• logo nu online
Home Nasional Banten Raya Warta Keislaman Tokoh Khutbah Sejarah Opini Pesantren NU Preneur Ramadhan 2023
Sabtu, 4 Mei 2024

Opini

Pemahaman Hadits ala Sufi dan Relevansinya terhadap Manusia Modern

Pemahaman Hadits ala Sufi dan Relevansinya terhadap Manusia Modern
Ilustrasi sufi. (Pinterest)
Ilustrasi sufi. (Pinterest)

BERABAD-abad yang lalu, telah banyak disajikan kitab-kitab hadits atau bahkan lengkap dengan syarahnya sebagai alat bantu dalam memahami hadits nabawi. Tak dapat dikesampingkan bahwa kebermanfaatannya begitu nyata dan niscaya. Akan tetapi, pernahkan bertanya apakah usaha-usaha semacam itu akan dirasakan secara menyeluruh dan dapat diaktualisasikan dengan baik oleh masyarakat umum dalam rentang waktu dan zaman yang berbeda?



Produk-produk ulama mengenai teori keabsahan hadits, serta penggalian hukum-hukum fiqih yang tersimpan dalam hadits, tentu saja tidak dapat dinikmati oleh masyarakat luas. Aktivitas semacam itu pada dasarnya baru bisa teraktualisasikan secara matang kala sufi mulai mengabdikan hidupnya untuk mengungkap makna-makna tersembunyi dalam hadits.

 


Mungkin sebagian bertanya-tanya, kenapa harus sufi? Hal ini dikarenakan, hanya ulama sufi-lah yang bersunggung-sungguh mengamalkan atau membentuk pola hidupnya sedemikian mirip dengan Rasulullah saw. Sehingga Rasulullah tampak nyata dalam aktivitasnya sehari-hari. Bahkan tak jarang seorang sufi yang telah sampai pada derajat yang tinggi atau maqam musyahadah, dapat berjumpa dengan Rasulullah baik dalam mimpi dan terjaga, serta mereka dapat menyaksikan hal-hal gaib secara langsung layaknya apa yang telah dialami oleh para nabi dan rasul (Barkah, 2014).


Pemahaman ala sufi ini juga dapat diaplikasikan sebagai sarana alternatif untuk mengedukasi masyarakat modern yang semakin kehilangan jati dirinya sebagai makhluk yang mengemban tanggung jawab ruh ilahi sebagai hadiah terbaik dari Tuhan. Globalisasi yang kerap kali mengusung kemajuan teknologi mungkin dapat diasumsikan sebagai akar (root) yang membuat manusia mengalami disorientasi terhadap pendekatan-pendekatan spiritual. Berbagai macam pandangan manusia modern yang berpusat pada naturalisme, materialisme, dan positivisme, semakin membuat manusia modern melihat dunia secara sekuler. Sehingga yang terpenting bagi mereka adalah duniawi (Kartanegara, 2006).



Sentuhan Hangat antara Sufi dan Hadits

Bagi para sufi, hadits bukan hanya sekedar teks mati yang kering akan makna dan kebermanfaatan. Ia merupakan lacak kenabian yang senantiasa setia mengiringi setiap langkah umat Islam, khususnya dalam lingkup spiritual. Oleh karena itu, telah menjadi sebuah keniscayaan bagi sufi untuk memahami hadits langsung dari sumbernya dan menyelami kandungan maknanya secara mendalam (eisegesis).

 


Sentuhan ini terbilang begitu hangat karena pada dasarnya, sufi memahami hadits menggunakan pendekatan batin (esoterik) sehingga dapat dikatakan bahwa dirinya telah menyatu dengan teks-teks keagamaan (al-nushus al-diniyyah) tersebut. Walhasil tidak ada lagi tirai pembatas di antara mereka. Pepatah mengatakan “tidak ada lagi aku dan kamu, yang ada hanyalah kita” (Bahri, 2011).


Perangkat yang digunakan untuk menangkap informasi itu pun tidak lagi bergantung pada indra luar, seperti mata, telinga dan lain-lain, karena sang sufi benar-benar sadar bahwa indra tersebut selalu diselimuti berbagai macam kekurangan. Oleh karenanya sang sufi lebih memilih menggunakan indra dalam berupa hati (qalb) untuk menangkap pesan-pesan ketuhanan atau kenabian secara langsung (Syah, 2012).

