• logo nu online
Home Nasional Banten Raya Warta Keislaman Tokoh Khutbah Sejarah Opini Pesantren NU Preneur Ramadhan 2023
Senin, 20 Mei 2024

Opini

Ijtihad Kontemporer Seputar Politik Kebangsaan

Ijtihad Kontemporer Seputar Politik Kebangsaan
Ilustrasi. (NUO)
Ilustrasi. (NUO)

WACANA ijtihad yang santer di kalangan dunia Islam tidak lagi menyempit hanya persoalan ibadah, munakahat dan muamalat, tetapi mulai bergeser pada siyasah atau politik. Ini seiring dengan pengaruh dari faktor eksternal dan pergolakan internal. Belakangan ijtihad politik khusus di Indonesia, lebih sering digunakan untuk pemenuhan kepentingan politik kekuasaan, lewat ijtima atau multaqa ulama yang digelar sebagai wadah, untuk penentuan sikap mengusung pemimpin yang didukung.

 


Ijtihad tidak lagi bersifat personal melainkan kolektif berdasarkan kepentingan, bukan lagi sebagai respons atas persoalan keumatan. Tidak lagi adu hujjah dan adu dalil dalam menjawab peliknya permasalahan. Ijtihad kekinian lebih cenderung reaksinoer bukan responsif.



Menurut pendapat ulama Ali Hasballah dalam buku Metode Istinbat Hukum Islam Kontemporer, untuk ruang lingkup ijtihad yaitu permasalahan yang tidak diatur secara tegas dalam nash Al-Qur'an maupun Sunnah Nabi saw dan belum ada kesepakatan ulama tentangnya.

 


Definisi Ijtihad

Beberapa ulama telah mendefinisikan terma ijtihad secara luas dan tidak sempit arti. Salah satunya definisi dari Zamakhsyari bin Hasballah Thaib dalam bukunya Risalah Ushul Fiqih bahwa ijtihad secara bahasa artinya bersungguh-sungguh dalam menggunakan tenaga baik fisik maupun pikiran. Ijtihad biasa dipakai pada perkara yang mengandung kesulitan. Tidak dikatakan berijtihad jika hanya menyangkut hal ringan.

 


Imam as-Suyuthi, salah seorang Imam Mazhab Syafii yang masyhur namanya ketika menulis kitab al-Asybah wa al-Nadhair, kitab yang berisi tentang rumusan dan asas-asas hukum Islam yang sistematis dan komprehensif. As-Suyuthi menjelaskan tentang ijtihad.

 


 

وقد كملت عندي ألات الإجتهاد بحمد الله تعالى ولو شئت أن أكتب فى كل مسألة تصنيفا بأقوالها  وأدلتها النقلية و القياسية ومداركها ونقوضها واجوبتها  والموازنة بين المذاهب فيها لقدرته على ذلك من فضل الله



Artinya: ’’Dengan memuji Allah, sungguh telah benar benar sempurna perangkat ijtihad pada diriku. Seandainya saya mengarang satu karangan dalam setiap masalah lengkap dengan dalil-dalilnya baik naqli maupun qiyasi, cara memahaminya, kritik kritik dan jawabannya, dan juga membandingkan pendapat pendapat ulama berbagai madzhab dalam masalah itu, niscaya saya mampu melakukannya, sekali lagi dengan karunia Allah.’’

 


Imam al-Jurjani dalam kitabnya al-Ta'rifat, mendefinisikan ijtihad sebagai berikut:



 

الاجتهاد هو بذل المجهود في طلب المقصود من جهة الاستدلال

 

Artinya: ’’…Melakukan upaya yang sungguh-sungguh di dalam mencapai maksud tujuan dengan cara penggalian dalil.’’

 


Sementara Hujjatul Islam Imam Abu Hamid al-Ghazali menjelaskan tentang ijtihad seperti yang tertuang di dalam kitabnya al-Mustashfa min ‘Ilm al-Ushul, yaitu.

 


 

بذل المجتهد وسعة فى طلب العلم بأحكام الشريعة

 

Artinya: ’’Mengerahkan segala kemampuan mujtahid akan keluasan ilmunya dalam upaya mengetahui hukum-hukum syariat.’’

 


Ijtihad Sosial dan Politik NU

Dalam perspektif Imam al-Mawardi dan Imam al-Ghazali, bahwa kekuasaan ditegakkan bukan untuk meraih bungkusnya atau kerangka melainkan isi, yaitu kemaslahatan dunia dan agama. Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumuddin menyampaikan:

 

والمصلحة إما أن تتعلق بالدين أو بالدنيا فبالعلماء حراسة الدين و بالاجناد حراسة الدنيا والدين والملك توأمان فلا يستغني أحدهما عن الآخر



Artinya: ’’Kemaslahatan itu terkait agama dan dunia, ulama memelihara kemaslahatan agama, sedangkan tentara memelihara kemaslahatan dunia, agama dan kekuasaan ibarat dua saudara yang tidak bisa dipisahkan.’’

