• logo nu online
Home Nasional Banten Raya Warta Keislaman Tokoh Khutbah Sejarah Opini Pesantren NU Preneur Ramadhan 2023
Senin, 29 April 2024

Nasional

Tebar Welas Asih, Frater Muda dari Luar Negeri ke Pesantren Daarul Falahiyyah

Tebar Welas Asih, Frater Muda dari Luar Negeri ke Pesantren Daarul Falahiyyah
KH Ardani (lima dari kanan) dan Romo Felix Supranto (sebelahnya) berfoto bersama di Halaman Pondok Pesantren Daarul Falahiyyah, Cisoka, Kabupaten Tangerang. (KH Ardani for NUOB)
KH Ardani (lima dari kanan) dan Romo Felix Supranto (sebelahnya) berfoto bersama di Halaman Pondok Pesantren Daarul Falahiyyah, Cisoka, Kabupaten Tangerang. (KH Ardani for NUOB)

Kabupaten Tangerang, NU Online Banten

PUKUL 15.30 WIB. Pintu gerbang Pondok Pesantren Daarul Falahiyyah terbuka sedikit. Tak lama, setelah melihat ada kendaraan mau masuk, seorang santri setengah berlari, membuka penuh pintu gerbang pesantren yang berada persis di Jl Raya Cangkudu-Cisoka No.55, Selapajang, Cisoka, Kabupaten Tangerang, Banten, itu. NU Online Banten langsung memarkir kendaraan di halaman pesantren yang dihuni 320 santri itu.


Di halaman pesantren yang cukup untuk bermain futsal itu, sejumlah orang sedang membongkar tenda. Sebagian santri laki-laki, tampak habis mandi. Rambutnya basah, menenteng handuk, dan gayung yang berisi peralatan mandi. Sebagian lain tampak masih santai mengobrol. Dari jauh, bangunan berbeda, masih dalam area pesantren, sejumlah santri perempuan terlihat berdiri berkelompok, bercengkrama.



’’Ini habis haul Abah KH Gomrowi, pendiri pesantren ini. Tadi malam. Haul ke-9,’’ ujar Aldo Bagus Jiwantoro, santri senior Pesantren Daarul Falahiyyah yang ditemui NU Online Banten (NUOB), Rabu (13/12/2023). Aldo menemani mengobrol beberapa saat sembari menunggu kedatangan KH Muhammad Ardani Gomrowi yang masih ada kegiatan di luar. ’’Rumah Kiai Ardani di belakang, di luar pesantren,’’ ujar mahasiswa Universitas Pamulang, Tangerang Selatan, itu sembari pamitan, izin karena ada tugas rutin pesantren.


Setelah menunggu beberapa saat, handphone berdering.’’Mas, ke rumah ya. Minta tolong santri untuk mengantar,’’ begitu jelas suara Kiai Ardani terdengar. NUOB pun menghampiri santri yang asyik main bola di halaman pesantren setelah pembongkaran tenda selesai, untuk menunjukkan rumah Kiai Ardani. Tak jauh dari gerbang pesantren ada gang yang tak cukup untuk papasan dua mobil. Jaraknya sekitar empat kali tendangan bola dari pesantren. Rumah Kiai Ardani enak dilihat. Tembok rumah bagian luar berwarna putih. Terlihat masih bagus. Halamannya luas. Persis di pinggir persawahan. Depan halaman rumah ada lapangan bola lengkap dengan tiang gawang terbuat dari besi. Bendera Merah Putih berkibar tinggi menjulang di pinggir lapangan. Meski dekat, beda kampung, tapi satu desa,
Selapajang. Lokasi pesantren di Panggang, sedang rumah Kiai Ardani masuk Panggung Kulon.



’’Sini Mas,’’ ujar pria yang mondok di Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur, itu, mempersilakan. Terlihat sudah ada tamu yang ditemui di halaman, depan rumah, yang dilengkapi meja dan kursi. Suasana adem dan aroma khas sawah langsung tercium sore itu. Suara permainan dari bambu yang digantungkan bak alunan musik merdu, kerap terdengar saat tersapu angin.’’Saya baru setahun tinggal di sini. Sebelumnya, di dalam pesantren,’’ imbuh pria 8 bersaudara itu.



Mengenakan kopiah putih, baju bermotif lengan panjang, dipadu sarung warna gelap, Kiai Ardani  bercerita, ayahnya sudah berinteraksi dengan nonmuslim setempat sejak lama.’’Pesantren Daarul Falahiyyah didirikan Abah (KH Gomrowi) sekitar 1950. Abah sering berhubungan dengan Khonghucu, Tionghoa, dan lainnya di Cisoka ini,’’ ujar wakil ketua 1 Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Tangerang itu sembari tangannya memegang handphone.



