Pesantren Pondok Pesantren La Tahzan Citeras, Lebak

Ingin Menyebarkan Ilmu, sebagai Perintis Butuh Tekad yang Kuat

Rabu, 25 Desember 2024 | 10:12 WIB

Ingin Menyebarkan Ilmu, sebagai Perintis Butuh Tekad yang Kuat

Tambak sebagian bangunan di area Pondok Pesantren La Tahzan Citeras, Lebak. (Foto: FB Ponpes La Tahzan)

JARUM jam menunjukkan pukul 11.55 WIB. Siang itu, NU Online Banten (NUOB) memasuki gerbang Pondok Pesantren La Tahzan Citeras. Tepatnya di Kampung Kalapa Tilu, Citeras, Rangkasbitung, Lebak, Banten. Dari jalan raya Jl Prof Dr Ir Sutami Km 07, masuk sekitar 200 meter. Jalannya tak beraspal alias tanah. Sebagian tanah jalan keras, sisanya lembek. Dari pusat kota Rangkasbitung waktu tempuh sekitar 25 menit.



Praktis tidak ada aktivitas yang menonjol. Maklum, sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA) santri putra dan putri libur setelah penerimaan rapot. Hanya ada satu dua santri yang terlihat melintas di halaman pesantren yang saat ini total seluasnya 1 hektare lebih tersebut.


’’Sebagian besar santri pulang ke rumahnya masing-masing,’’ ujar Pengasuh Pondok Pesantren La Tahzan Citeras KH Asep Saefullah yang menerima NUOB dengan hangat di rumahnya yang berada dalam kompleks pesantren, Selasa (24/12/2024).



Dari pantauan NUOB, ada beberapa titik bangunan di area pesantren yang berdiri sejak 2014 tersebut. Bangunan sekolah, memanjang dari pintu gerbang. Selain itu, ada bangunan workshop bantuan dari salah satu kementerian. Di dekat pintu gerbang juga ada bangunan tempat shalat. Ada juga bangunan asrama santri putri di samping rumah pengasuh, yakni KH Asep Saefullah, yang juga ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Lebak. Satu lagi, bangunan yang titiknya di belakang rumah pengasuh adalah asrama santri putra.’’Saat ini ada 200 santri lebih. Mereka memang sekaligus sekolah formal,’’ terang kiai berkacamata yang mengenakan kopiyah putih dipadu dengan sarung bermotif dan baju warna biru toska lengan panjang itu.



Sembari mempersilakan NUOB menikmati jamuan siang yang telah disediakan; dari kopi, kopi susu, air mineral, aneka cemilan, hingga mi rebus telur, pria yang menyelesaikan S1 pada 2004 dan S2 pada 2008 itu menambahkan, pilihan mendirikan pesantren plus sekolah formal bukan tanpa alasan.’’Ini yang laku dan dibutuhkan saat ini. Awal membuka pesantren dan sekolah, hanya ada 7 siswa. Dari warga sekitar sini. Pertama membuka SMP. Setelah tiga tahun, membuka SMA jurusan IPS. Saat ini yang banyak dari luar sini. Ada yang dari Tangerang Selatan, jumlahnya belasan. Yang terjauh dari Mandailing Natal, Sumatera Utara,’’ ucapnya sembari sesekali membuka kopiah putihnya.


Dia mengaku tak mudah merintis pesantren. Butuh tekad yang kuat dan tentu modal. Plus dengan sekolah umum yang membutuhkan effort lebih seperti mengurus perizinan rutin dalam periode tertentu.



Sebenarnya, di tempat ayah Kiai Asep, sudah ada pesantren salaf. Tidak ada sekolahnya. Seiring perkembangan setelah bapaknya meninggal dan ketika itu Kiai Asep masih menempuh pendidikan, pesantren tersebut tidak ada yang mengurus intens.’’Ya, mati. Tinggal majelis taklimnya sampai sekarang. Sebulan sekali saya ke sana untuk mengajar,’’ imbuh pria yang pernah nyantri di sejumlah pesantren di Lebak dan Serang serta Pesantren Warudoyong Sukabumi itu.


Dengan pertimbangan kebutuhan lokasi yang lebih luas juga, Kiai Asep memutuskan tidak meneruskan pesantren ayahnya. Pindah ke Citeras. Di tengah areal persawahan mulai dirintis pesantren yang diberi nama La Tahzan. ’’Nama La Tahzan terinspirasi penggalan ayat di dalam Al-Qur'an Surat At-Taubah ayat 40,’’ jelas kiai yang pendamping hidupnya berasal dari Serang tersebut.


Kiai Asep yang pernah menikah dengan anak pengasuh pesantren saat menimba ilmu itu menerangkan, waktu sekolah hanya pagi hingga pukul 12.00 WIB. Setelah itu istirahat. Setelah Asar, para santri sorogan kitab. ’’Selepas Subuh dan Magrib ngaji Al-Qur’an. Sedangkan pada malam hari, ada ngaji model kelas. Ada 6 kelas, tingkat. Mereka belajar, tauhid, shorof, nahwu, fiqih, dan lain-lain. Untuk bahasa santri, sehari bahasa Arab, sehari bahasa Inggris, dan daerah. Sedangkan saat ngaji kitab, pakai bahasa Jawa, lalu dijelaskan dengan bahasa Indonesia,’’ terangnya.


Sembari terkadang memegang handphone untuk koordinasi dengan lembaga NU seperti Lembaga Ta’lif wan Nasyr PCNU Lebak, Kiai Asep juga menjelaskan pilihan mendirikan pesantren.’’Ingin menyebarkan Islam, berdakwah melalui pendidikan dan berbagi ilmu yang dimiliki yang telah diberikan Allah agar bermaanfaat dan berkah. Jadi ini merintis, bukan pewaris,’’ pungkasnya dalam obrolan sekitar 1 jam khas Nahdliyin yang pastinya diselingi banyak joke, guyonan, dan canda tawa itu. (Singgih Aji Purnomo, Mutho)

 


Editor: M Izzul Mutho Masyhadi