• logo nu online
Home Nasional Banten Raya Warta Keislaman Tokoh Khutbah Sejarah Opini Pesantren NU Preneur Ramadhan 2023
Rabu, 15 Mei 2024

Opini

Ciri Khas Hukum Islam (3)

Jadi Argumentasi Pembentukan Peradaban Masyarakat Kosmopolit

Jadi Argumentasi Pembentukan Peradaban Masyarakat Kosmopolit
Ilustrasi mushaf Al-Qur'an. (NUO)
Ilustrasi mushaf Al-Qur'an. (NUO)

Ketiga, Universal (Al-Alamiy)

Berbeda dengan syariat Nabi Musa melalui kitab suci Taurat maupun Nabi Isa melalui kitab suci Injil yang keduanya terbatas untuk kalangan Bani Isra`il semata hingga batas waktu tertentu, hukum Islam era Nabi Muhammad saw dengan kitab suci Al-Quran itu bersifat universal (alamiy) untuk rahmatan lil alamin hingga akhir zaman, mencakup semua umat manusia dan bangsa jin di dunia ini, tidak dibatasi oleh lautan maupun batasan suatu negara.
 


Karakteristik universal ini berdasarkan banyak ayat suci Al-Quran, antara lain: QS Saba: 28, QS Al-Anbiya: 107, QS Al- Baqarah: 21-22, dan QS An-Nisa: 170.

Dalam perspektif teologi, Allah swt diposisikan sebagai “Tuhan Semesta Alam” (Rabbul alamin). Ini mengandung makna bahwa sebagai sebuah konsep dan keyakinan Allah bukanlah Tuhan segolongan umat manusia, melainkan Tuhan seluruh umat manusia di muka bumi. Konsep ketuhanan seperti ini tidak bisa, tidak akan memberi implikasi sangat besar terhadap pembebasan manusia dari ikatan-ikatan primodialismenya, seperti kesukuan, kebangsaan, keetnikan, kemazhaban dan sebagainya. Konsep ini sejalan dan bertemu dengan hukum-hukum Islam lain seperti hukum tentang kesatuan manusia (wahdat al ummat) dan kesatuan agama atau risalah (wahdat al adyan) Tuhan yang disampaikan pada manusia melalui nabi dan rasul-Nya.



Dalam perspektif hukum, universalisme Islam terlihat jelas dalam prinsip- prinsip hukum yang memberikan jaminan dan perlindungan terhadap setiap orang dalam masyarakat yang menyangkut lima masalah berikut: Pertama, jaminan atas keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan badani di luar hukum. Kedua, jaminan atas keselamatan keyakinan agama masing- masing masyarakat tanpa ada paksaan untuk pindah keyakinan. Ketiga, jaminan atas keselamatan keluarga dan keturunan. Keempat, jaminan atas keselamatan harta benda dan milik pribadi di luar prosedur hukum. Kelima, jaminan atas keselamatan profesi.



Ini semua merupakan gejala universalisme Islam. Sebuah gejala yang nantinya menjadi argumentasi pembentukan peradaban masyarakat yang kosmopolit. Sebab, kelima jaminan di atas tidak lagi memandang unsur-unsur yang ada di masyarakat, melainkan berkepentingan terhadap keberlangsungan hidup umat manusia secara terbuka, adil, dan demokratis.



Filsafat  hukum  Islam  menyebut  kelima  prinsip  di atas  dengan istilah ”ushul/maqashid al khamsah” yang pada pembahasan berikut dari lembaran ini menjadi dasar utama setiap penetapan hukum. Maka prilaku atau tindakan mukallaf yang mengganggu kelima prinsip tadi tanpa ada alasan yang dibenarkan syari dengan sendirinya perbuatan tersebut sebagai perbuatan kriminal (jarimah) yang akan dikenai sanksi hukum yang keras. Dan ini berlaku tanpa membedakan suku, agama, ras dan antar golongan.

 


Hal ini menunjukkan dengan jelas bahwa watak keuniversalan hukum Islam terletak pada seberapa jauh manusia mampu mempertahankan semangat kebertauhidannya. Karena keuniversalan hukum Islam itu dalam perjalanan sejarah – seperti dapat dilihat dari sikap kaum muslimin terhadap agama samawi yang lain – tidak saja bersifat ke luar dalam arti Islam berlaku untuk seluruh umat manusia, tapi juga bersifat ke dalam dengan konsekuensi bahwa hukum Islam dan umat Islam dapat menyerap unsur positif dari hukum atau peradaban luar yang tidak bertentangan dengan prinsip hukum Islam, seraya memperlakukannya sebagai “menemukan kembali barang milik umat Islam sendiri yang pernah hilang.” Sikap dan pandangan demikianlah akan menjadi salah satu “sentiment” positif dalam memicu berkembangnya semangat dan watak kosmopolitisme dalam peradaban hukum Islam. (Bersambung)

 


H Muhammad Robi Ulfi Zaini Thohir, Ketua PCNU Kabupaten Serang, Pengasuh Ponpes Moderat At-Thohiriyah Pelamunan

 


Sumber:

Prof KH Ali Yafie, Merintis Fiqh Lingkungan Hidup, (Jakarta: Yayasan Al-Amanah: 2006), 4-6.


Opini Terbaru