• logo nu online
Home Nasional Banten Raya Warta Keislaman Tokoh Khutbah Sejarah Opini Pesantren NU Preneur Ramadhan 2023
Minggu, 5 Mei 2024

Opini

Politik Kiai ala Kiai Wapres

Politik Kiai ala Kiai Wapres
KH Ma’ruf Amin. (NUO)
KH Ma’ruf Amin. (NUO)

SAAT menghadiri Maulid Nabi Muhammad SAW di Masjid Istiqlal, Jakarta, pada Ahad (15/10/2023), Wakil Presiden RI KH Ma’ruf Amin menyampaikan keprihatinan sembari mengutuk keras serangan militer Israel ke Palestina. Sikap tegas ini tidak saja kapasitasnya sebagai seorang tokoh Muslim, tetapi juga sebagai orang nomor dua di negara dengan mayoritas Muslim. Sikap formal semacam ini tentu lebih mendapat atensi dalam lanskap relasi para pemimpin dunia.



Membincang sosok yang sering disebut Kiai Wapres ini, mendedahkan untuk kesekian kalinya seorang dari dunia pesantren bisa bertungkus lumus dalam lokus kepemerintahan. Uniknya, bila selama ini kalangan santri sudah banyak yang menjadi pejabat publik macam anggota dewan, menteri, bahkan presiden, tetapi seakan sosok Kiai Ma’ruf Amin ini rupanya menggenapi dan melengkapi pada jabatan wakil presiden. Karena itu, sekiranya menarik pula membincang sosok yang dikenal sebagai begawan ekonomi syariah Indonesia.



Wapres yang Kiai

Awal Mei 2023, beliau menegaskan dirinya mencukupkan diri sebagai pejabat negara. Artinya, beliau enggan ikut berpartisipasi lagi semisal mencalonkan diri sebagai wakil presiden. Pernyataan ini menyorongkan dirinya untuk kiranya kembali lagi sebagai “ulama penuh waktu” sebagaimana saat aktif di NU maupun MUI.

“Saya kira cukup lima tahun mengabdi sebagai pejabat negara. Bagaimanapun umur itu harus dihitung.” Begitulah dawuhnya yang berulang tahun ke-80 pada 11 Maret 2023. Lanjutnya: “Saya akan terus berkiprah, tetapi bukan lagi sebagai wakil presiden. Berhenti mengabdi itu ketika saya telah dipanggil Sang Pencipta.” Pernyataan beliau ini pun menjadi teladan, catatan tebal, sekaligus pembelajaran bagaimana kita perlu membincang secara khusus perihal kekhasan seorang wapres yang berlatar belakang tokoh agama.

 


Dalam sejarah republik ini, dimulai dari Bung Hatta hingga Jusuf Kalla, baru kali ini jabatan wakil presiden diduduki seorang kiai (baca: santri). Tentunya akan menarik menelisik sejauh mana peran penting wapres yang seorang tokoh agama dalam tata kelola pemerintahan serta menjalankan roda pembangunan. Apakah latar belakang santri dengan kecakapan ilmu agama bisa memberikan warna tersendiri yang sulit bisa diikuti oleh mereka yang berlatar belakang nonkiai?

 


Dalam teorinya, wapres boleh saja dianggap “ban serep.” Ban yang harus ada karena sewaktu-waktu bisa dibutuhkan. Keberadaannya dalam arus permukaan, memang tidaklah terlalu tampak. Namun, ketika ada suatu hal di mana presiden tidak bisa menjalankan tugas, ban serep amat begitu penting keberadaannya. Namun, dalam tataran ideal dan praktiknya pada kondisi perpolitikan hari ini, wapres bukanlah ban serep. Melainkan seperti sepasang ban mobil: kanan-kiri. Keduanya adalah dwitunggal sebagaimana hal itu pernah kita lihat pada tamsil Soekarno-Hatta.

 


Hingga hampir masa purna-pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin pada 2024, kita melihat sosok wapres adalah sosok pendamping; bukan pesaing. Ada keserasian dan saling mengisi-melengkapi. Tak ada manuver politik. Tak ada semacam kontestasi antarkeduanya. Pun, wapres tak harus bertindak untuk paling aktif sehingga menimbulkan kesan seolah-olah sebagai presiden. Kiai Wapres tahu betul akan fungsinya sebagai wapres. Tak segan-segan beliau berujar: Sesuai arahan Presiden.

 


Wapres seperti relasi istri, yang mem-back-up suami. Pengalaman dan senioritasnya menjadi bagian utama untuk memberikan ide dan saran kepada presiden. Ditambah dengan corak masyarakat Indonesia yang religius, menjadikan peran Kiai Wapres dalam domain dinamika keumatan dan menjaga kerukunan kehidupan keberagamaan, menjadi sangat penting.

