• logo nu online
Home Nasional Banten Raya Warta Keislaman Tokoh Khutbah Sejarah Opini Pesantren NU Preneur Ramadhan 2023
Jumat, 3 Mei 2024

Opini

Membaca: Formula (Rahasia)

Membaca: Formula (Rahasia)
Ilustrasi membaca. (NUO)
Ilustrasi membaca. (NUO)

’’ORANG yang tidak dapat mengambil pelajaran dari masa tiga ribu tahun, hidup tanpa memanfaatkan akalnya” (Gothe)


Jika kita menelaah lebih jauh tentang bagaimana sebuah peradaban bisa berkembang dan mencapai puncak kejayaannya, maka ada satu hal menarik yang menjadi landasan dari berkembang serta jayanya sebuah peradaban itu. Dan landasan itu tak lain adalah budaya membaca (Membaca dalam arti luas maupun sempit).


Ya, budaya membacalah yang membuat peradaban-peradaban dari masa lampau seperti Yunani, Romawi, Mesir, Tiongkok, Islam, dan sampai kegemilangan Barat dalam mengembangkan ilmu pengetahuan mencapai kejayaannya. Dan tak ada satu pun peradaban maju di dunia ini, yang mengalami kejayaan tanpa dilandasi oleh budaya membaca.


Kejayaan peradaban Yunani, seperti yang kita ketahui, majunya peradaban tersebut itu dilandasi oleh budaya membaca yang sangat kuat, dan landasan penggerak awalnya adalah sebuah bacaan, yaitu Iliad karya Homerus. Kejayaan peradaban Islam tak terkecuali. Islam di bawah kekhalifahan Umayah dan Abasiyah, meraih kejayaan karena kedua dinasti itu mengembangkan budaya membaca dengan membuat gerakan penerjemahan karya-karya dari peradaban sebelumnya, untuk kemudian dikembangkan oleh peradaban Islam itu sendiri.


Lebih jauhnya, sebelum gerakan itu digaungkan, peradaban Islam sudah ditopang oleh pondasi kuat yang dibangun oleh Nabi Muhammad dengan sebuah kitab (bacaan) juga, yaitu Al-Qur’an. Dan ketika kita mencoba melihat latar yang membuat kebudayaan Barat saat ini berkembang pesat, lagi-lagi karena peradaban itu ditopang oleh budaya membaca, dengan berangkat dari sebuah bacaan yang dibuat oleh Newton dan setelahnya ditopang oleh pemikiran Descartes.


Menariknya, bahwa dalam perjalanan sejarah, setiap peradaban maju ketika meninggalkan budaya membaca, maka peradaban itu akan mengalami kemunduran, atau setidaknya mengalami kesulitan untuk mengembangkan peradaban itu ke arah yang lebih maju lagi.


Dalam hal ini, sebagai contoh kecil kita coba lihat lagi perjalanan sejarah peradaban Eropa dan Islam. Seperti yang tadi disebutkan bahwa pada mulanya, dengan kebudayaan membaca, peradaban Yunani (mewakili Eropa) mengalami puncak kejayaan peradaban. Di mana segala macam disiplin ilmu dan kebudayaan tumbuh dan berkembang secara subur. Ketika memasuki abad pertengahan, atau kita sering menyebutnya sebagai The Dark Age, Yunani (Eropa) mulai meninggalkan kebudayaan membaca yang sejauh itu menopang tumbuh berkembangnya peradaban mereka.


Sementara itu peradaban di belahan dunia yang lain, tepatnya peradaban Islam. Ketika Eropa sedang mengalami, dan atau menuju ke abad tergelap mereka, peradaban Islam justru sedang merumuskan dan menuju ke masa kejayaan, atau sebuah masa yang sering disebut sebagai The Golden Age.


Peradaban Islam dalam hal ini, sebenarnya menggunakan ruh dan formula yang sama dengan apa yang dipakai oleh peradaban Eropa (dalam hal ini Yunani) dalam mengembangkan sebuah peradaban. Dengan rumus pengembangan budaya membaca, kebudayaan Islam mampu berada di puncak peradaban, dengan ditemukannya berbagai macam disiplin ilmu. Bukan saja filsafat yang memang menjadi penopang disiplin ilmu lain, akan tetapi lebih jauhnya matematika, kedokteran, tekonoligi, astronomi, seni, dan sastra turut dilahirkan oleh rahim peradaban Islam.


