Jakarta, NU Online Banten
Pengasuh Pondok Pesantren Putra Anak Al-Fatimiyah Al-Munawwir, Jogjakarta, Khumaero menyampaikan, terdapat beberapa faktor perundungan yang kerap terjadi di pesantren. Pertama, latar belakang santri berasal dari daerah yang berbeda-beda menjadi faktor internal dan hal yang mendasar terjadinya kekerasan. Perbedaan latar belakang seperti nada bicara membuat santri terkadang kesulitan dalam beradaptasi dengan lingkungan.
“Misal orang Jakarta dan Jawa Timur ini kan memiliki nada bicara yang keras, sedangkan Jawa Tengah memiliki nada bicara yang halus. Itu baru Jawa belum dari Sumatera dan Kalimantan. Alhasil perbedaan nada bicara dan bahasa ini dapat terjadinya perundungan,” ujar Khumaero kepada NU Online, Senin (23/9/2024).
Kedua, terjadinya senioritas. Seperti kakak kelas yang mendapat kepercayaan dari kiai membuat dirinya menonjol dan merasa adik-adik kelasnya ini mudah untuk dimanfaatkan dan disuruh-suruh. Ketika kejadian tersebut dilakukan secara terus menerus dan adik kelasnya diam karena takut untuk melaporkan berakhir mudahnya kasus kekerasan perundungan terjadi. “Membuat kakak kelasnya menjadi senang dan akhir-akhirnya kasus bullying ini terjadi,” ujarnya.
Ketiga, pesantren yang tidak mampu beradaptasi dengan lingkungan sekitar akan kerap dianggap sombong. Hal tersebut terjadi karena pesantren yang terlalu tertutup dan tidak berbaur dengan masyarakat. “Adanya kekerasan di lingkungan pesantren juga dapat tercipta dari faktor eksternal, berupa tidak mau dan tidak beradaptasinya pesantren dengan lingkungan sekitar membuat pandangan masyarakat bahwa pesantren tersebut sombong,” ujar Khumaero.
Khumaero yang juga menjabat sebagai kepala sekolah SMK Maarif Al-Munawwir, Jogjakarta ini juga menegaskan kepada santri untuk jangan takut melaporkan jika terjadi perundungan di lingkungan pesantren. Guru bimbingan konseling (BK) dapat menjadi orang pertama yang menerima pengaduan kekerasan di lingkungan pesantren. “Guru BK menjadi tempat keluh kesah dan permasalahan santri, baik yang dialami sesama temannya maupun terhadap gurunya,” ujarnya.
Tak hanya itu. Sekolah perlu membentuk tim atau satgas antikekerasan di lingkungan pesantren yang diketahui dan persetujuan oleh pengasuh, kepala sekolah, dan perwakilan santri. Hal tersebut merujuk pada keputusan Nomor 1262 Tahun 2024 tentang Regulasi untuk Pengasuhan yang Ramah Anak di Pesantren. Yakni, pesantren harus memiliki layanan atau tempat pengaduan bagi santri yang terkena kasus kekerasan.
Sementara itu Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Alissa Qotrunnada Wahid menyampaikan bahwa belum mampu mengelola akan dirinya sendiri menjadi salah satu penyebab santri menjadi korban perundungan. “Korban kekerasan kerap terjadi kepada santri karena belum mampunya santri mengelola dirinya sendiri, ditambah malangnya pendidikan saat ini belum mampu menumbuhkan akan pengendalian diri santri,” ujar Alissa, dilansir NU Online.
Ia menegaskan bahwa pesantren harus terbuka dan peduli penolakan tindak kekerasan dalam bentuk apa pun serta membangun kebiasaan dimulai dari keseharian yang benar. Hal itu dilakukan agar santri merasa nyaman dan aman selama belajar di lingkungan pesantren. (Rikhul Jannah)
Editor: Izzul Mutho
Terpopuler
1
Ini Kiat Cegah Bahaya Inses, Pendidikan Seksual Usia Dini dan Nilai Agama Jadi Kunci
2
Ini Salapan Khidmat NU Kabupaten Tangerang untuk Hadapi Tantangan Zaman
3
Solusi Palestina-Israel, Butuh Ketegasan dan Konsolidasi Internasional
4
PCNU Kota Serang Siap Gelar PD-PKPNU Angkatan II
5
KH Imam Abda-Yasin Pimpin MWCNU Ciptim Lagi, Pondok Aren Ganti Nakhoda
6
Kiat Cegah Pernikahan Inses: Pemerintah Perlu Bertindak Tegas dan Edukatif
Terkini
Lihat Semua