• logo nu online
Home Nasional Banten Raya Warta Keislaman Tokoh Khutbah Sejarah Opini Pesantren NU Preneur Ramadhan 2023
Kamis, 16 Mei 2024

Opini

Menjadi Pionir Kebajikan

Menjadi Pionir Kebajikan
Ilustrasi Ramadhan. (Foto: NU Online)
Ilustrasi Ramadhan. (Foto: NU Online)

Menjadi pionir laku kebajikan artinya menjadi pengawal, perintis jalan, pelopor serta penganjur ‎kebajikan. Para pionir kebajikan telah digaransi pahala oleh Nabi Muhammad seperti redaksi ‎dalam sebuah hadits yang disitir oleh Imam Muslim dari Jarir RA, “Barang siapa yang memulai ‎mengerjakan perbuatan baik dalam Islam (sehingga menjadi kebiasaan umat), maka dia akan ‎memperoleh pahalanya dan pahala orang yang mencontoh perbuatan itu, tanpa mengurangi pahala ‎mereka sedikit pun. Dan barang siapa yang memulai kebiasaan buruk (sehingga menjadi ‎kebiasaan umat), maka dia akan mendapatkan dosanya, dan dosa orang yang mengikutinya ‎dengan tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun.” (Sahih Muslim: 1017)‎

‎ 
Makna implisit hadis tersebut dalam skala makro, adalah perlu adanya kreativitas, kemauan dan ‎passion yang kuat pada diri setiap Muslim untuk menjadi pionir dalam bidang yang digeluti. ‎Dunia peradaban Islam dewasa ini, sedang nyenyak sekaligus asyik dalam tidur berkepanjangan. ‎Banyak legenda ilmuwan Muslim tercatat dalam sejarah, semisal dalam bidang kedokteran, Ali ‎Ibnu Rabban At-Thabari yang hidup pada zaman Khalifah Al-Mutawakil pada periode ‎kekhalifahan Bani Abbasiyah (Imam Suyuthi-Tarikh Khalifah) dengan murid masyhurnya, ‎penemu ‘small-pox’ (penyakit cacar), air raksa (Hg) atau diagnosa hipertensi, yakni Abu Bakar ‎Muhammad bin Zakariyya Ar-Razi, atau pun Ibnu Sina (Aveciena) yang menjadi pionir tentang ‎pembengkakan pada paru-paru dan mengenali potensi penularan wabah penyakit saluran ‎pernapasan, asma, dan TBC melalui pernapasan dan penyebaran berbagai penyakit melalui udara ‎dan air, nyatanya telah menjadi rujukan dunia kedokteran Barat serta berbagai universitas ‎bergengsi di Eropa. Masih lagi, jika menilik legenda ilmuwan Muslim dalam bidang kimia, Jabir ‎bin Hayyan (Geber) yang terkenal dengan Bapak kimia Muslim pertama, ataupun dalam bidang ‎astronomi dan matematika dengan barisan Fibonacci, yang melekat pada diri seorang ‎Muhammad bin Musa Al-Khawarizmi yang hidup pada zaman Khalifah Abdullah Al-Ma’mun.‎

‎ 
Namun, ilmuwan-ilmuwan Muslim tersebut mungkin hanya sebagai simbol kedigjayaan ‎peradaban Islam yang pernah ada, sedangkan kajian-kajian tentang khazanah keilmuaan mereka ‎tidak lagi menjadi prioritas bagi generasi Muslim milenial. Perlu langkah besar dan lompatan jauh ‎ke depan dari para ilmuwan Muslim di seluruh dunia untuk mengembalikan kejayaan dan ‎mercusuar keilmuan Islam. Meskipun zaman telah berubah, namun upaya dan dorongan kekinian ‎atas penguasaan khazanah ilmu pengetahuan dan teknologi harus terus dikampanyekan. Umat ‎Islam—terutama di Indonesia—seharusnya mulai sadar, saling memaafkan dan melupakan ‎perbedaan tidak prinsipal, untuk maju bersama demi mengejar ketertinggalan dari bangsa lain ‎sembari menyalakan kembali obor kejayaan peradaban Islam yang telah redup.‎

‎ 
Ramadan adalah momentum bagi umat Islam agar me-refresh dalam berkarya dan menjadi best of ‎the best dalam bidang masing-masing individu Muslim. Kekurangan dalam inovasi membuat ‎umat Islam masih terbelakang, out of date tidak up to date, baik dalam bidang pemikiran, ilmu ‎pengetahuan dan bidang teknologi. Jika umat Islam hanya mementingkan cangkang dari pada isi, ‎mementingkan eksistensi tanpa esensi, dan lebih suka menjadi buih di lautan daripada menjadi ‎arus deras yang mampu mendobrak kejumudan pola tingkah dan laku, maka umat Islam hanya ‎akan menjadi penonton sirkus, bukan sebagai pemain sirkus apalagi sebagai pemiliki wahana ‎sirkus kehidupan.‎

‎ 
Sebagai individu Muslim, pertanyaan kritis analitis yang terus mengemuka adalah laku kebajikan ‎apa yang telah kita pioniri dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Apakah kita hanya sebagai ‎follower, pengikut kebaikan atau tampil sebagai pemuka kebaikan, meskipun juga menjadi yang ‎disebut pertama masih terbilang baik walaupun kurang aktif dan inovatif daripada menjadi ‎pengampanye atau pionir laku keburukan.‎

‎ 
Akhirnya, hadits Imam Muslim di atas bak lecut bagi seorang Muslim dan diperkuat Firman ‎Allah dalam Surat Al-Baqarah ayat 261 tentang terus menjadi pionir kebajikan karena di ‎dalamnya terdapat multilevel pahala dan larangan menjadi pionir laku keburukan, jika tidak ingin ‎mendapatkan multilevel pensiun dosa.‎

‎ 
Wallahu ’Alamu Bisshawab ‎

‎ 
K Hadi Susiono Panduk, Kolumnis Muslim; Rais Syuriyah Majelis Wakil Cabang Nahdlatul ‎Ulama Bayah, Lebak; Pengurus Pergunu Kabupaten Lebak; Pengurus MUI Kabupaten Lebak; ‎Lulusan Pondok Pesantren Al-Khoirot, Sabilillah Kudus; dan Universitas Diponegoro Semarang
 


Opini Terbaru