 


Di era keterbukaan informasi seperti hari ini, tak sulit bagi publik bisa melihat saksama aneka kegiatan yang dilakukan oleh Kiai Wapres; baik melalui media sosial, pemberitaan media, hingga buku tentang beliau. Mulai dari tugas substansial hingga seremonial. Walhasil, tidaklah benar, persepsi yang berkembang bahwa fungsi wapres dirasa kurang penting.

 


Prawapres Kiai

Pada 11 Maret 2013, buku bertajuk 70 Tahun DR KH Ma’ruf Amin diluncurkan. Ya, buku bertebal 428 halaman itu sebagai penanda 70 tahun usia seorang tokoh besar kelahiran Banten. Tokoh besar yang identik dengan kultur keislaman yang kuat; dan di kemudian hari tidak ada yang menyangka duduk di kursi wakil presiden. Namun, apakah benar tidak ada yang menyangka seorang Kiai Ma’ruf akan didapuk sebagai RI-2?



Bila mengkhatamkan buku tersebut, sangkaan di atas sekiranya kurang tepat. Mengapa? Buku ini dominan atau 90 persen menyorot kiprah beliau dari para kolega dan rekan sejawat. Kiai Ma’ruf tidak sekadar kiai pada umumnya yang setidak-tidaknya bertungkus lumus di pesantren. Meskipun juga mendirikan pesantren di tanah kelahiran, akan tetapi Kiai Ma’ruf seakan-akan menjadikan masyarakat alias umat di luar pesantren tersebut, sebagai sebuah pesantren itu sendiri. Dengan kata lain, umat adalah cerminan pesantren dalam skala luas. Tidak saja aktif dalam kepengurusan struktural di PBNU, Kiai Ma’ruf meluaskan kiprah di Majelis Ulama Indonesia (MUI). Malahan di MUI, khalayak luas lebih mengenalnya.

Kiai berpembawaan tenang dalam melangkah dan bertutur ini, juga pernah aktif di jagat perpolitikan nasional. Ikut bergabung dan atau ikut mendirikan partai, menjadi dalil bahwa Kiai Ma’ruf tidak lantas menutup mata akan “dunia luar”.



Pada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, beliau dipercaya sebagai anggota Wantimpres pada 10 April 2007. Bagi seorang Marzuki Alie dalam buku tersebut, Kiai Ma’ruf merupakan ulama sekaligus politisi. Sememangnya tak banyak orang menyangka bahwa Kiai Ma’ruf pernah aktif sebagai ketua Fraksi PPP dan Pimpinan Komisi A DPRD DKI Jakarta. Kemudian menjabat ketua Komisi VI DPR-RI, anggota MPR RI, dan ketua Dewan Syura PKB. Dengan begitu, Kiai Ma’ruf mengerti betul akan teori sekaligus ejawantah ilmu siyasah semenjak era Orde Baru.



Marzuki Alie yang pernah menjabat ketua DPR ini mengingat betul perihal adagium reposisi ulama ala Kiai Ma’ruf. Hal ini berangkat dari peran ulama yang terus menurun dalam perpolitikan nasional akibat gempuran sekularisasi. Maka sebagai wadah tanggung jawab ulama dalam kehidupan berbangsa-bernegara, kiranya perlu derap ulama melakukan gerakan melalui wadah partai politik --yang Islami, moderat, dan nasionalis. Dan, hal ini telah dilakukan olehnya. Intisari yang Marzuki Alie ingin sampaikan, bahwa kiai Ma’ruf mengajarkan akan tugas ulama tidak saja melulu pada pelayanan umat. Namun, meluaskan pada urusan-urusan khalayak lainnya sebagai satu bagian integral urusan berbangsa-bernegara.

 


Hal serupa diungkapkan Muhaimin Iskandar. Baginya, Kiai Ma’ruf adalah ulama tradisional bervisi modern. Bahkan bisa dibilang representasi ulama zaman modern/hari ini dengan anasir yang berperan menyadarkan umat untuk tidak gagap menghadapi perkembangan sosial dan tata dunia yang baru; tanpa harus menisbikan doktrin keagamaan yang prinsipil.



Keaktifan di luar kegiatan pesantren, menjadikan Kiai Ma’ruf banyak berjumpa dengan pelbagai tokoh lintas agama dan pelbagai kalangan. Tampak ada penonjolan karakter moderat-inklusif sekaligus kukuh-tegas pada prinsip. Bagi Asrorun Ni’am, Kiai Ma’ruf amat terbuka terhadap kritik sepanjang bernilai argumentatif. Karena itu pula, Kiai Ma’ruf dikenal dengan sikap kehatian-hatian alias ihtiyath kala berijtihad.