Untuk Tionghoa sudah lama di Cisoka. Sudah berbaur dengan warga. ’’Ada yang beragama Buddha. Sering diundang. Juga pendeta,’’ imbuh bapak tiga anak itu sambil membenarkan posisi kacamatanya.



Di sisi lain, Kiai Gomrowi juga sering mendapat undangan. Karena sudah sepuh, Kiai Ardani sebagai salah seorang putranya diminta untuk mewakili.’’Ketika ada Natalan, sering diundang, saya hadir,’’ ujar bapak yang anak pertamanya sedang kuliah S2 di Universitas Indonesia itu.


Surat undangan tersebut disampaikan terlebih dahulu ke orangtuanya.’’Ini ada surat undangan dari nonmuslim dalam rangka Natal dan tahun baru. Di situ ada slot sambutan. Jawab Abah, hadir. Sampaikan tentang kehebatan Islam, sampaikan tentang seluk beluk Islam, sampaikan sifat-sifat Rasulullah ketika berinteraksi dengan nonmuslim. Hal-hal seperti itu saya sampaikan di sana,’’ ungkap bapak yang anak keduanya hendak kuliah Fakultas Kedokteran di Universitas Al Azhar, Mesir, setelah lulus beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) via Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) itu.

 

Ditambahkan pria yang mempersunting istri dari daerah tersebut, ada kalimat yang cukup unik dari bapaknya.’’Kalau kita sengaja mengundang orang itu untuk mendengarkan ceramah, susah. Tapi kita diundang untuk menyampaikan ceramah di mereka, makanya hadir. Bukan untuk ikut ritual. Pas ritual saya di luar,’’ terang bapak yang anak ketiganya sedang menghafalkan Al-Qur’an di Lirboyo, Kediri, Jawa Timur, itu.



Jadi semenjak dulu, pesantren tersebut sudah sering didatangi nonmuslim yang ingin bertemu dengan Kiai Gomrowi. ’’Datang, dialog, menyampaikan keluhan tentang kesulitan menemukan lokasi beribadah misalnya. Saya diminta membantu, menyampaikan ke masyarakat, lurah, pengembang. Begini dalilnya mendirikan rumah ibadah dan segala macam,’’ ujar katib Syuriyah Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Kabupaten Tangerang itu.



Bahkan, lanjutnya, waktu itu, beberapa kali nonmuslim yang mau ibadah, datang dulu ke pesantren. Menemui Kiai Gomrowi. ’’Termasuk terkait perayaan Imlek. Tionghoa, sudah berbaur sudah lama. Untuk yang ke pesantren, semua nonmuslim pernah. Tapi yang intens Katolik. Juga Khonghucu,’’ jelas pria yang berada di Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Tangerang, itu.


Untuk Katolik, mulai sering bersama dengan Romo Felix Supranto, pastor Gereja Katolik Santa Odilia Citra Raya, sejak 2010. ’’Sebelumnya dengan pendeta atau nonmuslim yang berada di Cisoka dan sekitarnya. Banyak hal sudah dilakukan di pesantren dengan Romo Felix. Terutama sebelum Covid-19,’’ ungkapnya.



Di antaranya, menyumbang perlengkapan santri seperti pembalut untuk santri perempuan. ’’Kadang, setiap 6 bulan sekali. Bukan minta. Mereka tanya ke santri, apa kebutuhan yang diperlukan. Lalu dikasih. Selain itu, namanya anak-anak, ya dikasih makanan,’’ terangnya.



Selain itu, menfasilitasi pelatihan kerja sama dengan Bogasari.’’Romo Felix dan tim menfasilitasi dengan mendatangkan ahlinya, cara membuat kue, roti-roti gitu,’’ imbuhnya.



Juga pembangunan kamar mandi, toilet. Dirapikan.’’Tahu kan kalau pesantren toiletnya itu, kadang kayak gitu. Mereka merapikan, terjun langsung. Sangat membantu. Tak hanya itu. Mengirim frater (calon pastur) muda dari berbagai negara yang pintar bahasa Inggris. Diajak ke pesantren sini,’’ tambahnya.

 


Ketika itu yang datang ke pesantren berasal dari Pakistan, India, dan Filipina. Mereka mengajar bahasa Inggris selama sepekan. ’’Baru sekali. Anak-anak santri cukup berani, berhadapan dengan orang asing. Ini menanamkan mental. Mereka tidak nginap di pesantren, tapi balik ke Citra Raya,’’ ungkapnya.

 


Tak hanya pesantren. Setidaknya dua rumah di dekat pesantren mendapat bantuan. ’’Dibantu dari tidak layak huni ke layak huni. Tidak ada kompensasi, tidak ada janji kristenisasi atau segala macam,’’ ungkapnya.



