Opini

Menjadi Pionir Kebajikan

Kamis, 23 Maret 2023 | 14:05 WIB

Menjadi Pionir Kebajikan

Ilustrasi Ramadhan. (Foto: NU Online)

Menjadi pionir laku kebajikan artinya menjadi pengawal, perintis jalan, pelopor serta penganjur ‎kebajikan. Para pionir kebajikan telah digaransi pahala oleh Nabi Muhammad seperti redaksi ‎dalam sebuah hadits yang disitir oleh Imam Muslim dari Jarir RA, “Barang siapa yang memulai ‎mengerjakan perbuatan baik dalam Islam (sehingga menjadi kebiasaan umat), maka dia akan ‎memperoleh pahalanya dan pahala orang yang mencontoh perbuatan itu, tanpa mengurangi pahala ‎mereka sedikit pun. Dan barang siapa yang memulai kebiasaan buruk (sehingga menjadi ‎kebiasaan umat), maka dia akan mendapatkan dosanya, dan dosa orang yang mengikutinya ‎dengan tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun.” (Sahih Muslim: 1017)‎

‎ 
Makna implisit hadis tersebut dalam skala makro, adalah perlu adanya kreativitas, kemauan dan ‎passion yang kuat pada diri setiap Muslim untuk menjadi pionir dalam bidang yang digeluti. ‎Dunia peradaban Islam dewasa ini, sedang nyenyak sekaligus asyik dalam tidur berkepanjangan. ‎Banyak legenda ilmuwan Muslim tercatat dalam sejarah, semisal dalam bidang kedokteran, Ali ‎Ibnu Rabban At-Thabari yang hidup pada zaman Khalifah Al-Mutawakil pada periode ‎kekhalifahan Bani Abbasiyah (Imam Suyuthi-Tarikh Khalifah) dengan murid masyhurnya, ‎penemu ‘small-pox’ (penyakit cacar), air raksa (Hg) atau diagnosa hipertensi, yakni Abu Bakar ‎Muhammad bin Zakariyya Ar-Razi, atau pun Ibnu Sina (Aveciena) yang menjadi pionir tentang ‎pembengkakan pada paru-paru dan mengenali potensi penularan wabah penyakit saluran ‎pernapasan, asma, dan TBC melalui pernapasan dan penyebaran berbagai penyakit melalui udara ‎dan air, nyatanya telah menjadi rujukan dunia kedokteran Barat serta berbagai universitas ‎bergengsi di Eropa. Masih lagi, jika menilik legenda ilmuwan Muslim dalam bidang kimia, Jabir ‎bin Hayyan (Geber) yang terkenal dengan Bapak kimia Muslim pertama, ataupun dalam bidang ‎astronomi dan matematika dengan barisan Fibonacci, yang melekat pada diri seorang ‎Muhammad bin Musa Al-Khawarizmi yang hidup pada zaman Khalifah Abdullah Al-Ma’mun.‎

‎ 
Namun, ilmuwan-ilmuwan Muslim tersebut mungkin hanya sebagai simbol kedigjayaan ‎peradaban Islam yang pernah ada, sedangkan kajian-kajian tentang khazanah keilmuaan mereka ‎tidak lagi menjadi prioritas bagi generasi Muslim milenial. Perlu langkah besar dan lompatan jauh ‎ke depan dari para ilmuwan Muslim di seluruh dunia untuk mengembalikan kejayaan dan ‎mercusuar keilmuan Islam. Meskipun zaman telah berubah, namun upaya dan dorongan kekinian ‎atas penguasaan khazanah ilmu pengetahuan dan teknologi harus terus dikampanyekan. Umat ‎Islam—terutama di Indonesia—seharusnya mulai sadar, saling memaafkan dan melupakan ‎perbedaan tidak prinsipal, untuk maju bersama demi mengejar ketertinggalan dari bangsa lain ‎sembari menyalakan kembali obor kejayaan peradaban Islam yang telah redup.‎

‎ 
Ramadan adalah momentum bagi umat Islam agar me-refresh dalam berkarya dan menjadi best of ‎the best dalam bidang masing-masing individu Muslim. Kekurangan dalam inovasi membuat ‎umat Islam masih terbelakang, out of date tidak up to date, baik dalam bidang pemikiran, ilmu ‎pengetahuan dan bidang teknologi. Jika umat Islam hanya mementingkan cangkang dari pada isi, ‎mementingkan eksistensi tanpa esensi, dan lebih suka menjadi buih di lautan daripada menjadi ‎arus deras yang mampu mendobrak kejumudan pola tingkah dan laku, maka umat Islam hanya ‎akan menjadi penonton sirkus, bukan sebagai pemain sirkus apalagi sebagai pemiliki wahana ‎sirkus kehidupan.‎

‎ 
Sebagai individu Muslim, pertanyaan kritis analitis yang terus mengemuka adalah laku kebajikan ‎apa yang telah kita pioniri dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Apakah kita hanya sebagai ‎follower, pengikut kebaikan atau tampil sebagai pemuka kebaikan, meskipun juga menjadi yang ‎disebut pertama masih terbilang baik walaupun kurang aktif dan inovatif daripada menjadi ‎pengampanye atau pionir laku keburukan.‎

‎ 
Akhirnya, hadits Imam Muslim di atas bak lecut bagi seorang Muslim dan diperkuat Firman ‎Allah dalam Surat Al-Baqarah ayat 261 tentang terus menjadi pionir kebajikan karena di ‎dalamnya terdapat multilevel pahala dan larangan menjadi pionir laku keburukan, jika tidak ingin ‎mendapatkan multilevel pensiun dosa.‎

‎ 
Wallahu ’Alamu Bisshawab ‎

‎ 
K Hadi Susiono Panduk, Kolumnis Muslim; Rais Syuriyah Majelis Wakil Cabang Nahdlatul ‎Ulama Bayah, Lebak; Pengurus Pergunu Kabupaten Lebak; Pengurus MUI Kabupaten Lebak; ‎Lulusan Pondok Pesantren Al-Khoirot, Sabilillah Kudus; dan Universitas Diponegoro Semarang