 


Bagi Cholil Nafis dalam testimoninya di buku itu pula, Kiai Ma’ruf telah berperan besar pada transformasi perjalanan bahtsul masail NU. Pada Munas di Lampung, oleh Kiai Ma’ruf, merupakan masa tajdid di NU: yang pada awalnya hanya menggunakan qauli atau ilhaqi, kini menggunakan qauli wa manhaji. Sehingga tak ada kata mauquf dalam bahtsul masail. Kiai Ma’ruf berhasil membuat terobosan pada babakan metodologi.

 


Lama mengabdi di MUI dan menempati posisi strategis, yakni Komisi Fatwa, Kiai Ma’ruf dikenal bak “penjaga gawang”. Sebuah posisi yang amat sentral dalam menjaga keberlangsungan kehidupan beragama dan berbangsa di Indonesia yang moderat. Namun, jauh dari itu, peran Kiai Ma’ruf di MUI juga terpatri dalam derap tumbuh ekonomi syariah. Pada 2012, kepakarannya di bidang ekonomi syariah terapresiasi dengan penganugerahan gelar doctor honoris causa dari UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.



Oleh Yuslam Fauzi, Kiai Ma’ruf tidak saja mumpuni urusan fiqih klasik, tetapi piawai pula dalam mengikuti perkembangan dan kebutuhan akan sistem keuangan modern. Lebih lanjut, Yuslam juga menyematkan Kiai Ma’ruf sebagai pionir keuangan syariah keindonesiaan. Sementara menurut Harisman, Kiai Ma’ruf merupakan pelopor terbentuknya “rumah hukum” bagi operasional perbankan syariah dengan mendorong terbentuknya Undang-Undang Perbankan Syariah. Hingga kemudian berbuah manis dengan disahkannya Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.

 


Kiai Wapres

Pada 11 Maret 2023, sepuluh tahun setelah peluncuran buku 70 Tahun KH. Ma’ruf Amin, diluncurkanlah buku bertajuk 80 Tahun Prof KH Ma’ruf Amin. Apakah buku ini sebagai bentuk laporan pada publik guna menyanggah anggapan bahwa wakil presiden tampak pasif ketimbang presiden atau menteri? Jika merampungkan bacaan, kita bisa beroleh pesan implisit, bahwa tidak ada tujuan macam itu. Mengapa? Lantaran bila kita obyektif berpikir dan memahami tugas dan fungsi wapres, kita menjadi tahu di mana batasan dan gerak pada diri wapres yang kerap distigmakan “ban serep”.



Ambil contoh ketika pandemi Covid-19 yang menimpa seluruh dunia. Tak terkecuali Indonesia. Buku tersebut menjabarkan gamblang dan runtut apa saja yang telah dilakukan Kiai Wapres. Tidak sedikit pandangan negatif yang terwedar di media sosial bahwa Kiai Wapres dianggap tidak banyak bertindak dalam penanganan wabah. Dan, anggapan ini senyatanya bertolak belakang dari apa yang telah didokumentasikan di buku itu.



Tentu kita masih ingat aneka pernyataan sumir tentang Covid-19 dan vaksinasi dari sejumlah kalangan dengan menggunakan tendensi dan dalih keagamaan. Satu sisi, masyarakat Indonesia masyhur akan semangat religiositas. Sisi lain, kita dihadapkan pada bagaimana agama hendaknya bisa turut menjadi pemecah masalah atas pagebluk. Nah, di sinilah kemudian peran seorang Kiai Wapres justru terlihat kentara. Wawasan keagamaan dengan topangan kedudukannya tersebut, senyatanya bisa meredam aneka disinformasi seputar wabah. Nama besar dan sosok beliau yang bisa diterima semua ormas keagamaan, menjadi bagian penting upaya menyukseskan program vaksinasi dan fatwa-fatwa seputar Covid-19. Selain itu, Kiai Wapres juga menjadi role model vaksinasi lansia.



Kiai Wapres memiliki pendekatan khas penanganan pandemi. Kotokohan dan identitas sebagai ulama besar menjadi titik pijak untuk mengelaborasi kekuatan umat agar bergotong- royong mendukung pelbagai macam seruan pemerintah. Utamanya, melalui para ulama dan ormas keagamaan sebagai mitra. Inilah yang kemudian oleh Presiden Joko Widodo turut memberikan apresiasi khusus kepada kalangan ulama dan tokoh-tokoh ormas keagamaan pada pidatonya di Mukernas dan Munas Alim Ulama PKB, 8 April 2022.



