• logo nu online
Home Nasional Banten Raya Warta Keislaman Tokoh Khutbah Sejarah Opini Pesantren NU Preneur Ramadhan 2023
Sabtu, 27 April 2024

Opini

Pencucian Uang dalam Sudut Pandang Al-Qur’an

Pencucian Uang dalam Sudut Pandang Al-Qur’an
Ilutrasi pencucian uang. (Foto: Freepik)
Ilutrasi pencucian uang. (Foto: Freepik)

NARASI money laundering (pencucian uang) sering terdengar. Konsep pencucian uang dalam Islam tidak dapat dijelaskan secara tekstual dalam Al-Qur’an maupun hadits. Namun kandungan isi Al-Qur’an memuat prinsip-prinsip yang selalu berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Prinsip yang didapat dari kandungan isi Al-Qur’an inilah yang kemudian dapat memberikan status hukum terhadap munculnya kasus-kasus yang baru termasuk juga kasus pencucian uang (Sutedi, 2007). Kasus pencucian uang ini diatur dalam Undang-Undang No 8 Tahun 2010.



Secara konseptual, pencucian uang merupakan metode untuk menyembunyikan, memindahkan, dan menggunakan hasil dari suatu tindakan pidana, kegiatan organisasi kejahatan, kejahatan ekonomi, perdagangan narkotika, dan kegiatan-kegiatan lainnya yang merupakan aktivitas kejahatan. Praktik pencucian uang pada intinya melibatkan aset (pendapatan/kekayaan) yang disamarkan sehingga dapat dipergunakan tanpa terdeteksi bahwa aset tersebut berasal dari kegiatan ilegal. Melalui pencucian uang, pendapatan atau kekayaan yang berasal dari kegiatan yang melawan hukum diubah menjadi aset keuangan yang seolah-olah berasal dari sumber yang sah/legal (Ibarahim, 2004).



Secara umum proses pencucian uang dapat dibagi menjadi tiga tahap (Adyan, 2004). Pertama deployment; upaya menyalurkan dana hasil kejahatan ke dalam sistem keuangan, khususnya sistem perbankan. Proses ini melibatkan perpindahan fisik uang tunai, baik dengan menyelundupkannya dari satu negara ke negara lain atau dengan menggabungkan uang tunai yang diperoleh melalui kejahatan dengan hasil dari kegiatan yang sah.



Kedua, transfer (layering); upaya pengalihan aset (uang kotor) hasil kegiatan kriminal yang  berhasil menembus sistem keuangan melalui penempatan. Proses ini merupakan teknik memisahkan hasil kejahatan dari sumbernya dengan mengalihkan dana dari titipan ke beberapa rekening lain, yang melibatkan serangkaian transaksi yang rumit. Layering juga dapat dilakukan dalam transaksi jaringan internasional oleh perusahaan yang sah atau perusahaan yang memiliki nama dan badan hukum, tetapi tidak memiliki aktivitas.



Ketiga, penggunaan aset (integration); upaya penggunaan aset kriminal. Dalam praktiknya, dana dan aset lazim dimasukkan ke dalam sistem keuangan melalui penempatan atau stratifikasi sehingga tampak sebagai aset halal (uang bersih) untuk membiayai kegiatan usaha halal atau kegiatan kriminal.

 


Bagaimana Al-Qur’an memberikan basis nilai dalam menyikapi kasus pencucian uang di satu sisi. Di sisi yang lain, penulis juga akan mendiskusikan terkait sikap kelembagaan negara agar dapat bertanggung jawab sebagaimana basis nilai yang sudah diterangkan dalam Al-Qur’an. Pembahasan basis nilai yang terkandung dalam Al-Qur’an terkait masalah dalam topik ini bersifat penting dan perlu mengingat maraknya kasus dugaan pencucian uang di Indonesia.



Pencucian Uang di Dalam Al-Qur’an

Dalam konteks pencucian uang, Islam sangat memperhatikan adanya kejelasan dalam perolehan harta benda seseorang. Di dalam Al-Qur’an secara detail memang tidak pernah menyebutkan larangan perbuatan pencucian uang atau aktivitas ekonomi secara detail. Melainkan memberikan nilai, petunjuk dan aturan dalam melakukan aktivitas ekonomi. Seperti, keadilan (Surat an-Nisa’/4:58, al-Maidah/6:152, an-Nahl/16:76, asy-Syura/42:15), sikap tidak berlebih-lebihan (Surat al-A’raf/7:31), dan kejujuran.



Di dalam Surat al-Baqarah/2:188 dijelaskan bahwa merekayasa harta kekayaan yang bukan miliknya dengan cara yang batil adalah perbuatan yang tidak dibenarkan dalam Al-Qur’an.


 

وَلَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوْا بِهَآ اِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوْا فَرِيْقًا مِّنْ اَمْوَالِ النَّاسِ بِالْاِثْمِ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ



’’Janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada para hakim dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.’’ (QS al-Baqarah 188)



Menurut Quraish Shihab, cendekiawan ilmu Al-Qur’an, kata بَيْنَكُمْ mengisyaratkan bahwa interaksi dalam perolehan harta terjadi antara dua pihak. Dia mengibaratkan harta berada di tengah-tengah, dan kedua pihak berada pada posisi ujung yang berhadapan. Keuntungan atau kerugian dari interaksi itu tidak boleh ditarik terlalu jauh oleh masing-masing pihak sehingga salah satu pihak merugi, sedang pihak yang lain mendapat keuntungan. Perolehan yang tidak seimbang itu batil, apa pun yang batil meskipun atas dasar kesepakatan bersama, tetap tidak benar, tidak diperbolehkan oleh undang-undang, dan tidak sesuai dengan petunjuk Tuhan (Shihab, 2011).



