• logo nu online
Home Nasional Banten Raya Warta Keislaman Tokoh Khutbah Sejarah Opini Pesantren NU Preneur Ramadhan 2023
Minggu, 5 Mei 2024

Nasional

Riset Moderasi Beragama di Lembaga Publik, INFID: Substansi Nilai, Bukan Hanya Label Program

Riset Moderasi Beragama di Lembaga Publik, INFID: Substansi Nilai, Bukan Hanya Label Program
Konferensi pers hasil riset praktik moderasi beragama di lembaga publik oleh INFID. (NUOB/Arfan)
Konferensi pers hasil riset praktik moderasi beragama di lembaga publik oleh INFID. (NUOB/Arfan)

 Jakarta, NU Online Banten

International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) merilis hasil riset terbaru mengenai praktik moderasi beragama di lembaga publik. Riset tersebut dilakukan pada empat lembaga yang berbeda. Yaitu, Bank Syariah Indonesia (BSI), Perusahaan Listrik Negara (PLN), SMAN 53 Jakarta, dan MAN Insan Cendekia Sumatera Barat.

 

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif pada periode Januari-Maret 2023. Dengan mewawancarai 51 responden, terdiri dari 21 orang jenis kelamin perempuan dan 30 orang laki-laki.

 

Ketua Peneliti INFID Iqbal Ahnaf mengungkap, ada sejumlah kabar baik atas praktik-praktik moderasi beragama di sejumlah publik Indonesia. Secara umum, praktik ini diterima tanpa penolakan. Baik dari segi pemaknaan, maupun praktik kelembagaan. Dengan kesadaran tidak bersikap mengucilkan minoritas, bahkan memiliki kesadaran untuk saling menghormati. Terdapat kesadaran dari para responden untuk tidak mudah mengafirkan.

 

“Ada temuan yang meyakini bahwa mayoritas tidak sepatutnya bersikap mentang-mentang dengan mengucilkan minoritas, kesadaran untuk saling menghormati keyakinan agama, dan tidak membuat sekat berdasarkan agama dalam relasi sosial,” papar Iqbal Ahnaf pada Rabu (14/6/2023) di Sadjoe Café and Resto, Tebet, Jakarta Selatan.

 

Iqbal menuturkan, penelitian ini menemukan adanya keselarasan antara praktik kebijakan dan kebudayaan yang ada di empat lembaga dengan indikator moderasi beragama dari Kementerian Agama RI. Indikator itu meliputi empat komponen, seperti komitmen kebangsaan, toleransi, anti kekerasan, dan penghargaan terhadap budaya lokal.

 

Di bank BSI dan PLN, kata dia, praktik moderasi beragama secara substantif ini bisa ditemukan dalam menerapkan nilai kerja perusahaan (corporate core values) dan sejumlah langkah strategis untuk mencegah ekstremisme.

 

“(Di PLN melakukan) seperti sentralisasi pengelolaan rumah ibadah, kode etik penceramah keagamaan dan pengelolaan bantuan sosial. Di BSI kebijakan dress code yang membatasi pilihan mode berpakaian menjadi salah satu langkah instrumental dalam memperkuat moderasi beragama,” terangnya. 

 

Iqbal menilai, pada lingkungan sekolah negeri, praktik moderasi beragama diterapkan secara sistemik dan terbatas. Seperti di SMAN 53 Jakarta misalnya, bisa menjadi contoh best practice moderasi beragama tanpa menggunakan label moderasi beragama. Di sekolah ini, empat komponen moderasi beragama terlihat pada kultur dan program-program sekolah.

 

Bahkan, di SMAN 53 menggelar kegiatan kolaborasi dengan pihak luar, seperti organisasi nirlaba yang peduli terhadap isu toleransi dan perdamaian, memperkuat upaya moderasi beragama di sekolah ini. 

 

“Berbeda halnya dengan MAN Insan Cendekia, madrasah di bawah Kemenag RI, praktik moderasi beragama lebih bersifat formal dan menekankan pada aspek ubudiyah. Moderasi beragama dipraktikkan dengan kegiatan seminar penguatan moderasi beragama setahun sekali, mengirim delegasi untuk mengikuti kegiatan pelatihan moderasi beragama di luar sekolah dan penunjukkan Duta Moderasi Beragama," jelas Iqbal.    

 

Sementara itu, Program Officer Promoting Tolerance and Respect for Diversity INFID Rizka Antika menyampaikan, kabar baik pada penelitian ini tidak menemukan praktik diskriminasi terhadap perempuan dan non-muslim. Sebaliknya, ditemukan banyak praktik baik terkait dengan kepemimpinan perempuan dan non-muslim. Selain itu, tidak ditemukan kebijakan pemaksaan pakaian berdasarkan keyakinan agama, khususnya di lembaga yang tidak berbasis agama. 

 

Namun, Rizka menilai penelitian ini mendapati masih adanya anggapan kritis mengenai moderasi beragama yang selaras dengan klaim organisasi radikal. Seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang menganggap moderasi beragama dapat melemahkan akidah. Anggapan ini ditemukan pada riset di PLN dan MAN Insan Cendekia. Nalar penerimaan kritis ini terlihat dari nalar kewaspadaan yang menekankan pada batasan dalam moderasi beragama agar jangan menyentuh akidah dan terbatas pada aspek mu’amalah (hubungan sosial).

 

 “Hal ini ditemukan dalam strategi yang menghindari pola konfrontatif, misalnya berusaha merangkul semua kelompok keagamaan. Di PLN, pola ini lahir dari perspektif perusahaan sebagai “rumah bersama” sehingga tidak ada larangan terhadap unsur yang berafiliasi dengan HTI,” ungkap Rizka.

 

Kendati demikian, hasil riset yang dilakukan oleh INFID ini menghasilkan beberapa usulan. Kementerian Agama RI perlu mendesain implementasi moderasi beragama yang menekankan kolaborasi banyak pihak dan berkelanjutan. Dan Kementerian BUMN RI perlu merancang ekosistem yang mendorong penguatan moderasi beragama, serta memberi perhatian terhadap kelompok atau individu yang dapat mengancam moderasi beragama. 

 

“Sementara di lingkungan sekolah, lembaga publik dapat mengupayakan ide-ide kreatif praktik moderasi beragama, yang tidak sebatas kegiatan, namun meliputi kebijakan dan kultur, pekerjaan rumah kita moderasi beragama sebagai substansi nilai, bukan hanya label program,” tandasnya.

 

Pewarta: Arfan


Nasional Terbaru