• logo nu online
Home Nasional Banten Raya Warta Keislaman Tokoh Khutbah Sejarah Opini Pesantren NU Preneur Ramadhan 2023
Minggu, 5 Mei 2024

Opini

Kitab al-Hikam dan Para Pembacanya

Kitab al-Hikam dan Para Pembacanya
Ilustrasi. (NUO)
Ilustrasi. (NUO)

Kitab al-Hikam adalah obat. Manjur dan mujarab. Demikian kesan seorang teman ngaji kilatan. Lebih panjang lantas bercerita. Dulu, ia mudah bangga diri. Mudah merasa lebih baik. Terlebih dalam beribadah. Jika lihat teman sesama santri yang tidak rajin jamaah, tadarus Al-Qur'an, qiyamul lail, dhuha, dan lain sebagainya, maka ia mudah sinis. Mudah menjatuhkan klaim dan penilaian. Apalagi teman remaja seusianya yang tidak nyantri. Ia pandang sebagai orang yang celaka. Namun, setelah beberapa bulan kitab al-Hikam, ia merasa tercerahkan.

 


Dengan sangat fasih, santri kilatan asal Pekalongan, Jawa Tengah, ini mengutip kalam Syekh Ibnu Athaillah (658-709 H). Terkadang kemaksiatan yang menyebabkan rasa hina dan butuh pengampunan itu lebih baik daripada ketaatan yang menyebabkan rasa mulia dan sombong diri.

 


"رب معصية أورثت ذلًّا وافتقارًا خيرٌ من طاعة أورثت عزًّا واستكبارًا"

 


Teman kedua gantian cerita. Dulunya, ia sangat berhasrat mengejar dunia. Meskipun tidak begitu mengetahui untuk apa. Dalam benaknya, harta akan memberinya kebahagiaan. Berbagai macam usaha dilakukan. Mengolah sawah, kebun, toko, hingga travel umrah. Ujungnya, ketika semua menuai hasil. Banyak godaan menyergap. Salah satunya adalah menambah istri.

 


Tak butuh waktu lama. Setelah kondisi ekonomi berlimpah, bermacam keinginan itu muncul. Ditambah lagi, tidak sedikit wanita mendekat. Baik yang gadis ataupun janda. Kesetiaannya goyah. Merasa mampu, ia menikah hingga tiga kali. Namun, hanya beberapa tahun menikmati madu, usahanya meredup. Kegigihan usaha dan doa yang dulu dirintis, terasa lama ia tinggalkan. 2 istri mudanya menuntut cerai. Dalam kondisi limbung, ia tersadarkan. Selama ini telah menjauh dari Allah. Kenikmatan dunia yang fana mengelabuinya. Sadar dari kesalahannya, teman dari Kediri, Jawa Timur, ini balik ke pesantren. Meskipun harus pulang pergi. Tiap pagi, ikut ngaji al-Hikam. Setelah hampir satu tahun rutin mengikuti kajian, ia menata kembali usahanya.

 


Sambil menarik napas, teman yang kini sudah memiliki 5 anak ini menyitir dawuh Syekh Ibnu Athaillah, dengan penuh penghayatan. Adalah keanehan yang nyata, seseorang lari menjauh dari Allah. Padahal pasti tidak akan bisa lepas dari-Nya. Sebagai gantinya, ia sibuk mencari sesuatu yang tidak akan tetap membersamainya. Kondisi mental dan sikap seperti ini adalah bukti nyata butanya hati nurani. Meskipun secara lahiriah, kedua matanya masih sehat berfungsi.

 


العَجَبُ كُلُّ العَجَبِ مِمَّنْ يَهْرُبُ مِمَّنْ لا انْفِكاكَ لَهُ عَنْهُ، وَيَطْلُبُ ما لا بَقاءَ لَهُ مَعَهُ فَإِنَّهَا لا تَعْمَى الأَبْصَارُ وَلَكِنْ تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُور

 


Tidak terasa, jarum jam di kantin telah menunjukkan angka 11.00 WIB. Artinya, kami harus bubaran. Hampir 3 jam kami berbincang. Menyeduh kopi dan berbagi pengalaman hidup. Rutinitas yang biasa dilakukan oleh santri kilatan. Tepatnya di Pesantren Fathul Ulum Kwagean, Pare, Kediri, Jawa Timur. Pesantren yang didirikan dan diasuh oleh KH Abdul Hannan Ma'shum. Semoga kita dapat memetik hikmahnya.

 


*Muhammad Hanifuddin, Ketua LBM PCNU Tangsel dan Dosen Ma'had Darus-Sunnah Jakarta


Opini Terbaru