 


Hati Sebagai Epitemologi Sufi

Sebagian orang mungkin merasa pesimistis dan tidak yakin terhadap apa yang telah diperoleh oleh sufi. Mereka menganggap bahwa hal yang bersifat metafisik cenderung mengada-ada dan tumbuh dari fantasi belaka. Untuk menjawab problem semacam ini, ada kalanya flashback ke masa lalu untuk merefleksikan beberapa kejadian yang dialami oleh sufi sekaliber Al-Gazali guna meyakinkan bahwa betapa tumpulnya indra luar (dzahir) dan betapa tajamnya indra dalam (batin).

 


Al-Gazali adalah salah satu ulama yang pernah menaruh kepercayaan besar kepada indra. Akan tetapi, ketika ia melihat bayang-bayang rumahnya, ia sadar betul bahwa indra telah menipu dan mempermainkannya. Bagaimana mungkin bayangan itu bergeser ke arah yang berlawanan, sedangkan mata tidak bisa memdeteksinya hanya karena alasan pergerakannya yang begitu lambat. Atau ketika ia melihat bintang-bintang yang begitu kecil di langit, padahal faktanya sangat besar menurut pakar astronomi. Maka sejak saat itulah Al-Gazali mulai menaruh perhatian penuh kepada hati, ia sangat yakin bahwa hati yang bersih laksana kaca transparan yang siap menerima cahaya ilahi yang berisikan pesan-pesan ketuhanan dan dapat menyaksikan segala realitas dengan langsung dan gamblang, sehingga tak ada lagi keraguan di dalamnya (Kartanegara, 2006).


 

Syarah Hadits ala Sufi tentang Larangan Marah

Rasulullah saw bersabda, ’’Janganlah kamu marah wahai Mu’awiyyah bin Haidah, karena sesunggunya marah itu bisa merusak keimanan sebagaimana cuka  merusak madu.”

 


Seorang sufi bernama al-Hakim al-Tirmizi, mensyarah hadits ini dengan cukup unik kala ia menyerupakan fenomena psikologi itu dengan benda-benda fisik sehingga sangat mudah dipahami. Baginya, iman adalah manis lagi bersih sedangkan marah adalah pahit lagi kotor. Marah juga dapat diibaratkan sebagai api, sehingga orang yang marah seperti sedang menyalakan api dalam hatinya sendiri. Hal itu dapat dicirikan dengan membengkak atau membesarnya urat leher (intifakhi audajihi) dan merahnya mata (humratu ‘ainahu) ketika ia sedang marah, laksana kobaran api yang membesar dan percikan apinya yang semakin menyala (At-Tirmidzi, 2010).

 


Lalu, mengapa marah dapat merusak iman? Karena pada dasarnya iman juga bertempat di dalam hati. Orang yang marah laksana membakar hati beserta isi-isinya, sehingga sering kali kita jumpai mereka yang marah tak dapat melihat kebenaran yang sesunggunya karena hatinya telah terbakar oleh api kesombongan. Karena pada dasarnya, seseorang tidak mungkin marah kepada orang lain yang ia yakini lebih tua atau lebih mulia darinya. Sehingga dapat dipahami bahwa orang yang marah sedang merasa dirinya lebih tua dan lebih mulia dari orang lain. Sebuah hadits mengatakan “tidaklah masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat sedikit saja kesombongan.”

 


Pemahaman semacam ini, setidaknya dapat menjadi bahan edukasi untuk manusia modern yang kerap kali merasakan depresi, bingung, cemas, dan marah. Semua itu adalah fenomena psikologi yang akar penyakitnya terdapat dalam hati yang kotor dan jauh dari nilai-nilai spiritual. Dengan kembali membangung nilai-nilai kesucian, sudah pasti manusia akan merasakan ketengan yang hakiki. “Sesungguhnya, di dalam badan ini terdapat sekerat daging. Jika ia baik, maka baiklah seluruh badan, dan jika ia rusak, maka rusaklah seluruh badan. Sesungguhnya, ia adalah hati.” (HR Bukhari dan Muslim). Wallahu ‘alam bis shawab.


Randi Alipullah, Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


Opini Terbaru