• logo nu online
Home Nasional Banten Raya Warta Keislaman Tokoh Khutbah Sejarah Opini Pesantren NU Preneur Ramadhan 2023
Jumat, 3 Mei 2024

Opini

Pesantren, Santri, dan Peradaban

Pesantren, Santri, dan Peradaban
Gus Iqdam. (Foto: @muhibbin.gusiqdam)
Gus Iqdam. (Foto: @muhibbin.gusiqdam)

"SEANDAINYA negeri kita ini tidak mengalami penjajahan tentulah pertumbuhan sistem pendidikan di Indonesia, akan mengikuti jalur-jalur yang ditempuh pesantren itu. Sehingga perguran tinggi tidak akan berupa UI, ITB, IPB Unair, dan lain-lain, tetapi mungkin akan bernama Universitas Tremas, Krapyak, Tebuireng, Bangkalan, Lasem, dan lain sebagainya." (Bilik-Bilik Pesantren, Nurcholish Madjid).



Apa yang telah dicatat oleh Cak Nur--sapaan akrab Nurcholish Madjid-- sebetulnya adalah suatu kejujuran sejarah. Catatan tadi hingga detik sekarang masih melekat erat dalam benak pikiran. Lalu, tidak semata-mata Cak Nur yang lahir dan besar di kalangan pesantren dan karenanya ia mencatat demikian, tidak. Apa yang dicatat Cak Nur tampaknya hendak menegaskan pada dua hal. Pertama mengajak pada kesadaran sejarah dan kedua sekaligus mengenalkan pola pendidikan pesantren.



Berangkat dari catatan Cak Nur di atas, fakta bahwa kehadiran pesantren dan pada gilirannya adalah santri merupakan satu hal yang tidak bisa dielakkan. Kehadiran pesantren beserta santri dengan segala macam bentuknya lebih dahulu menapaki bumi pertiwi sebelum kehadiran lembaga yang lain. Dalam prosesnya yang telah melewati ribuan tahun lalu, kehadiran pesantren turut serta menyemai dan menenun tali tradisi keilmuan bagi bangsa.



Maka tidak heran karenanya, andil pesantren dalam mewarnai peradaban serta membersamai proses tumbuhnya bumi pertiwi tidaklah kecil. Bisa kita endapkan sejak sebelum dan setelah terbentuknya bumi pertiwi hingga detik ini. Pesantren setia senapas dengan tujuan-tujuan bumi pertiwi. Karenanya, kesadaran sejarah menjadi satu hal yang penting, lantaran dengan modal kesadaran itulah kiranya, pesantren- pesantren, kiai dan segenap para santrinya sadar atas perannya. Sehingga pantulan kebermanfaatannya meluas dan bisa dirasakan oleh semua kalangan, tidak sektarian.

 


Kemudian menyoal pengenalan pola pendidikan pesantren, apa yang dicatat Cak Nur sesungguhnya tidak semata muncul dari ruang kosong tanpa alasan. Dari catatannya di atas, Cak Nur mengacu pada fakta sejarah di Barat. Menurutnya, sistem pertumbuhan pendidikan dimulai dari surau-surau yang berada di pojokan suatu gedung, seiring berjalannya waktu dan mengalami gesekan sejarah yang semula surau itu bergeser menjadi pendidikan yang dilembagakan. Maka lahirlah Universitas Harvard dst.



Hal ini tidak jauh beda dengan pola pendidikan pesantren di Indonesia, semula sama berangkat dari surau-surau kecil. Bermula dari satu santri, menjadi puluhan dan lalu ratusan hingga ribuan dan karenanya dibangunlah pondok pesantren. Satu bangunan khusus yang dapat menampung ribuan santri untuk belajar mewarnai peradaban. Lalu, fakta sejarah berkata Indonesia pada pertumbuhannya dijajah oleh negara Barat dan secara tidak langsung mengenalkan pola pendidikan Barat, maka muncullah model universitas semacam UI, UGM, dan lainnya.

