam rasul. Hendra menjelaskan, bahwa malam rasulan itu ada diambil dari kata Rasulullah shallallahu‘alaihi wasallam. Jadi, malam rasul itu disebut sebagai malam untuk orang-orang Muslim. Karena, orang-orang Tionghoa Benteng itu memiliki banyak sanak keluarga yang beragama Islam.


"Dan di malam rasul, acara pernikahan yang diperuntukkan untuk keluarga Tionghoa Benteng yang beragama Islam. Karena, tidak ada makanan nonhalal, sehingga dibuatkanlah malam rasul yang dikhususkan kepada keluarga yang beragama Islam," tambah pendiri Himpunan Mahasiswa Buddhis Indonesia (Hikmah Budhi) itu.


Sedangkan malam pesta, lanjut Hendra Lim, di hari terakhir pesta pernikahan ini semua undangan dan sanak keluarga hadir. Tak terkecuali keluarga Tionghoa Benteng yang berasal dari agama Islam. Dan secara organik toleransi antarbudaya dan umat beragama itu terjalin. Semua tamu yang hadir pada resepsi Cio Tao saling menghargai, karena semuanya adalah keluarga. Meskipun memiliki perbedaan pada agamanya masing-masing.


“Nah, kita sudah bertoleransi antarumat beragama dari dulu. Dari nenek moyang dan leluhur kita, pada malam pesta, baik itu Tionghoa Benteng dan keluarganya yang beragama Islam, saling mendoakan dan disuguhkan makanan pada meja yang berbeda. Ada meja yang berisi makanan halal dan ada juga makanan yang nonhalal,“ tandas tokoh budaya Tionghoa Benteng itu.


Pelibatan Semua Stakeholder
Terpisah, Dosen Universitas Islam Syekh Yusuf (UNIS) Tangerang Khusaini menyampaikan, semua tokoh berbagai kalangan memiliki peranan yang sangat penting untuk menjaga keteraturan dan kemajemukan Kota Tangerang. Tak hanya akademik saja, sebagai peneliti, juga memiliki peranan untuk mengajarkan nilai-nilai kebangsaan kepada mahasiswa. Salah satunya melalui praktik kerja lapangan di semester akhir. 


“Untuk di UNIS sendiri, kami, para dosen mengajarkan kepada mahasiswa untuk praktik kerja di lapangan berjejaring dengan tokoh-tokoh lintas agama. Membangun networking, masuk ke dalam organisasi masyarakat, sosial, dan komunitas-komunitas lain,” ungkap pria bergelar doktor itu.


Tak hanya itu. Pihaknya juga menanamkan cinta tanah air kepada setiap mahasiswa di UNIS. Salah satunya dengan menelurkan buku tematik tentang perjuangan Syekh Yusuf. Mengobarkan patriotisme bangsa untuk kemerdekaan. Dan itu diaktualisasikan kepada mahasiswa dengan bentuk praktik kerja lapangan. 


Pria kelahiran Jember, Jawa Timur, itu menyampaikan harapannya untuk senantiasa menjaga toleransi umat beragama di Kota Tangerang. Pertemuan lintas agama itu tidak hanya dirajut pada tataran tokohnya saja, melainkan juga membumikan toleransi di kelompok masyarakat. Salah satunya dengan menggelar kegiatan pertemuan dengan mengakomodasi pertemuan lintas beragama.


“Toleransi antarumat beragama di Kota Tangerang perlu terus dijaga. Semua tokoh dan kelompok masyarakat perlu terlibat dalan kegiatan lintas umat beragama. Salah satunya kunjungan rumah ibadah satu sama lain, semisal,” terangnya.


Dia mengamati adaptasi Tionghoa Benteng sendiri sudah sangat mengakar di Kota Tangerang. Dan masyarakat sudah beradaptasi tanpa mengabaikan kearifan lokal itu sendiri. Selain itu, kata dia, Pemerintah Kota Tangerang sudah sangat mengakomodasi kalangan Tionghoa Benteng dalam perayaan tahunan yang sering dilakukan, seperti Pehcun dan Festival Cisadane.


“Kita harus juga beradaptasi tanpa mengabaikan kearifan lokal. Masyarakat dan pemkot juga terus mengupayakan itu. Termasuk pada beberapa acara tahunan, pemkot sering terlibat, sehingga Festival Cisadane bukan hanya untuk kalangan Tionghoa Benteng, semua kalangan menikmatinya,“ jelasnya.



Pewarta: Arfan Effendi


Nasional Terbaru