Opini

Amanat Manusia sebagai Duta Pelestari Lingkungan di Muka Bumi

Sabtu, 18 Januari 2025 | 17:19 WIB

Amanat Manusia sebagai Duta Pelestari Lingkungan di Muka Bumi

Ilustrasi peduli lingkungan. (Foto: Freepik)

KERUSAKAN alam dan lingkungan saat ini semakin menjadi perhatian utama di seluruh dunia. Aktivitas manusia yang tidak terkendali telah menimbulkan dampak negatif yang tak terhindarkan bagi ekosistem bumi. Penebangan hutan ilegal, konversi hutan untuk lahan pertanian maupun tambang, dan penghancuran habitat alami hewan telah mengurangi luas hutan yang berfungsi sebagai paru-paru dunia. 
 
Kerusakan lingkungan ini tidak hanya berdampak pada keanekaragaman hayati, tetapi juga mengancam kelangsungan hidup manusia. Kesulitan memperoleh air bersih, kualitas udara yang memburuk, dan bencana alam yang semakin sering terjadi. Semua itu merupakan akibat dari ketidakseimbangan antara manusia dan alam. Ini sesuai QS ar-Rum ayat 41:
 
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ ۝٤١
 
Artinya: "Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia, agar Allah merasakan kepada mereka sebagian akibat dari perbuatan mereka, supaya mereka kembali (ke jalan yang benar).’’ 
 
Ayat ini berbicara mengenai dampak kerusakan yang ditimbulkan oleh tindakan manusia di muka bumi, baik di darat maupun di laut. Dalam ayat ini, Allah swt mengingatkan umat manusia tentang akibat dari perbuatan mereka sendiri, serta tujuan dari kerusakan tersebut agar mereka menyadari dan kembali kepada jalan yang benar. 
 
Secara keseluruhan, ayat ini menggambarkan bahwa kerusakan yang terjadi di bumi, termasuk kerusakan lingkungan, adalah akibat dari perilaku manusia yang tidak memperhatikan tanggung jawab mereka terhadap alam. Allah memberikan peringatan agar manusia kembali ke jalan yang benar dengan menjaga dan melestarikan alam. 
 
Manusia dengan segala potensi yang dimiliki, telah dipilih dan dipercaya oleh Allah sebagai penghuni bumi sekaligus yang mengelola, melestarikan, dan merawatnya. Tugas dan peran manusia ini disebut sebagai khalifah sebagaimana yang tersurat dalam QS Al-Baqarah ayat 30:
 
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ

 
Artinya: ''(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.” Mereka berkata, “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?” Dia berfirman, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”
 
Dalam Tafsir Al-Mishbah Jilid 1, Prof. M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa Allah swt memberitahukan malaikat mengenai penciptaan khalifah di bumi sebagai langkah penting, karena malaikat akan diberi tugas terkait manusia, seperti mencatat amal perbuatan mereka. Prof Quraish menambahkan, pertanyaan malaikat tersebut bukanlah bentuk penolakan terhadap rencana Allah, melainkan sekadar permintaan penjelasan mengenai hikmah di balik keputusan tersebut.
 
Imam Al-Baidhawi menjelaskan, malaikat menyadari bahwa makhluk yang akan diangkat sebagai khalifah Allah memiliki tiga potensi utama. Kekuatan syahwat dan ghadhab yang dapat menimbulkan kerusakan dan pertumpahan darah, serta kekuatan akal yang dapat membawa mereka pada pengetahuan dan ketaatan. 
 
Imam Ibnu Katsir, yang mengutip pendapat Al-Qurthubi, juga menyatakan bahwa sanggahan malaikat tersebut bukanlah tanda penentangan mereka terhadap Allah atau bentuk kedengkian terhadap manusia.
 
Dalam Tafsir at-Thabari, terma khalifah merujuk pada makna pengganti, yaitu tujuan manusia diciptakan oleh Allah untuk menghuni bumi sebagai pengganti makhluk yang sebelumnya telah menghuni, akan tetapi dimusnahkan oleh Allah karena sifatnya yang merusak tatanan alam dan saling bermusuhan serta membunuh di antara mereka.
 
والخليفة الفعيلة من قولك: خلف فلان فلانًا في هذا الأمر، إذا قام مقامه فيه بعده يعني بذلك أنه أبدلكم في الأرض منهم، فجعلكم خلفاء بعدهم (تفسير الطبري ج 1 ص 499)
 
 
Artinya: ’’Lafadz khalifah, berupa isim fa’il yang terbentuk dari kata kerja: khalafa (seseorang telah menggantikan orang lain pada suatu urusan, maka dari itu ia telah menggantikan posisinya), maksud terkait ayat tersebut adalah: “bahwasannya Allah Swt telah menjadikan kalian semua (manusia) sebagai pengganti dari mereka (makhluk dari golongan jin yang menghuni bumi sebelumnya), kemudian Allah menetapkan kalian (manusia) sebagai penghuninya.” (Tafsir At-Thabari Juz 1 halaman 499)
 
Khalifah pada ayat tersebut berupa bentuk isim fa’il (aktor), yang secara literal bersifat transitif (muta’adi), yang membutuhkan objek agar dinilai efektif dalam susunan kalimatnya. Dan secara makna memiliki fungsi dan peran yang aktif pula, tidak sekadar hanya menjadi penghuni bumi yang tanpa memberikan dampak dan peran yang berarti, akan tetapi dituntut untuk merawat dan mengelola kelestariannya. 
 