 


Tetapi ada satu hal unik dalam pola pendidikan pesantren dan menjadi pembeda dengan pendidikan lainnya yakni konsep maiyah (kebersamaan). Kebersamaan santri dengan kiai atau sebaliknya menjadi keunikan tersendiri. Diakui bahwa, keterlibatan, kehadiran santri dengan kiainya utamanya pertalian rohani sangatlah kental. Kiai, satu sisi mengisi ilmu pengetahuan kepada santri di sisi lain mengisi dan memenuhi ruang-ruang rohaninya. Keduanya saling mendoakan meski sudah terpisah tempat sekalipun. Proses inilah yang lalu melahirkan keberkahan. Barakah pondok atau kiai misalnya. Semangat jadi santri, soal besok jadi apa itu urusan Tuhan, kira-kira begitu.

 


Santri Hari Ini

Berbicara santri hari ini bukan lagi perkara tabu. Dahulu, terus terang saja sebagian dari kita menyepelekan santri, memandang sebelah mata kepada santri. Santri hanya bisa belajar agama, tidak punya keahlian lain. Mereka yang terpinggirkan. Di detik hari ini, santri turut serta dalam arus utama mewarnai perabadan bumi pertiwi, ia tidak lagi terpinggirkan. Sekarang pesantren dan santrinya menjadi satu hal yang menarik perhatian publik.



Hari ini, santri tidak saja menggeluti keilmuan pesantren. Hal itu iya, karena sudah jadi bagian identitas dari pesantren. Tetapi juga, belakangan banyak bermunculan santri-santri yang bertalenta dalam bidangnya masing-masing. Sebut saja misalnya, influencer, pengusaha, pelaku digital marketing, pimpinan organisasi, dan seterusnya. Hal-hal ini membuktikan bahwa, sebenarnya santri pun mampu berada di arus peradaban, memberi warna dan gelembung-gelembung positif peradaban. Hal ini apalagi kalau bukan santri merawat peradaban dunia.



Sebut saja Gus Iqdam, pendakwah kondang yang belakangan menghebohkan jagad maya. Apa Gus Iqdam bukan seorang santri? Gus Iqdam adalah contoh santri yang merawat peradaban zaman. Dapat dilihat dari pengajian rutinan yang ia gelar setiap malam Jumat dan Selasa tersebut. Ribuan jamaah memadati pengajiannya, berduyun-duyun datang untuk ngalap berkah dan belajar, lintas kelas sosial. Saat di lokasi mereka setara, duduk berjejer satu sama lain. Hal paling uniknya adalah ada sebagian jamaahnya yang berbeda iman.

 


Ini menarik, Gus Iqdam menerima jamaahnya dengan hati terbuka siapa pun itu, ia terima. Kehadiran jamaah lintas iman, atau biasa ia sebut dengan “St nyel cabang Hindu atau Nasrani” adalah perwujudan dari rasa kasih sayang, rasa menerima sesama warga bangsa. Nilai kerukunan dan saling menghargai amatlah kental di sana. Gus Iqdam menciptakan realitas baru, mewarnai peradaban baru. Secara tidak sadar, pengajian Gus Iqdam menciptakan riak-riak air yang besar bagi peradaban khususnya masyarakat sekitar.

 


Jika begini, saya jadi teringat tawaran gagasan Gus Dur yakni “Pesantren sebagai Subkultur.” Katanya, dalam proses pembinaan inti surau yang kecil hingga menjadi suatu lembaga masyarakat yang kompleks dengan kelengkapannya sendiri, pesantren juga mengubah pola kehidupan masyarakat di sekitarnya.” (Prisma Pemikiran Gus Dur, Abdurrahman Wahid).



Demikianlah, hari ini santri berada dalam arus peradaban, ia memberi warna baru dan gelombang-gelombang positif untuk peradaban zaman. Kokohnya atas sebuah prinsip dan lentur dalam menjalankan fungsinya adalah syarat tersendiri dalam merawat peradaban zaman. Santri bisa dan berdaya.

 

*Nurul Anwar, Gusdurian Ciputat


Opini Terbaru