 


Mengacu pada gagasan dan pemikiran al-Ghozali dan al-Mawardi itulah pada Muktamar NU ke-11 di Banjarmasin, Nahdlatul Ulama telah memutuskan bahwa Nusantara sebagai Darul Islam, yang berdefinisi bahwa Nusantara adalah wilayah yang dihuni umat Islam, meski Nusantara masih di bawah kekuasaan Kolonial Belanda tetap disebut darul Islam, karena masih berlangsungnya syiar Islam, dan keberlangsungan ibadah yang tidak diganggu.

 


Keputusan Muktamar NU ke-11 tentang Nusantara sebagai Darul Islam tidaklah juga menyalahi apa yang oleh Pemerintah Kolonial Belanda saat itu yang membentuk Priesterraad atau Lembaga Peradilan Islam dan keputusan peradilan dalam menyelesaikan perkara perkara umat Islam berdasarkan hukum agama Islam (godsdientige wetten).



Ada sebagian rujukan keputusan Muktamar NU tersebut dianalisa berdasarkan fatwa hukum di dalam kitab Bughyatu al-Mustarsyidin karya Sayyid Abdurrahman al-Hadrami, yaitu:

 

كل محل قدر مسلم ساكن به على الامتناع من الحربيين في زمن من الأزمان يصير دار الإسلام تجري علبه أحكامه في ذلك الزمان و ما بعده

 

Artinya: ’’Setiap tempat di mana penduduk Muslimnya mampu bertahan dari serangan agresor dari satu masa ke masa, maka statusnya adalah darul Islam.’’



Dalam perjalanannya di kemudian, NU pula yang menyetujui dasar negara Pancasila berdasarkan ijtihad ulama NU, karena pemikiran ulama NU lebih melihat isi bukan kulit atau kerangka semata. Bahkan sepakat Negara Kesatuan Republik Indonesia didirikan berdasarkan kesepakatan-kesepakatan atau konsensus nasional, dengan landasan Pancasila dan UUD 45.



Nahdlatul Ulama telah memastikan untuk menyatukan diri dalam perjuangan nasional bangsa Indonesia, hingga tercapai kemerdekaan dan selalu aktif dalam pembangunan bangsa menuju masyarakat adil dan makmur yang diridhai Allah swt.


Nahdlatul Ulama pada Muktamar 1984 telah memutuskan khittahnya, bahwa secara organisatoris tidak lagi sebagai partai politik, dan tidak terikat dengan organisasi manapun dalam maupun luar negeri, dan Nahdlatul Ulama memastikan untuk menetapkan Pancasila sebagai asas tunggal sebagai prinsip utama berbangsa dan bernegara.

 


Dalam ranah kemasyarakatan, Nahdlatul Ulama mengambil sikap untuk konsisten menjaga teguh prinsip persaudaraan (ukhuwah) dan sikap untuk toleransi (tasamuh) terhadap anak bangsa yang berbeda keyakinan agama.

 


Sikap tawasut yang dicetuskan oleh Nahdlatul Ulama merupakan refleksi ijtihadi ulama NU dalam menyikapi perbedaan-perbedaan. Dengan tawasut atau moderat itulah tidak condong ke kanan dan tidak condong ke kiri, bersikap menengahi dan mengambil sikap wasit, tegak lurus menuju jalan tengah yaitu kebenaran.



Sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia yang menaungi banyak umat, Nahdlatul Ulama memiliki kepentingan untuk senantiasa menjaga keutuhan dan kebersamaan. Sikap-sikap NU selama ini, jika diperhatikan dengan seksama, selalu bertujuan untuk menjaga kondusivitas dan stabilitas ulama. Banyak kalangan menilai hal ini sebagai sesuatu yang pragmatis dan apologetik. Namun jika ditelaah lebih lanjut, argumen dan alasan yang dikemukakan oleh NU selalu berakar dari tradisi keilmuan yang kuat.



Penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal negara, misalnya. Hal ini diputuskan melalui Munas 1983 dan dipatenkan dalam Muktamar 1984 – keduanya dilaksanakan di Situbondo. Menurut kesaksian KH Mustofa Bisri, dinamika pembahasan di sana sangat mengalir dan diputuskan secara sangat singkat. ‘Penerimaan dan pengamalan Pancasila,’ bunyi hasil Munas 1983 Situbondo itu, ‘merupakan perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syariat agamanya.’ Maka NU bukan sekadar menerima Pancasila, namun juga mewajibkan mengamalkan Pancasila sebagai wujud pengamalan syariat.



Hingga yang terkini, pada Munas 2019 di Banjar, NU memutuskan bahwa kata “kafir” dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dihapuskan dan tidak digunakan. Alasannya: definisi teknis kafir dalam turats (misal harby, dzimmy, dll) tidak dikenal dan tidak ada yang cocok dengan nonmuslim di negara bangsa, khususnya Indonesia.



Hamdan Suhaemi, Wakil Ketua PW GP Ansor Banten; Ketua PW Rijalul Ansor Banten; Idaroh Wustho Jatman Banten


Opini Terbaru