• logo nu online
Home Nasional Banten Raya Warta Keislaman Tokoh Khutbah Sejarah Opini Pesantren NU Preneur Ramadhan 2023
Senin, 29 April 2024

Opini

Tiga Kritisisme Gus Yahya dalam Muktamar Pemikiran NU II

Tiga Kritisisme Gus Yahya dalam Muktamar Pemikiran NU II
Ketum PBNU KH Yahya Cholil Staquf. (Foto: NUO/Suwitno)
Ketum PBNU KH Yahya Cholil Staquf. (Foto: NUO/Suwitno)

MUKTAMAR ini adalah muktamar pemikiran yang kurang pemikiran. Ada sisi epistemik yang masih bermasalah. Demikian tegas Ketua Umum (Ketum) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf yang akrab disapa Gus Yahya. Tepatnya di bagian awal pidato kebudaayan dalam pembukaan Muktamar Pemikiran NU ke-2 di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta, 1 Desember 2023. Meskipun dengan nada guyonan, pernyataan ini banyak menyimpan keseriusan. Terlebih untuk memikirkan masa depan. Sesuai dengan tema yang dipilih; Imagining the Future Society.



Dalam penjelasan ketum PBNU, muktamar ini tidak melibatkan pembicara dari kiai-kiai pesantren. Padahal, NU itu adalah hasil olah pikir mendalam para kiai-kiai pesantren. Membayangkan masa depan yang ideal, akan cacat secara epistemik, tanpa kehadiran kiai-kiai pesantren. Gus Yahya lantas menyebut tiga nama yang tidak dihadirkan; KH. Afifuddin Muhajir, Gus Baha, dan Gus Iqdam. Kebanyakan nama-nama narasumber hanya para akademia. Kelas baru yang ada di tubuh NU. Kelas yang sedang menikmati euforia. Tepat di titik ini, kita dapat menangkap pandangan kritis Gus Yahya yang pertama.
 


Kritisisme kedua adalah penegasan Gus Yahya, jangan sampai Muktamar Pemikiran NU menjadi ajang kampanye. Hal ini beliau tekankan dari awal, mengingat ada nama narasumber yang menjadi salah satu tim sukses Pilpres 2024. Tanpa tedeng aling-aling, Gus Yahya menegaskan komitmennya untuk menjaga Khithah NU. Pengurus PBNU yang menjadi tim pemenangan pemilu harus dicutikan. NU dan berbagai kegiatannya harus dijaga netralitasnya. Tidak menguntungkan satu pasangan. Sembari merugikan pasangan satu lainnya. NU adalah rumah besar bagi semuanya.

 


Namun, di balik kritik tersebut, Gus Yahya mengapresiasi penyelenggaraan Muktamar Pemikiran NU yang digawangi oleh Lakpesdam PBNU ini. Panitia telah bekerja keras. Dalam waktu yang relatif terbatas, Muktamar Pemikiran yang pernah diadakan lebih dari 20 tahun lalu dapat diadakan kembali. Harapannya, wacana publik dan media sosial tidak hanya dipenuhi hiruk-pikuk Pilpres. Terdapat hal-hal subtantif lain yang perlu juga dipikirkan bersama. Termasuk bagaimana kita menghadapi masa depan. 



Ketiga, dalam pandangan Gus Yahya, masa depan kita cenderung mengalami dehumanisasi global. Di mana manusia hanya dipandang sebagai angka-angka. Proses industrialisasi yang mementingkan efisiensi dan keuntungan, berujung pada penempatan manusia hanya sebatas angka statistik. Selain itu, arus digitalisasi juga membawa residu. Manusia hanya dipandang sebagai akun-akun. Tidak lebih. Karena itu, manusia kehilangan empati untuk memandang manusia sebagai manusia.

Contoh yang disebut Gus Yahya adalah tragedi kemanusiaan di Gaza. Baik yang pro-Palestina maupun Israel, seakan-akan memandang ratusan bahkan ribuan korban manusia hanya sebatas besar kecilnya angka. Tidak ada empati dan simpati lebih dalam. Padahal, baik warga Palestina ataupun Israel adalah manusia. Perlu sama-sama mendapat hak hidup, hak keamanan, hak ekonomi, dan lain sebagainya. Karena itu, penyelesaiannya harus dilakukan secara mendasar. Mengedepankan rasa kemanusiaan universal.

 


Lantas, sejauh mana Muktamar Pemikiran NU II ini menyumbangkan solusi untuk mengerem kecenderungan dehumanisasi global ini? Sejarah akan menjawabnya.

 


Muhammad Hanifuddin, Dosen Ma’had Darus-Sunnah Jakarta dan Ketua LBM PCNU Tangerang Selatan


Opini Terbaru