Akan tetapi ketika peradaban Islam juga mengikuti langkah yang sama dengan peradaban Eropa di masa lampau, dengan masuk ke dalam jurang tidak adanya budaya membaca dalam tubuh peradabannya, peradaban Islam bisa dikatakan terperosok dan masuk ke dalam era kegelapan (The Dark Age). Dikatakan demikian, karena setelah kebudayaan membaca itu hilang, Islam seperti jalan di tempat dan tidak mampu lagi menjawab pertanyaan serta permasalahan yang sejauh ini disodorkan oleh perkembangan zaman.


Peradaban Islam, khususnya dalam pengembangan ilmu pengetahuan tertinggal jauh oleh peradaban Eropa yang kembali mengadopsi kebudayaan nenek moyangnya, yaitu kebudayaan membaca.


Dengan budaya membaca, Eropa yang tadinya tertinggal oleh peradaban Islam seperti membalikkan keadaan, mereka masuk ke era Aufklarung, suatu masa yang menandai kelahiran kembali budaya yang dulu di masa lampau pernah akrab dengan mereka. Dan setelah itu, Eropa sampai juga pada satu masa yang menandai kegemilangan, era itu disebut sebagai renaissance. Dengan ruh serta formula membaca itu, mereka terus berkembang sampai saat ini.


Dari rentetan sejarah perkembangan sebuah peradaban di atas, kita bisa melihat bahwa ada satu hal yang kemudian menjadi formula untuk menjadikan sebuah peradaban menjadi peradaban berkembang dan maju, yaitu membaca. Pandangan mengenai membaca sebagai pondasi untuk mengembangkan sebuah peradaban, dibuktikan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Central Connecticut State University pada tahun 2016.


Hasil dari penelitian itu, menerangkan bahwa negara-negara yang sejauh ini dikategorikan sebagai negara maju, seperti Finlandia, Amerika, Swedia, dan kebanyakan negara-negara Eropa, itu memiliki persentase tingkat membaca yang tinggi. Ini menandakan bahwa budaya membaca, memiliki relasi yang kuat dalam membangun sebuah peradaban. Penelitian itu juga memberikan satu gambaran, bahwa negara-negara yang memiliki persentase budaya membaca rendah, itu masuk ke dalam kategori negara tertinggal-berkembang.


Sebagai refleksi, untuk menutup bagian ini, saya ingin menyampaikan satu kisah tentang Nasrudin Khoja: Konon katanya, Nasrudin Khoja yang dikenal sebagai seorang sufi humoris itu, juga dikenal sebagai seorang yang memiliki resep masakan lezat. Di mana dengan resep masakan itu, Nasrudin mampu membuat makanan-makanan yang bukan saja terasa enak di lidah, akan tetapi juga menyehatkan untuk tubuh.


Suatu ketika Nasrudin ingin membuktikan kemampuannya itu kepada khalayak umum, ia kemudian pergi ke pasar untuk membeli bahan-bahan masakan, ia juga tak lupa membeli daging sebagai bahan dasar makanan dari apa yang hendak ia masak.


Akan tetapi, ketika Nasrudin selesai berbelanja dan hendak pulang ke rumahnya, di pertengahan jalan ada seekor elang yang tiba-tiba menyambar dan mengambil sekantong daging yang tadi dibelinya. Elang itu terus terbang tinggi meniggalkan Nasrudin.


Seketika saat elang itu masih ada dalam jangkauan pandang Nasrudin, ia meluapkan kekesalannya dengan berkata “Elang… engkau boleh saja mengambil daging itu, tapi kau lupa bahwa aku memiliki resepnya, dan dengan resep itu, bukan saja daging yang bisa kumasak menjadi enak, tapi segala macam bahan masakan bisa kubuat menjadi lezat”.


Nasrudin memiliki resep masakan yang enak, kendati dagingnya dicuri oleh seekor elang, dengan resep itu ia masih bisa mengolah bahan lain untuk membuat masakan yang enak. Nasrudin itu adalah kita. Kita memiliki formula untuk mengubah keadaan menjadi lebih baik, dan formula itu bernama membaca.

Rizki Mohammad Kalimi, Santri Pondok Pesantren Al-Musyahadah “RCI”


Opini Terbaru