SUATU hari, KH Abdul Hamid Pasuruan menerima tamu, seorang pria yang kebetulan memakai gelang yang terbuat dari emas. Padahal, sebagaimana yang telah termaktub dalam beberapa kitab fiqih, haram hukumnya seorang lelaki memakai perhiasan, baik cincin maupun gelang, yang terbuat dari emas.
Namun, untuk mengingatkan sang tamu, Mbah Hamid—sapaan KH Abdul Hamid-- tidak serta merta menyuruh orang tersebut mencopot, apalagi memaksa. Dengan lemah lembut, meminta gelang emas tersebut dari tamu. "Pak gelange kulo suwun njih (Pak, gelangnya saya minta ya)," kata Kiai Abdul Hamid.
Karena yang meminta adalah seorang tokoh ulama yang sangat disegani, dengan gembira sang tamu pun memberikan gelang tersebut. "Monggo Pak Kiai," sahut sang tamu. Setelah diambil Kiai Hamid, kemudian memberikan kembali gelang tersebut kepada si tamu, sambil berkata. "Pak, niki gelange kulo hadiahaken kagem istri njenengan (Pak, ini gelangnya saya hadiahkan untuk istri Anda,” tutur Kiai Hamid dikutip dari NU Online.
Dengan sedikit kebingungan karena pemberian yang diberikan, justru diberikan kembali, sang tamu pun bertanya. Pertanyaan tersebut dijawab Kiai Hamid dengan penjelasan bahwa seorang lelaki dilarang untuk memakai gelang emas. Setelah mendengarkan penjelasan tersebut, sang tamu pun mau menerima penjelasan tersebut dan tidak memakai gelang emasnya dengan senang hati dan tanpa ada rasa dipaksa. Begitulah akhlak seorang ulama, melarang tanpa harus menyakiti yang bersangkutan.
Pembaca NU Online Banten yang dimuliakan Allah. Bagaimana hukumnya pria memakai suasa (mas campuran)?
Muktamar Nahdlatul Ulama keempat di Semarang, Jawa Tengah, yang dilaksanakan 14 Rabius Tsani 1348/19 September 1929, seperti dikutip dari Juz Awal Ahkamul Fuqaha fi Muqarrarat Mu’tamirat Nahdlatil Ulama, Kumpulan Masalah Diniyah dalam Muktamar Nahdlatul Ulama PBNU, Penerbit CV Toha Putra Semarang, menjawab sebagai berikut:
Dalam hal ini, para ulama berselisih pendapat. Ada yang mengatakan, boleh, dan ada yang mengatakan, haram. Dan Muktamar memilih pendapat yang mengharamkan.
Rujukan: Kitab Bujairimi ‘ala Fathil Wahab, Kitab Fathul Wahab, Kitab As-Syarwani, Kitab Tuhfah, Kitab Nihayah.
اختلف العلماء فيه والمؤتمر اختار القول بالحرمة . وفى البجيرمي عل فتح الوهاب فى باب الاوانى ما نصه: ومن ثم قالوالوصد ئ اناء الذهب بحيث ستر الصداء جميع ظاهره وباطنه حل الاستعمال لفوات الخيلاء. زي نعم يجري فيه التفصيل الآتي فى المموه بنحو نحاس شرح م ر. وفى فتح الوهاب (ويحل نحو نحاس موه بنقد) اى بذهب او فضتة (لاعكسه)بان موه ذهب او فضة بنحو نحاس فلا يحل. وفى الشروانى يحرم على الرجل استعمال الذهب مالم يصدأ اه وعبارة شرح م ر ومر ان الذهب اذا حال لونه وذهب حسنه يلتحق بالذهب اذا صدئ على ماقاله البنديجى كما نقله فى الخادمفلا زكات فيه الاظهر وفيه نظر اه سم قال ع ش قول م ر وفيه نظر معتمد وجهه انه ذهب ذاتا وهيئة بخلاف ما صدئ فان صداه يمنع صفة الذهب عنه ومثله ما فالتحفة والنهاية اه .
Wallahu a’lam bisshawab
Terpopuler
1
Soal Pertambangan di Raja Ampat Ini Kata Ekonom Unusia
2
Ketika Alumni Pesantren Krapyak Sinergi Ekonomi
3
Khutbah Jumat: Dzikir Menenteramkan Jiwa
4
Konsensus Bangsa Butuh Diaktualisasikan dengan Realitas Masa Kini
5
Ketua PWNU Banten: Kader Harus Mandiri dalam Berkhidmat
6
Penulisan Sejarah Ulang yang Dicap Resmi Abaikan Pluralitas dan Lahirkan Otoritarianisme
Terkini
Lihat Semua