• logo nu online
Home Nasional Banten Raya Warta Keislaman Tokoh Khutbah Sejarah Opini Pesantren NU Preneur Ramadhan 2023
Minggu, 28 April 2024

Nasional

Ini Oleh-Oleh Muktamar Pemikiran NU II

Ini Oleh-Oleh Muktamar Pemikiran NU II
Ketua PBNU KH Ulil Abshar Abdalla (empat dari kanan) di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta Timur, (3/12/2023). (NUO)
Ketua PBNU KH Ulil Abshar Abdalla (empat dari kanan) di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta Timur, (3/12/2023). (NUO)

Jakarta, NU Online Banten

Muktamar Pemikiran Nahdlatul Ulama (NU) II 2023 yang dilaksanakan Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pada 1-3 Desember 2023, menghasil sejumlah poin. ’’Perlunya membangun kembali masyarakat terbuka, adil, setara dengan landasan tradisi dan nilai-nilai moral yang kokoh,’’ ujar Ketua PBNU KH Ulil Abshar Abdalla di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta Timur, Ahad (3/12/2023).



Rekomendasi dalam kegiatan bertema imagining the future society itu ada sebelas poin. Meliputi, muktamar ini tidak punya pretensi politik untuk terlibat dalam politik dukung-mendukung dalam konteks Pemilu 2024. Gejala dukung-mendukung yang terlalu menguasai percakapan publik menjelang Pemilu 2024 saat ini justru kurang sehat. ’’Perhatian publik terhadap platform yang dibawa oleh masing-masing kandidat cenderung minimal,’’ ujarnya.



Lalu, muktamar ini dengan sengaja disebut sebagai muktamar pemikiran karena sadar bahwa aspek pemikiran inilah yang kurang mendapatkan porsi cukup dalam percakapan publik saat ini. ’’Percakapan publik hari-hari ini kerap dilakukan secara instan, emosional, cepat tetapi sekaligus dangkal di ruang-ruang media sosial,’’ tambahnya.



Kemudian, perlunya terus mengusahakan adanya ruang percakapan yang lebih mendalam dan serius tentang pelbagai masalah yang dihadapi oleh bangsa ini, di tengah-tengah pendangkalan komunikasi dan pemiskinan ide karena munculnya komunikasi baru melalui media sosial.



Juga perlunya membawa kembali tema tentang “masyarakat” ke tengah-tengah percakapan publik, melihat adanya tantangan-tantangan, bahkan ancaman terhadap lembaga masyarakat itu sendiri, termasuk lembaga keluarga.



Selanjutnya, bagaimana bentuk “masyarakat” ini di masa depan tidak bisa dirumuskan dalam bentuk yang terlalu “rigid” sehingga bisa merosot menjadi sebuah ideologi yang malah berbahaya. Bentuk masyarakat ini harus menjadi tema terbuka yang dipercakapkan oleh semua pihak. Dan bentuk masyarakat itu pun, jika akhirnya berhasil dirumuskan, harus merupakan “bentuk yang terbuka”. ’’Katakan: open society, bukan tertutup yang meng-eksklusi yang lain,’’ tambahnya.

 


Selain itu, meskipun demikian, haruslah ada nilai-nilai yang mendasari bentuk masyarakat apapun yang akan dibayangkan di masa depan. Lima nilai yang dirumuskan dalam “mabadi’ khaira ummah” (kejujuran, amanah dan memenuhi janji, keadilan, kerja sama, dan istikamah/konsistensi) harus menjadi dasar dari bentuk masyarakat apapun yang dibayangkan di masa depan.



Di samping itu, apa pun bentuk masyarakat yang akan dirumuskan di masa depan itu, kedudukan utama haruslah diberikan kepada manusia. Masyarakat yang dibayangkan di masa depan adalah masyarakat manusia, dan karena itu manusia haruslah menempati posisi sentral (human centered society). Segala upaya dan tendensi yang berujuang kepada pemerosotan derajat manusia (dehumanisasi) haruslah ditolak.

 


Poin selanjutnya, meskipun ini adalah masyarakat yang berpusat pada manusia, ini tidak berarti bahawa aspek-aspek ekologis harus diabaikan. Masyarakat manusia jelas tidak bisa tegak jika tidak ada habitat, termasuk habitat fisik dan alam, yang sehat. ’’Karena itu spiritualitas ekologis adalah dimensi penting dalam konstruksi masyarakat di masa depan,’’ katanya.

 


Kemudian, perkembangan-perkembangan yang begitu cepat dalam bidang kecerdasan buatan perlu terus dicermati. Perkembangan-perkembangan ini tidak perlu dicurigai, apalagi ditakuti. Karena adanya unsur ilahiah dalam diri manusia, dan karena kemuliaan derajat yang diberikan oleh Allah swt kepadanya, manusia akan bisa mengarahkan perkembangan dalam kecerdasan buatan untuk kemanfaatan.



’’Meskipun ada kapasitas dalam diri manusia untuk melakukan kejahatan, tetapi kapasitan kebaikan jelas lebih dominan pada dirinya. Karena itu, perkembangan kecerdasan buatan pada akhirnya adalah salah satu perkembangan saja dalam jenis alat-alat hasil rekayasa manusia untuk mengatasi sejumlah masalah yang dihadapinya. Pada awal dan akhirnya, manusia lah yang menduduki posisi utama,’’ ungkapnya.



Dua poin terakhir adalah, selain berbasiskan mabadi’ khaira ummah yang sudah pernah dirumuskan oleh Kiai Mahfudz Shiddiq dahulu, apa pun bentuk dan bayangan tentang masyarakat di masa depan, haruslah masyarakat yang dilandaskan pada sejumlah visi ini. ’’Keterbukaan, keadilan, penghormatan kepada keragaman, akhlak mulia, pentingnya keluarga dan pengasuhan anak, pentingnya pendidikan anak dalam keluarga sebagai basis awal penanaman nilai-nilai mulia, serta kesetaraan yang tidak bertentangan dengan masqashid al-syariah atau visi universal agama,’’ terangnya.

 


Terakhir, sikap kami terhadap modernitas, modernisasi, dan perkembangan sosial adalah bukan menolak secara total (rejeksionis) dan bukan pula menyerah kalah kepada perkembangan itu. ’’Kami hadir secara aktif untuk merumuskan sikap terhadap perkembangan itu, dan kami hendak berubah dengan “syarat-syarat” yang kami kehendaki dan tentukan sendiri,’’ pungkasnya. (Singgih Aji Purnomo)


Nasional Terbaru