• logo nu online
Home Nasional Banten Raya Warta Keislaman Tokoh Khutbah Sejarah Opini Pesantren NU Preneur Ramadhan 2023
Sabtu, 4 Mei 2024

Opini

Santri: Bukan Hanya Identitas

Santri: Bukan Hanya Identitas
Ilustrasi. (NUO)
Ilustrasi. (NUO)

SEJAUH ini, khalayak umum melihat dan mengartikan santri hanya sebatas ia yang hidup di pondok pesantren. Oleh sebab itu, seseorang akan memiliki identitas sebagai santri ketika ia memutuskan tinggal di pondok pesantren, tak peduli apakah ketika di pondok pesantren bersikap dan berperilaku apa. Asal ia tinggal di pondok pesantren, maka ia disebut sebagai santri. Pengertian dan pandangan itu sebenarnya tidak seluruhnya keliru. Tapi jika merujuk pada akar kata yang membentuk kata santri sendiri, sepertinya ada pengertian yang lebih tepat.


Jika melihat akar kata yang membentuk kata “santri” itu sendiri, kata “santri” merupakan kata yang diambil dari bahasa Sansekerta, yaitu “shastri”, kata ini seakar dengan kata yang bermakna sama, yaitu “sastra”. Baik shastri maupun sastra, keduanya memiliki makna yang merujuk pada apa yang disebut sebagai “kitab suci”. Pada titik ini, “santri” kemudian diartikan sebagai seseorang yang membaca dan mempelajari kitab suci.


“Membaca”, tentu bukan hanya sekadar membaca. Artinya, membaca bukan hanya satu kegiatan yang menyusun huruf demi huruf menjadi kata, serta menyusun kata demi kata untuk menjadi kalimat. Tapi lebih jauhnya, membaca adalah kegiatan menggali makna dari kuburan teks yang dibaca. Kegiatan ini di dunia pondok pesantren disebut dengan istilah “tadarus” dan “tafahum”.


Maka dalam hal ini, konsekuensi dari pengertian di atas. Ketika melihat seruan membaca dalam kitab suci, seperti dalam QS al-‘Ankabut Ayat 45 “Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu…”, itu bermakna perintah untuk memahami wahyu atau firman Allah SWT.


Situasi membaca disertai atensi untuk memahami inilah yang kemudian disebut oleh Rasulullah dalam sabdanya yang diriwayatkan at-Tirmidzi sebagai kebaikan: “Siapa saja membaca (memahami) satu huruf dari Kitabullah (Al-Qur’an) maka dia akan mendapat satu kebaikan…”.


Pada akhirnya, dalam hal ini yang menjadi titik tekan dari membaca kitab suci adalah memahaminya. Sebab jika kitab suci dibaca tanpa ada atensi untuk memahami, maka kitab suci tidak ada bedanya dengan kitab-kitab biasa yang tidak suci. Pendapat itu juga senada dengan apa yang diterangkan oleh Prof Bambang Qomaruzzaman Anees dalam bukunya yang berjudul Hermeneutika untuk Teologi, dalam buku itu disebutkan bahwa jika kitab suci tak dipahami, maka kitab suci tak ubahnya buku biasa yang dipajang di rak buku, lambat laun akan using tanpa memberikan kebaikan.


Bahkan konon katanya, penyebab keruntuhan Dinasti Abasiyah yang dipimpin oleh khlaifah terakhirnya yaitu Al-Mu’tasim Billah serta yang membuat umat Islam saat ini dianggap ada dalam kemandekan adalah tidak dipahaminya kandungan Kitab Suci Al-Qur’an, mungkin dalam beberapa kesempatan umat Muslim di seluruh dunia membaca Al-Qur’an, tapi dari pembacaan itu tidak ada pemahaman dari kegiatan kemembacaannya.


Padahal Al-Quran yang merupakan manual book untuk menjalani hidup,  memuat tata cara agar hidup bisa selamat di dunia maupun akhirat. Tapi lagi-lagi, manual book itu hanya akan berfungsi dan memberikan manfaat ketika isinya dipahami oleh si pembaca.


Kembali pada persoalan apa itu santri? Dari penjelasan di atas, santri bisa diartikan adalah ia yang membaca kitab suci untuk memahami apa yang ada dalam kandungan kitab suci itu. Sehingga dari pembacaannya ada pemahaman yang membedakan antara ia yang membaca dan tidak membaca.


Pada kesimpulannya, seseorang tidak bisa disebut santri hanya ketika ia mondok di sebuah pondok pesantren. Tetapi lebih jauhnya, ia harus membaca dan mengambil pemahaman dari kitab suci yang dibacanya. Dengan demikian, santri adalah bukan hanya sebatas identitas semata, lebih jauhnya, santri merupakan sebuah jati diri.

Rizki Mohammad Kalimi, Mahasiswa Program Magister Manajemen Pendidikan Islam di Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung


Opini Terbaru