Hal yang sering dilakukan masyarakat adalah menyogok. Di sini Quraish Shihab mengibaratkan dengan perbuatan menurunkan timba ke dalam sumur untuk memeroleh air yang tidak diketahui siapa pun, apalagi orang yang berada jauh dari timba. Di sini penyogok menurunkan keinginannya kepada hakim atau yang berwenang memutuskan sesuatu untuk memeroleh keuntungan atau mengambil sesuatu secara tidak sah dengan cara sembunyi-sembunyi.



Kata “batil” di dalam tafsir tematik Kementerian Agama RI mengandung makna banyak hal. Seperti, ketidakjujuran, keserakahan, kebohongan dalam beraktivitas ekonomi, kecurangan, dan wadah bagi setiap bentuk penyimpangan (Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2012). Sanksi dari pelanggaran kode etik aktivitas ekonomi juga disinggung oleh Al-Qur’an. Di antaranya adalah Surat an-Nisa’/4:29-30.



Di sini dapat kita lihat bahwa Al-Qur’an menegaskan bahwa segala sesuatu yang batil dalam memeroleh rezeki itu dilarang dan Al-Qur’an juga tidak menolelir praktik-praktik ekonomi yang melanggar prinsip-prinsip di dalam Al-Qur’an. Pencucian uang ini termasuk salah satu kejahatan ekonomi di era kontemporer.



يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ اِلَّآ اَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِّنْكُمْ ۗ وَلَا تَقْتُلُوْٓا اَنْفُسَكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيْمًا وَمَنْ يَّفْعَلْ ذٰلِكَ عُدْوَانًا وَّظُلْمًا فَسَوْفَ نُصْلِيْهِ نَارًا ۗوَكَانَ ذٰلِكَ عَلَى اللّٰهِ يَسِيْرًا



’’Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan cara yang batil (tidak benar), kecuali berupa perniagaan atas dasar suka sama suka di antara kamu. Janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. Siapa yang berbuat demikian dengan cara melanggar aturan dan berbuat dzalim kelak Kami masukkan dia ke dalam neraka. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.’’ (QS an-Nisa’: 29-30)

 


Kata اَمْوَالَكُمْ yang dimaksud adalah harta yang beredar dalam masyarakat. Menurut Quraish Shihab harta siapa pun sebenarnya merupakan “milik” bersama, dalam arti ia harus beredar dan menghasilkan manfaat bersama. Redaksi ini juga mengundang kerja sama dan tidak saling merugikan karena, “Bila mitraku rugi, aku juga akan merugi.” Bukankah harta tersebut adalah milik bersama? Oleh karena itu, dalam berbisnis hendaknya harta diletakkan di tengah. Inilah yang diisyaratkan oleh ayat di atas dengan kata بيْنَكُمْ (di antara kamu). Hubungan timbal balik yang harmonis, peraturan dan syariat yang mengikat, serta sanksi yang menanti, merupakan tiga hal yang selalu berkaitan dengan bisnis (Shihab, 2021).



Ayat 30 menegaskan bahwa barang siapa berbuat demikian, yakni melakukan perniagaan yang didasari kebatilan atau membunuh dengan melakukan agresi yang sangat besar serta aniaya, maka Allah kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. Itu adalah ketentuan dari Allah.

 


Sikap Lembaga Penegakan Hukum

Proses penegakan hukum atas masalah pencucian ini berjalin dan berkelindan dengan sikap aparat atau bahkan lembaga penegakan hukum. Sebab, aparat dan lembaga penegakan hukum berada di garda paling depan untuk memberikan efek jera terhadap pelaku kasus hukum, seperti halnya kasus pencucian uang. Dengan begitu, hukum sebagai sistem aturan dan norma di dalam masyarakat akan berjalan sebagaimana mestinya.



Salah satu sikap dan upaya yang perlu dilakukan oleh aparat penegakan hukum untuk mengantisipasi dan menindak tegas kasus ketidakadilan seperti pencucian uang adalah dengan mendorong pengesahan Undang-undang (UU) Perampasan Aset. UU Perampasan Aset tersebut diyakini dapat memberikan efek jera bagi para pelaku dalam kasus pencucian uang. Selain itu, UU Perampasan Aset juga akan mengatur secara rinci terkait pencucian uang yang menjadi satu dari berbagai praktik kasus korupsi yang semakin canggih.

 


Ilya Syafa’atun Ni’mah, Mahasiswa Pascasarjana Universitas PTIQ Jakarta Program Pendidikan Kader Ulama Perempuan

 


Daftar Pustaka

Adyan, A. R. (2004). Politik Kriminal dalam Penanggulangan Terjadinya Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia.

Adyan, Antory Royan (2004). Politik Kriminal dalam Penanggul Jurnal Hukum Litigasi, Fakultas Hukum Unpas.

Ibarahim, Y. (2004). Kaidah dan Asas Hukum Perbankan dalam Mengantisipasi Tindak Pidana Pencucian Uang Melalui Transaksi Keuangan Khususnya Perbankan. Jurnal Hukum Litigasi. Fakulats Hukum Unpas.

Lajnah Pentashihan Al-Qur'an. (2012). Tafsir Al-Qur'an Tematik: Al-Qur'an dan Isu-Isu Kontemporer 1. Jakarta: Lajnah Pentashihan Al-Qur'an.

Shihab, M. Q. (2021). Tafsir al-Misbah. Jakarta: Lentera Hati.

Sutedi, A. (2007). Hukum Perbankan: Suatu Tinjauan Pencucian Uang, Merger, Likuidasi, dan Kepailitan. Jakarta: Sinar Grafika


Opini Terbaru