• logo nu online
Home Nasional Banten Raya Warta Keislaman Tokoh Khutbah Sejarah Opini Pesantren NU Preneur Ramadhan 2023
Selasa, 30 April 2024

Nasional

Menjaga Harmoni Umat Beragama di Tangerang

Menjaga Harmoni Umat Beragama di Tangerang
Menara Masjid Jami' Kalipasir yang berbentuk pagoda. (Arfan/NUOB)
Menara Masjid Jami' Kalipasir yang berbentuk pagoda. (Arfan/NUOB)

Kota Tangerang, NU Online Banten
Lima ratus tahun silam telah berlalu dan sang surya tak henti-hentinya menyinari menara Masjid Jami Kalipasir berbentuk pagoda segi delapan itu. Berada di tengah lingkungan rumah warga, suara sayup adzan Ashar, terdengar jelas menyeruak sampai ke Pasar Lama, Sukasari, Kota Tangerang, Senin (18/12/2023). 


Meski telah diterpa dengan berbagai cuaca dan jalan di dekatnya telah dilintasi sekian kendaraan, Masjid Jami Kalipasir yang terletak di Jl Kalipasir, RT 02/RW 004, Sukasari, Kecamatan Tangerang, Kota Tangerang, Banten itu tetap berdiri kokoh di samping Sungai Cisadane. 


Masjid tersebut memiliki warna krem di dinding luarnya dan didominasi warna putih di bagian dalam. Gentingnya berwarna hijau. Di bagian muka masjid yang merupakan halaman utama terdapat sejumlah makam. Jamaah yang akan masuk, bisa melalui pintu yang terletak di sisi utara dan sisi selatan. Di salah satu tembok luar masjid, tampak jelas tulisan Masjid Jami Kalipasir, dengan huruf Indonesia dan Arab.


Penasihat Dewan Kemakmuran (DKM) Masjid Jami Kalipasir Kiai Ahmad Syairodji menerangkan, masjid ini menjadi salah satu masjid tertua yang ada di Kota Tangerang. Dulu, hanya gubuk kecil, tempat ibadah umat Muslim setiap singgah di pesisir Sungai Ciasadane. Kemudian, pada abad ke-15, tempat tersebut dibangun masjid. Ini seiring banyaknya pengelana yang mampir untuk shalat atau sekadar singgah beristirahat.


“Ada salah satu tokoh penyebar agama Islam dari Kerajaan Galuh, namanya Ki Tengger Jati, beliaulah yang membabat daerah ini untuk ibadah dan akhirnya menjadi sebuah masjid,“ terang pria yang sudah menginjak usia 74 tahun itu.


Berbaur dengan Masyarakat
Kiai Ahmad Syairodji mengatakan, Masjid Jami Kalipasir ini memiliki arsitektur unik. Menaranya berbentuk pagoda segi delapan seperti bangunan menara dari kalangan Tionghoa. Tiangnya memiliki empat kayu pondasi. Bangunan ini memadukan unsur kearifan lokal. Masyarakat sekitar Masjid Jami Kalipasir, merupakan Tionghoa dan letaknya tidak jauh dari Klenteng Boen Tek Bio. Salah satu Klenteng tua di Tangerang.


Meski demikian, dia tidak pernah mengalami masalah dengan umat lain. Bahkan, jika perayaan Tahun Baru Imlek tiba, sebagian masyarakat setempat yang beragama Islam turut membantu. Sebagian dari mereka juga saling berbagi satu sama lain tanpa melihat latar belakang agamanya. “Toleransi antarumat beragama di sini sudah terbangun sejak dulu. Kalau ada perayaan Imlek atau Idul Fitri sekalipun, kami saling berbagi,” ungkapnya.


