Opini

Riding the Wave: Podcast sebagai Media Pembelajaran

Rabu, 2 Oktober 2024 | 22:10 WIB

Riding the Wave: Podcast sebagai Media Pembelajaran

Ilustrasi podcast. (Foto: Freepik)

BANYAK artikel yang menyinggung bagaimana podcast terlahir. Di antaranya  bahwa istilah podcast kali pertama muncul pada 2004 saat kolumnis dan jurnalis BBC Ben Hammerslay menulis artikel untuk The Guardian. Paling tidak ada dua akronim podcast yang bisa penulis sampaikan: pay on demand and broadcast yang kemudian berkembang menjadi  ipod broadcast.



Ringkasnya, podcast adalah rekaman berbasis audio yang membahas suatu topik tertentu yang kemudian diunggah oleh podcaster ke internet dan bisa diakses oleh siapa pun melalui platform-platform yang ada saat ini. Lalu apa kaitannya dengan pembelajaran? Tentu sangat terkait.


Menurut Association for Educational Communication and Technology (AECT), media sebagai segala bentuk dan saluran yang dipergunakan orang untuk menyalurkan pesan/informasi. Maka di mana pesan dan informasi edukatif tersebut disampaikan, di situlah media pembelajaran mengambil peran. Salah satunya adalah podcast.




Selama ini secara teoritis, media pembelajaran selalu dikaitkan dengan ruangan belajar di kelas dan sekolah. Kita berangapan bahwa media pembelajaran adalah komputer, infocus, gambar, dan lain sebagainya. Padahal media pembelajaran lebih luas dari itu. Dalam bahasa Arab, media pembelajaran  disebut dengan wasailul idhoh (media penjelas) saat penyampaian materi pembelajaran. Lalu apakah belajar dan pengembangan diri hanya berpusat di dalam kelas dan sekolah? Tentu tidak.




Berkembangnya teknologi dan keterkoneksian membuka batas ruang dan waktu. Artinya media pembelajaran dan pengembangan diri bisa diakses tidak hanya dari dalam kelas, tetapi di mana pun dan kapan pun. Saat ini perantara pembelajaran tidak terbatas pada ruang kelas, ada media sosial, search engine, aplikasi dan lain sebagainya yang bisa menjadi alternatif pilihan dalam mengembangkan skill atau keterampilan, salah satunya adalah podcast.



Masalah muncul saat wave atau  “gelombang” media sosial tidak terkendali yang membuat kita harus mengeluarkan tenaga ekstra dan memperkuat daya filter untuk mengakses media sosial (medsos). Lalu, apakah dengan gelombang medsos yang semakin tidak terkendali itu kita harus kalah dan menghindar?



Riding the Wave

Untuk menjawab pertanyaan di atas, tentu jawabannya tidak dan jangan sampai terjadi. Bukankah jika aktivitas feed dan layanan lainnya diisi dengan konten-konten kontra produktif dan di saat yang sama kita hanya diam, malah justru menyenangkan mereka? Di sinilah konsep riding the wave seharusnya kita bangun. Ya, kita harus “menunggangi” gelombang itu.



Seiring berkembangnya teknologi, audio-visual bukan lagi satu-satunya media yang digandrungi. Kini media tidak hanya audio visual secara bersamaan saja. Bisa jadi video saja, atau yang saat ini banyak digandrungi, audio saja. Tentu ini menjadi fenomena yang menarik. Apalagi saat ini terjadi “transmigrasi” besar-besaran dari podcast ke YouTube.



Gelombang media sosial yang terus menerus ini seharusnya bisa kita manfaatkan untuk pengembangan proses pembelajaran, baik formal maupun nonformal.  Salah satunya adalah pengembangan diri atau soft skill. Jadi untuk menghadapi gelombang perubahan digital yang sangat luar biasa ini kita tidak melulu harus memberikan perlawanan dengan menjauhi atau menganggap negatif gelombang yang sedang terjadi.


Tinggal bagaimana kita memberikan arahan dan bimbingan pada anak-anak kita. Alih-alih kita menghindari dan menjauhi gelombang media sosial, lebih baik kita “menunggangi” gelombang tersebut dengan memanfaatkannya untuk pengembangan diri. Alih-alih kita bosan dan kesal dengan berita menyebalkan yang memenuhi media sosial kita, lebih baik kita “tunggangi” semua berita itu untuk menempa diri kita menjadi lebih baik dan mengembangkan diri lagi.



Saat ini perjalanan kehidupan tokoh inspiratif sudah bisa diakses langsung melalui akun pribadi. Inspirasi dan semangat bisa kita dapatkan dimulai dengan mem-follow akun sesuai preferensi kita masing-masing. Misalnya ingin menjadi penulis, tinggal follow akun penulis. Ingin menjadi tokoh agama, follow tokoh agama, dan seterusnya. Mulailah menonton konten yang juga sesuai preferensi. Dengan begitu algoritma medsos secara otomatis akan terus menerus menyarankan konten yang serupa.



Contoh lain podcast misalnya, kita tinggal membuka salah satu platform podcast dan mengklik nama atau tokoh yang kita senangi. Dari situ sumber pengetahuan mengalir dan proses pengembangan diri dan belajar kita dapatkan.  



Ini sejalan dengan nasihat bijak yang memerintahkan kita lebih banyak mendengar daripada berbicara. Orang yang pandai mendengar cenderung menjadi pribadi yang pintar karena “mencuri” ilmu dari lawan bicaranya. Sebaliknya orang yang lebih pandai berbicara tidak akan memiliki waktu untuk “mencuri” ilmu karena dia sibuk “ngoceh” agar bisa didengarkan orang lain. Ini tentu tidak mendiskreditkan orang yang gemar berbicara. Titik beratnya pada kualitas bicara.



Selain itu, begitu banyak peluang karir yang bisa dicapai jika kita mampu memanfaatkan media sosial. Dari audio sudah banyak peluang karir seperti voice over, podcaster, atau bahkan audio book. Ini waktu kita untuk membuka mata dan memanfaatkan kesempatan tersebut. Kalau dulu ada istilah you are what you read, maka sekarang you are what you follow.



Sofwatillah Amin, ASN Kemenag Banten, Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Primagraha, Anggota PAC GP Ansor Kramatwatu