Sebelum terlibat bersama secara intens dengan Katolik misalnya, Kiai Ardani mengakui sempat galau, khawatir. ’’Saya pelajari dulu, komunikasi, diskusi kegiatan di tempat mereka seperti buka bersama, shalat tarawih, dan lain-lain. Dari situ saya simpulkan, mereka murni sosial. Kekhawatiran pun lenyap. Jadi tidak ada istilah kristenisasi, Katolik ini,’’ tegasnya.



Kiai Ardani mendambakan semua hidup berdampingan. Merawat kerukunan itu harus dikedepankan. ’’Sebab, pembangunan tanpa kerukunan omong kosong. Pembangunan itu butuh kerukunan, butuh kedamaian, butuh ketentraman. Sering saya gaungkan di teman-teman pemda,’’ ujarnya.



Pembangunan, lanjutnya lagi, tak mungkin berjalan jika ada kekacauan terus.  Artinya yang dicari persamaannya, bukan perbedaan.’’Keyakinan dan aqidah terjaga, tak usah khawatir dan saling curiga-mencurigai,’’ imbuhnya.

 


Bagaimana komentar santri? Santri, jawab Kiai Ardani, adem-adem saja, tak ada persoalan. Itu tergantung pengasuhnya.’’Jangankan santri, masyarakat sini  tergantung kiainya juga. Bahkan, kalau Romo Felix datang, ditunggu, berbaur, saling canda,’’ terangnya.

 


Menurut Kiai Ardani, kebersamaan itu penting, apalagi untuk mengakarkan kerukunan. ’’Supaya hidup harmonis, damai. Sekali lagi hilangkan perbedaan, carilah persamaan. Keyakinan boleh berbeda, tapi kerukunan harus tetap terjaga dan aqidah kita pun tetap terjaga. Silakan keyakinan berbeda, namun harmonilah yang harus kita kedepankan. Semuanya itu beriringan dengan baik. Dan, ini tangggung jawab kita bersama, bukan saya saja, harus disampaikan ke masyarakat,’’ jelasnya.

 


Terpisah, Pastor Gereja Katolik Santa Odilia Citra Raya Romo Felix Supranto mengatakan, dia tinggal di Kabupaten Tangerang pada awal 2010. ’’Saya menyadari bahwa Kabupaten Tangerang merupakan daerah ulama dan santri sehingga suasana Islami sangat kental. Saya menyadari kalau umat Katolik tidak memperkenalkan diri, umat Katolik itu akan terasıng dari masyarakat,’’ ujarnya di Kabupaten Tangerang, Banten, dihubungi NU Online Banten, Jumat (15/12/2023).

 


Ditambahkan, ketika Gereja Katolik mau keluar dari zonanya sendiri, masyarakat Kabupaten Tangerang akan menyadari bahwa banyak agama lain yang juga hidup di daerah ini. ’’Toleransi adalah tidak menyamakan, tetapi saling menghormati perbedaan sehingga dapat hidup berdampingan. Cita-cita saya itu mulai dapat terwujud ketika bertemu dengan Kiai Haji Ardani dalam sebuah pertemuan dan beliau mengundang saya bermain di pesantrennya.  Karena saya sering bermain di pesantrennya, saya mulai akrab dengan para santri di sana. Banyak umat Katolik juga mulai mengunjungi pesantren itu,’’ ungkapnya.



Sinergi itu dimaksudkan untuk membangun kerukunan dengan melakukan karya kemanusiaan. ’’Karya kemanusiaan atau welas asih itu bahasa yang dapat dipahami oleh semua orang, apa pun agamanya,’’ imbuh pria yang berharap tidak ada lagi politisasi agama yang dapat merusak kerukunan yang sudah sangat indah.

 


Sinergi yang dilakukannya tidak hanya dengan pesantren yang diasuh Kiai Ardani. Di antaranya dengan pesantren asuhan KH Maski di Gunung Kaler, dengan TNI-Polri, pemerintah, MUI Panongan, serta Gerakan Pemuda Ansor dan Banser. ’’Membangun kerukunan dan kemanusiaan tidak dapat dijalankan sendirian. Tetapi harus dilakukan secara bersama-sama,’’ terang pria asal Jogja itu.

 


Sedangkan terkait respons santri, Romo Felix mengatakan, para santri langsung dapat menerimanya dan akrab. ’’Bahkan para alumni akan memanggil saya dengan sebutan Abuya Romo ketika berjumpa dengan saya di suatu tempat. Kehadiran saya tidak membingungkan para santri karena Kiai Ardani sudah memberitahukan kepada mereka tentang keragaman,’’ ungkap romo yang menilai kerukunan masyarakat Cisoka sudah sangat baik karena bimbingan para ulama. (M Izzul Mutho)


Nasional Terbaru