Dengan kata lain, ada pesan implisit. Yakni, peran besar yang telah ditunaikan oleh Kiai Wapres sebagai pintu masuk, pelopor, dan komandan dalam wilayah keumatan. Begitu pula, kontribusi Kiai Wapres juga mendapat atensi dari Kompas dalam liputan tentang evaluasi 500 hari penanganan pandemi. Jadi, selain sebagai pelopor vaksinasi lansia, mendekati kalangan ulama untuk vaknisasi, serta menjaga umat dari hoaks dan disinformasi seputar pandemi; Kiai Wapres rupanya juga mengkoordinasi pada kalangan aparat dan pejabat antar lembaga. Tak ketinggalan dan sudah barang tentu, Kiai Wapres juga menggunakan pendekatan batiniah.

 


Selain urusan pandemi, kontribusi nyata Kiai Wapres juga bisa dilihat pada pengembangan ekonomi syariah --sebagai spesialisasinya, penanganan tengkes (stunting), kemiskinan ekstrem, memperkuat UMKM, menggerakkkan Mal Pelayanan Publik, dan orientasi kesejahteraan masyarakat Papua. Pembaca memafhumi bahwa banyak hal telah dilakukan Kiai Wapres dengan tidak sekadar gunting pita. Sebagai mitra presiden, Kiai Wapres juga melontarkan banyak ide sebagai bagian sinergi tata kelola pemerintahan.



Menariknya, kita melihat tidak ada matahari kembar. Meskipun secara usia dan pengalaman, Kiai Wapres lebih senior. Namun, hal itu termaknai sebagai upaya untuk saling melengkapi. Dalam banyak kesempatan dan tentunya sebagai prinsip kinerja seorang wapres, beliau tidak segan-segan memperjelas diktum sesuai arahan presiden. Semisal, ketika hasrat Presiden Jokowi hendak menyederhanakan aturan birokrasi dengan digitalisasi, Kiai Wapres senyatanya sudah mengangkat ide transformasi digital dengan menggulirkan ide “tol langit” pada kampanye Pilpres 2019.

 


Di buku tersebut, tol langit adalah kemudahan akses masyarakat dalam beroleh pelayanan publik dari aparatur birokrasi sebagaimana kemudahan masyarakat dalam akses pelayanan perbankan dan jasa keuangan digital melalui platform fintech, misalnya. Hanya bermodalkan ponsel pintar itulah yang hendak diinginkan Kiai Wapres. Karena itu, titik tekan beliau adalah dengan mendorong pemda membangun Mal Pelayanan Publik (MPP) dengan satu tempat khusus dan terus melakukan peningkatan melalui pemanfaatan kemajuan pelayanan online berbasis IT.

 

Politik Kiai

Bagaimana ulama yang selama ini dicitrakan hanya mumpuni urusan keagamaan dan dunia pesantren dengan lingkup terbatas, toh bisa menjadi salah satu petinggi di republik ini. Bagaimana seorang kiai senyatanya cakap mengurai dan memberikan solusi masalah bangsa serta lihai berdiplomasi dengan beragam kalangan. Dalam tataran kepemimpinan nasional, peran dan langkah ulama tidak perlu diragukan.

Konsep wasathiyyah dalam keberagamaan masyarakat Indonesia merupakan teladan dan kaca benggala dari seorang Kiai Ma’ruf Amin untuk menangkis paparan paham radikal dan liberalisme. Dari sang Kiai Wapres, pembaca sekalian akan banyak menemukan pelajaran bahwa berpolitik bukanlah barang tabu. Ranah politik dan kekuasaan mestinya dimasuki para kiai-santri. Inilah yang dinamakan Politik Kiai. Yakni, terjun berpolitik demi penguatan dakwah, pendidikan, ekonomi, dan segala hal yang menjadi kemaslahatan umat maupun rakyat.

 


Politik Kiai ala Kiai Wapres menyorongkan agar ulama bisa turut serta untuk lebih aktif berpolitik praktis. Dengan kata lain, selain kudu ada yang bertungkus lumus di pesantren, juga hendaknya ada yang duduk di kursi pemerintahan. Kiai Wapres telah menempatkan secara pas takaran berpijak bagaimana beliau menempatkan diri sebagai selayaknya pendamping presiden; menjadi wapres yang semestinya apa itu wapres.

 

*Muhammad Itsbatun Najih, Alumnus Madrasah Ibtidaul Falah Kudus


Opini Terbaru