SUATU ketika, KH Ali Mustafa Yaqub (1952-2016), Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta, ditanya oleh seorang jamaah. Bagaimana hukum seseorang yang berpuasa tetapi tetap masih suka berbohong. Apakah puasanya diterima? Dalam kenyataannya, pertanyaan ini sering juga menggelanyuti kita. Tidak sedikit dari kita yang berpuasa, tetapi masih belum terhindar dari berdusta. Idealnya, puasa dapat mencegah seseorang untuk berbohong.
Menjawab pertanyaan di atas, dalam bukunya Fatwa Imam Besar Masjid Istiqlal (2007), KH Ali Mustafa Yaqub memberikan pemaparan. Terkait orang yang berbohong saat berpuasa, terdapat tiga pendapat ulama.
Pertama, ulama mengatakan, ia berdosa karena kebohongannya. Namun puasanya tetap sah dan berpahala.
Kedua, puasanya tidak sah dan wajib men-qadla di hari lain.
Ketiga, puasanya sah dan tidak harus mengqadla puasa. Tetapi, ia tidak mendapat pahala. Kebohongan menyebabkan hilangnya pahala puasa.
Argumentasi kelompok pertama, menegaskan bahwa amal ibadah yang berpahala jika dikerjakan, maka pahalanya tidak akan hilang karena perbuatan dosa. Sedangkan kelompok kedua dan ketiga berdalil pada hadits riwayat Imam al-Bukhari, Imam Ahmad, Imam al-Tirmidzi, dan Imam Abu dawud yang bersumber dari Sayyidina Hurairah (59 H). Nabi Muhammad saw bersabda:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ (رواه البخاري)
Artinya: ’’Dari Sayyidina Abi Hurairah, Rasulullah saw bersabda: “Barang siapa tidak meninggalkan perkataan dusta dan perilaku bohong, maka Allah tidak memerlukan sedikit pun dari puasa, amaliah yang meninggalkan makan dan minum.’’ (HR Al-Bukhari)
Selain itu, juga terdapat hadits riwayat al-Hakim (405 H) dalam Kitab al-Mustadrak. Hadits ini diriwayatkan juga dari Abu Hurairah, Nabi Muhammad saw bersabda:
لَيْسَ الصِّيَامُ مِنْ الْأَكْلِ وَالشُّرْبِ فَقَطْ الصِّيَامُ مِنْ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ
Artinya: "Puasa bukan sekadar menahan diri dari makan dan minum saja, puasa adalah menahan diri dari perkataan sia-sia dan keji.’’ (HR Al-Hakim)
Dari tiga pendapat ini, Kiai Ali Mustafa Yaqub lebih cenderung memilih pendapat yang ketiga. Yakni puasanya tetap sah, meskipun ia tidak memperoleh pahalanya. Pendapat kedua adalah peringatan (warning) bagi orang berpuasa. Peringatan keras untuk meninggalkan perkataan dusta dan perbuatan batil. Karena puasa yang benar tentu akan berdampak pada moralitas. Berpengaruh pada perilaku orang yang menunaikannya. Yaitu jujur, tidak berbohong. Baik dalam perkataan maupun dalam perbuatan.
Pada dasarnya, semua ibadah dihukumi sah, bila telah memenuhi syarat dan rukun. Apabila amal ibadah telah sah, maka pelakunya diganjar pahala. Kewajibannya telah tertunaikan. Dalam kaca mata fiqih, ketika seseorang berpuasa telah memenuhi syarat dan rukunya, semisal telah baligh dan menjaga diri dari makan dan minum, maka puasanya sah. Tidak wajib mengulanginya.
Namun di sisi lain, puasa yang telah memenuhi syarat dan rukun tersebut selayaknya disandingkan dengan perilaku yang baik. Disertai dengan ibadah-ibadah lain, semisal memberbanyak membaca Al-Qur’an dan lainnya. Bukan sebaliknya, melakukan perbuatan yang dilarang agama. Semisal berbohong, menggunjing, marah tanpa alasan, menyakiti hati orang lain, dan lain sebagainya.
Bulan puasa memang sering disebut bulan penataran diri. Sebab, selama sebulan penuh, kita diperintahkan meninggalkan hal-hal yang diharamkan, bahkan hal-hal yang dibolehkan, semisal makan dan minum. Pada siang dan malam harinya, kita dianjurkan memperbanyak ibadah dan kegiatan yang bermanfaat lainnya. Jika ini dilakukan terus menerus selama sebulan, tentu akan membawa perubahan signifikan bagi kesehatan jiwa, pengendalian emosi, terapi perangai buruk, serta peningkatan rasa solidaritas terhadap sesama.
Semoga selain bisa menahan lapar dan dahaga, kita juga dapat menjahui ucapan dan perilaku bohong. Dengan harapan, selain puasa kita sah di mata fiqih juga sah untuk mendapatkan pahala. Bukan dihilangkan pahalanya oleh kebohongan.
Kiai Muhammad Hanifuddin, Ketua LBM PCNU Tangsel dan Dosen Ma’had Darus-Sunnah Jakarta