Semua masyarakat di tempat tersebut, kata dia, baik Muslim maupun non-Muslim, saling menghormati dan menghargai satu sama lain. Dia pun kembali bercerita masa lalu. Dulu, ketika zaman orde baru dan krisis 1998, masyarakat sekitar Masjid Jami Kalipasir ikut melindungi orang-orang Tionghoa yang menjadi target penjarahan. Tak sekadar saling menghormati, tetapi juga saling melindungi satu sama lain.


“Orang-orang tua dulu, mengajari kita untuk saling menghargai, tanpa ada kepentingan apapun, kita saling menghargai, malahan, kita juga saling melindungi satu sama lain, karena kita semua adalah saudara,“ terangnya. 


Berbaur Secara Organik
Di tempat terpisah, salah seorang Tokoh Perkumpulan Klenteng Boen Tek Bio Lim Han Tiong, mengungkapkan, kalangan Muslim dan Tionghoa Benteng sudah saling menghormati sejak dulu. Dan itu dibuktikan dengan berdampingannya dua rumah ibadah. Umat Muslim memiliki Masjid Jami Kalipasir, Tionghoa Benteng memiliki Klenteng Boen Tek Bio sejak ratusan tahun lalu.


‘‘Toleransi antar umatberagama ini sudah berjalan secara organik sejak masa lampau, dan leluhur kita mengajarkan hal itu,” ujar pria yang akrab disapa Hendra Lim itu.


Dosen Universitas Buddhi Dharma tersebut menambahkan, Klenteng Boen Tek Bio ini menjadi salah satu situs sejarah untuk kalangan Tionghoa Benteng. Dibangun sejak abad ke-15 silam. Klenteng Boen Tek Bio ini sama berpengaruhnya dengan Masjid Jami Kali Pasir yang jaraknya berdekatan. Sehingga, masyarakat Tangerang memahami dan terus berupaya dalam menjaga toleransi antarumat beragama.

‘‘Toleransi antarumat beragama harus terus dirawat, karena kemajemukan Tangerang merupakan warisan paling bernilai untuk masa depan,“ tegasnya.


Hendra Lim juga menyampaikan makna filosofis Klenteng Boen Tek Bio. Berasal dari bahasa Hokkian yang memiliki arti khusus. Boen memiliki arti intelektual. Lalu tek berarti kebajikan. Dan kata ‘Bio‘ berarti tempat ibadah. Secara etimologi, kata dia, Boen Tek Bio berarti tempat bagi umat manusia untuk menjadi insan yang penuh kebajikan dan intelektual.


Selain itu, Hendra Lim menyampaikan setiap perayaan Tahun Baru Imlek misalnya, Klenteng Boen Tek Bio secara rutin menyisihkan bantuan untuk masyarakat sekitar. Melakukan pendataan untuk masyarakat kurang mampu, baik itu orang Tionghoa Benteng, maupun yang bukan. Kepedulian sosial itu terus dibangun sejak puluhan dan ratusan tahun silam sejak Klenteng Boen Tek Bio berdiri.


“Dari dulu, Klenteng Boen Tek Bio secara rutin memberikan manfaat kepada masyarakat sekitar. Tak hanya perayaan Imlek, Pehcun, dan tradisi lainnya. Ketika Ramadhan tiba, kita memberikan makanan untuk umat Muslim yang berpuasa,‘‘ ungkap pendiri Himpunan Mahasiswa Budha Indonesia (Hikmah Budhi) tersebut.


Oleh karena itu, Hendra Lim berharap, kemajemukan dan keberagaman tersebut terus berlanjut sampai generasi muda yang akan datang. Menjaga dan melestarikan warisan nilai dari leluhur. Dan senantiasa menjaga semangat kebangsaan di tengah arus informasi digital yang semakin bebas ini. Hal itu penting dilakukan dalam menjaga kebinekaan yang sudah dirajut oleh nenek moyang sejak dulu kala. 


“Keberagaman, kemajemukan, dan kebinekaan di Tangerang ini harus terus dijaga, dan itu adalah tugas kita bersama,“ pungkas Hendra Lim.


Pewarta: Arfan Effendi


Nasional Terbaru