Karena tujuan utama manusia diciptakan untuk menempati bumi, maka tanggung jawab untuk melestarikan alam dan lingkungan adalah sebuah keniscayaan. Ini sebagaimana uraian lanjutan dari tafsir tersebut:
 
حدثنا به ابن حميد، قال: حدثنا سلمة، عن ابن إسحاق:"إني جاعل في الأرض خليفة"، يقول: ساكنًا وعامرًا يسكنها ويعمُرها خلَفًا، ليس منكم
 
 
Artinya: ’’Ibn Humaid telah menceritakan kepada kami, ia berkata: Ibn Ishaq telah menceritakan kepada kami tentang maksud dari “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi”, ia berkata bahwa maksud penggalan ayat tersebut adalah manusia sebagai penghuni dan pelestari, yakni menghuni bumi sekaligus yang melestarikannya, sebagai pengganti makhluk sebelumnya, bukan dari kalian (para malaikat).’’
 
Selain itu, dalam Tafsir at-Thabari dijelaskan pula bahwa kata khalifah bisa diartikan sebagai pemimpin utama (السلطان الأعظم) yang memiliki tanggung jawab lebih dibanding makhluk lain yang menghuni bumi, karena penciptaan manusia yang paripurna dengan dibekali akal dan nafsu yang tidak ditemukan pada makhluk lainnya.
 
Tujuan penciptaan manusia di muka bumi ini sebagai khalifah sesuai pemaknaan di atas, akan mengarah kepada tindakan-tindakan yang apakah mencerminkan sebuah perilaku amanah selaku khalifah, atau bahkan sebaliknya manusia akan berperan sebagai perusak tatanan alam, memunculkan kerugian, atau bahkan penyebab terjadinya bencana. 
 
Sebagai khalifah di bumi, manusia seharusnya bertindak dengan bijak dalam mengelola alam dan sumber daya yang ada, dengan cara yang sesuai dengan prinsip- prinsip syariat Islam. Allah telah memberikan petunjuk yang jelas dalam agama-Nya mengenai bagaimana manusia seharusnya memperlakukan lingkungan. Lingkungan bukan hanya tempat tinggal, tetapi juga amanah yang harus dijaga dan dilestarikan. 
 
Dalam konteks ini, Allah menguji apakah manusia benar-benar menjalankan tanggung jawabnya dengan baik, atau malah mengabaikannya, seperti melakukan kerusakan, eksploitasi yang berlebihan, dan perusakan alam.
 
Tafsir al-Wasith karya al-Wahidi menjelaskan hal ini, mengutip pendapat Ibnu Abbas yang menyatakan bahwa ayat tersebut mengandung makna ujian bagi umat manusia. Allah swt menguji setiap individu dan amal perbuatannya untuk melihat apakah mereka benar-benar menjalankan tugasnya sebagai khalifah dengan baik, atau malah melanggarnya. Ujian ini dimaksudkan untuk mengukur kesungguhan manusia dalam memikul amanah-Nya di bumi, serta memastikan bahwa setiap tindakan yang dilakukan memiliki niat yang benar dan sesuai dengan kehendak-Nya.
 
Selain itu, ujian ini juga berkaitan dengan aspek moralitas dan etika manusia dalam mengelola bumi. Allah tidak hanya menginginkan manusia untuk memanfaatkan sumber daya alam, tetapi juga untuk melakukannya dengan penuh tanggung jawab dan kehati-hatian, agar tidak merusak alam dan makhluk hidup lainnya. Dalam hal ini, pertanggungjawaban manusia sebagai khalifah di bumi mencakup bukan hanya aspek ibadah kepada Allah, tetapi juga bagaimana mereka memperlakukan lingkungan dan alam semesta yang telah diberikan oleh-Nya.
 
Dengan demikian, ayat ini mengingatkan manusia bahwa setiap tindakan yang dilakukan di bumi, baik dalam pengelolaan alam maupun dalam kehidupan sehari-hari, akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah. Ujian ini tidak hanya bertujuan untuk menilai apakah manusia mematuhi perintah Allah, tetapi juga untuk melihat apakah mereka menjalankan peran sebagai khalifah dengan cara yang adil, bijaksana, serta menjaga keseimbangan antara kepentingan manusia dan kelestarian lingkungan.
 
 
Moh Zainul ArifSekretaris Lembaga Bahtsul Masail PCNU Tangerang Selatan