Opini

Tempat Tumbuh Itu Bernama Pesantren

Kamis, 24 Oktober 2024 | 10:54 WIB

Tempat Tumbuh Itu Bernama Pesantren

Ilustrasi. Para santri saat mengikuti Hari Santri Nasional 2024 di Alun-Alun Menes, Pandeglang. (Foto: NUOB/Cholwan Fuad)

TUGAS kita dalam hidup adalah belajar. Dengan belajar manusia akan terus bertumbuh. Bertumbuh pengetahuannya. Bertumbuh menjadi lebih baik. Bertumbuh menjadi dewasa dalam menghadapi permasalahan. Dalam Adversity Question menurut Paul. G. Stoltz, manusia dalam menghadapi tantangannya diibaratkan seperti pendaki gunung yang dibagi ke dalam 3 jenis manusia.



Pertama, quitters. Ia dianalogikan sebagai seseorang yang memutuskan untuk berhenti mendaki gunung. Ia lebih memilih diam dan berhenti saat ada rintangan dalam mencapai impiannya. Sekilas terkesan bersyukur atas pencapainnya padahal ia menghindari tantangan dan menolak untuk tumbuh.



Kedua, campers. Ia dianalogikan sebagai seseorang yang lebih memilih “berkemah” di tengah pendakiannya dalam menghadapi tantangan. Ia tak mau mengambil risiko lebih karena menurutnya pemandangan sekitar sudah cukup bagus untuk dinikmati. Ia memiliki daya juang, tapi sangat sedikit.

 


Ketiga, climbers. Ia dianalogikan sebagai pendaki ulung, tak peduli apa pun rintangan yang ia hadapi saat mendaki “gunung” permasalahan. Tidak menutup kemungkinan ia merasa lelah dan bosan dengan situasi yang ia hadapi dan memilih “berkemah”, tetapi itu hanya sementara, ia hanya sedang mengisi ulang tenaganya. Setelah itu, ia bangkit “mendaki” permasalahan dan tantangan yang ia hadapi.



Santri memiliki tipe climbers atau pendaki ulung. Segala rintangan dalam proses belajar: hafalan, setoran, pemahaman bahasa asing dan sebagainya mungkin saja membuat santri merasa jenuh, tetapi santri selalu bisa mencari jalan keluar dan menenangkan dirinya, setelah itu ia bangkit lagi. Kenapa bisa demikian? Karena santri ditempa untuk bertumbuh dan pesantrenlah tempatnya.




Pesantren dan Inklusi Sosial

Pesantren adalah tempat santri ditempa sebagai penyeimbang ketidaktentuan zaman. Seimbang seperti al-mizan, timbangan. Karenanya tempat dulu penulis menimba ilmu adalah Pondok Pesantren Modern Al-Mizan, Lebak, Banten.

Kehidupan santri di pondok pesantren tidak berhubungan dengan latar belakang, pekerjaan orang tua ataupun status sosial di kampung halaman mereka. Setelah memasuki pesantren semua hidup dalam pola yang sama.


Inilah potret kebersamaan yang membuka kesempatan bagi siapa saja untuk menjadi apa saja, pesantrenlah tempatnya. Barangkali ada orang yang mengatakan kehidupan di pesantren tidak up to date,  kampungan, kumuh, pecian melulu, tidak modis, dan sebagainya. Tanpa disadari itu adalah bekal termahal dalam pendidikan karakter. Ya, karakter on the track! Maka pesantren adalah tempat tumbuh terbaik untuk siapa pun.




Jika anak tak dididik dalam kesederhanaan, maka cost sosialnya akan jauh lebih mahal saat mereka dewasa. Kenapa? Karena seberapa banyak uang yang kita punya tidak akan bisa membeli dan membentuk karakter dan kedewasaan anak di masa depan. Semahal apa pun biaya yang dikeluarkan untuk anak di pesantren: biaya rindu, biaya bulanan, biaya sedihnya perpisahan, akan jauh lebih mahal lagi biaya di masa depan yang disebabkan karena anak tidak memiliki jiwa pesantren; keterbukaan, kesederhanaan, kebijaksanaan, dan kedewasaan.



Pesantren dan Inklusi Pendidikan

Begitu beragam variasi istilah yang ada di pesantren. Di Jawa Timur, keluarga pesantren, putra-putri kiai, sangat populer dengan sebutan gus dan ning. Berbeda dengan Banten, sependek pengetahuan penulis banyak pesantren di Banten menyebut kiai dan ustadz dengan sebutan kangaji atau mangaji dan santri dengan sebutan mamang atau bibi santri.


Istilah ini tidak mengurangi rasa hormat dan takzim para santri. Sebutan ini justru menjadi kunci keakraban kiai dan santri di pesantren bahkan lingkungan sekitar pesantren. Hal ini mempermudah proses transmisi keilmuan dan inklusivitas pesantren.



Terbukti pesantren-pesantren di Banten sudah memasukkan mata pelajaran umum dalam proses pembelajarannya. Ini adalah bukti bahwa santri tidak hanya “melek” kitab dan pelajaran agama lainnya, tetapi juga siap menghadapi perubahan dan membaca zaman sehingga bisa meningkatkan pengetahun dan skill untuk bersaing saat lulus nanti.




Lebih jauh, pendidikan karakter yang ada di pesantren mampu meng-influence dan meyakinkan masyarakat bahwa tujuan dari belajar bukanlah penghasilan, tetapi ilmu dan karakter yang dimiliki para santri sehingga ia memiliki ketegasan dan batas dalam dirinya sendiri saat memasuki the real word.



Bisa dibayangkan begitu guyub dan indahnya pesantren. Santri sangat ikhlas belajar mengaji dengan kiai. Pun sebaliknya, kiai mendidik para santri. Dari keharmonisan dan kesederhanaan itulah, bukti bahwa pesantren adalah miniatur dari inklusi sosial-pendidikan.


Potret kebersamaan hidup di pesantren inilah yang membuat pesantren menjadi miniatur ideal inklusi sosial-pendidikan sehingga dari keterbukaan hubungan itu melahirkan pola pokir-pola pikir dan transmisi keilmuan yang tidak akan pernah berhenti ila yaumil qiyamah. Santrilah sang pejuang andal keilmuan Islam dan siap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Selamat Hari Santri 2024.




Sofwatillah Amin, ASN Kemenag Banten, Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Primagraha, Anggota PAC GP Ansor Kramatwatu